Minggu, 26 Juni 2011

Pembangunan Pariwisata Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan pariwisata membawa pengaruh positif bagi masyarakat, yaitu meningkatnya taraf perekonomian masyarakat. Namun, pengembangan sektor pariwisata juga membawa pengaruh lain, yaitu terancamnya lingkungan kebudayaan masyarakat kita. Padahal, kemajuan sektor pariwisata sedikit banyak ditentukan oleh kualitas kebudayaan masyarakat. Lingkungan budaya ini yang menjadi daya tarik terbesar dunia pariwisata. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, lama kelamaan dua sektor tersebut akan sama-sama mengalami kemerosotan. Sektor pariwisata akan mengalami kemerosotan karena lingkungan budaya tidak menarik lagi. Sektor kebudayaan akan mengalami kemerosotan karena masyarakat terpengaruh oleh budaya lain/budaya barat.


Solusinya adalah mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Untuk menciptakan pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan ada lima hal yang dapat ditempuh. Pertama, pembangunan fisik memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Kedua, menghidupkan wisata budaya tradisional. Ketiga, memberikan pendidikan budaya pada generasi muda. Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Dan kelima, pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan. Jika berhasil diciptakan pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan budaya, tercapailah simbiosis mutualisma antara sektor pariwisata dan sektor lingkungan budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata?
2. Bagaimana Pentingnya Pelestarian Kebudayaan dalam Pengembangan Yogyakarta?
3. Bagaimana solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya?


BAB II
PEMBAHASAN
I. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata
Pengembangan pariwisata meliputi berbagai bidang. Di antaranya adalah pengembangan wisata alam (pantai, gunung, gua) dan pengembangan wisata budaya (upacara tradisional, pakaian tradisional, tari). Kedua bidang tersebut sama-sama memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan. Namun, jika kita mau mencoba mencermati kecenderungan para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, bidang yang menjadi daya tarik utama adalah bidang kebudayaan. Pariwisata alam tampaknya hanya menjadi “tempat beristirahat” bagi para wisatawan .
Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Ketiga, banyaknya wisatawan yang tertarik mempelajari budaya khas seperti menari dan membatik. Keempat, banyaknya wisatawan yang tertarik dengan keramahtamahan kita dalam menanggapi mereka. Dalam jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional di negara-negara maju. Karena kelangkaan tersebut, banyak orang ingin mengetahui bentuk-bentuk budaya asli nenek moyang mereka.
Dalam hubungannya dengan kecenderungan pengembangan pariwisata budaya, Yogyakarta bisa dipandang sebagai kota yang kaya akan potensi pariwisata kebudayaan baik fisik maupun nonfisik. Yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan fisik adalah bangunan-bangunan yang menjadi simbol keluhuran budaya nenek moyang. Obyek pariwisata kebudayaan jenis ini misalnya Kraton, Water Castle, Prambanan, dan Pakaulaman. Sedangkan yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan nonfisik adalah berbagai jenis permainan, batik, jathilan, kerajinan tradisional, dan berbagai jenis tari tradisional.
Jika sektor pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam, lama kelamaan para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam bersifat statis dan sekali datang.
Namun demikian, jika pengembangan pariwisata budaya ini dikembangkan dengan sembarangan, pengembangan pariwisata ini bisa menjadi bumerang atas kebudayaan itu sendiri. Eksploitasi besar-besaran terhadap pariwisata budaya akan mengakibatkan budaya tersebut kehilangan kualitasnya. Akibatnya, kebudayaan hanya sekedar simbol-simbol mati, tanpa makna. Pembisnisan budaya yang berlebihan juga akan mengaburkan hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Pada akhirnya, kebudayaan tercabut dari asal-usulnya, yaitu masyarakat.
Pada sektor lain, pengembangan kebudayaan yang hanya diorientasikan pada pariwisata juga akan mengakibatkan para pelakunya terlalu “bisnis oriented”. Bisnis oriented dalam bidang budaya atau komersialisasi budaya sebenarnya merupakan efek samping terjadinya transformasi budaya dalam proses pembangunan suatu negara. Menurut Suyatno Kartodirdjo, ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial .
Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak berakar pada kedua hal tersebut akan menghasilkan budaya modern yang pada gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya (tradisional) yang mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa .
Dalam hubungannya dengan transformasi kebudayaan sebagai akibat pengembangan sektor pariwisata, ada baiknya disimak pendapat dari Sutan Takdir Alisahbana . Beliau mengatakan bahwa transformasi budaya yang disebabkan oleh penerapan teknologi maju yang terlepas dari perspektif budaya bangsa akan mengakibatkan manusia dikuasai teknologi, dan bukan sebaliknya.

II. Pentingnya Pelestarian Kebudayaan dalam Pengembangan Yogyakarta
Pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Yogyakarta membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Pengaruh tersebut langsung menyentuh pada identitas dasar masyarakat, yaitu sisi kebudayaan. Secara perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat terpengaruh oleh kebudayaan pendatang yang mereka anggap lebih maju. Kebudayaan pendatang tersebut bukan saja berasal dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan asing, melainkan juga dari dalam negeri yang dibawa oleh wisatawan dalam negeri maupun para pelajar dari berbagai daerah.
Menurut Soedjatmoko perkembangan modernisasi yang seperti itu membawa masalah tersendiri ketika masyarakat telah kehilangan nilai-nilai lama dan cara lama sementara nilai lama dan cara baru belum mencapai kristalisasinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas kepribadian dalam diri masyarakat .
Dalam kaitannya dengan perkembangan modernisasi di Yogyakarta, apabila tidak segera mendapat respon, dapat dimungkinkan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat terutama penduduk asli Yogyakarta yang selama bertahun-tahun memegang teguh nilai-nilai kebudayaan tradisional.. Derasnya pengaruh luar baik kebudayaan asing maupun kebudayaan daerah lain akan menimbulkan tranformasi budaya yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi-generasi yang multikultur. Menurut Suyatno Kartodirdjo (1992:145), ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya tersebut, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial .
Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Yogyakarta, masalah komersialisasi budaya akan menjadi masalah penting. Pemikiran-pemikiran berbagai pihak hanya difokuskan pada bagaimana memperoleh keuntungan finansial dari sektor kebudayaan. Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi memelihara dan melestarikan kebudayaan budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Menurut Kartodirjo transformasi yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa akan menghasilkan budaya modern yang cenderung akan menelan jenis budaya-budaya tradisional yang telah terbukti mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa.
Jika krisis sektor kebudayaan ini secara terus menerus dialami oleh masyarakat, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada lagi pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda. Kalaupun ada, kebudayaan yang diwariskan tersebut akan mengalami reduksi yang cukup hebat. Bisa jadi bentuk fisik kebudayaannya terwariskan tetapi roh-nya sudah hilang. Misalnya saja dari segi berpakaian. Mungkin saja generasi muda terlihat gagah ketika mengenakan pakaian adat Jawa. Namun perilaku dan unggah-ungguhnya tidak ada.
Upaya pelestarian kebudayaan ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wisatawan sangat tertarik dengan bidang budaya. Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan dan para pelajar yang melakukan studi wisata yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Sementara itu keinginan para pelajar untuk melakukan studi wisata di Yogyakarta sedikit banyak didasari oleh informasi dalam pembelajaran di mana Kraton Yogyakara merupakan bagian dari sejarah kerajaan yang sampai sekarang masih eksis keberadaannya.
Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Benda-benda khas yang mencerminkan kebudayaan Jawa seperti keris, kain batik, blangkon, kuda kepang sangat digemari oleh para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara. Ketertarikan untuk membeli ini kemungkinan besar dilandasi oleh keingintahuan lebih lanjut akan kebudayaan Jawa .
Dalam jangka panjang, jika masih tetap ingin eksis dalam berbagai bidang, sektor kebudayaan perlu mendapat perhatian lebih dalam pembangunan Yogyakarta. Sektor pendidikan juga akan ditentukan oleh kemampuan masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan keramahtamahan dan etika kehidupan bermasyarakat. Jika pada akhirnya masyarakat Yogyakarta hanya terjebak pada masalah keuntungan bisnis, tingkat kenyamanan dan keamanan para pelajar terusik. Dan pada akhirnya secara perlahan-lahan banyak orangtua yang akan berpikir panjang untuk menyekolahkan anaknya di Yogyakarta. Sektor pariwisata pada akhirnya sangat ditentukan oleh aset budaya yang dapat ditawarkan pada para wisatawan. Fasilitas yang lengkap, promosi yang gencar, dan pengalokasian dana untuk membangunan sarana fisik pariwisata akan terkesan sia-sia ketika Yogyakarta tidak lagi memiliki aset kebudayaan sebagai andalan utama obyek pariwisata.
Berhubung sektor kebudayaan merupakan sektor yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata di Yogyakarta, penyelamatan dan pelestarian budaya lokal perlu dilakukan. Jika penyelamatan dan pelestarian budaya lokal ini dapat dilakukan, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan pariwisata budaya seperti Bali, Korea, Cina, dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pembangunan sarana dan prasarana fisik, lama kelamaan para wisatawan akan bosan untuk berkunjung ke Yogyakarta .

III. Solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya
Salahsatu jalur untuk memperbaiki mentalitas generasi muda itu adalah melalui pendidikan. Slamet Sutrisna mengatakan bahwa perubahan kebudayaan, (termasuk di dalamnya adalah mentalitas manusia, tidak hanya melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif. Dalam hubungannya dengam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, budaya keilmuan harus dikembangkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pengembangan dan pelestarian budaya perlu dihubungkan dengan proses pendidikan bagi generasi penerusnya .
Cara yang paling efektif untuk pembinaan kebudayaan generasi muda dalam kerangka otonomi daerah adalah dengan memasukkan muatan pendidikan kebudayaan khas Yogyakarta dalam kurikulum pendidikan di Yogyakarta. Muatan lokal semacam ini akan menghasilkan efek berantai yang positif yang pada akhirnya akan menguntungkan sektor pariwisata dan sektor pelestarian kebudayaan. Para siswa yang berasal dari Yogyakarta akan memiliki sikap positif terhadap kebudayaannya sendiri. Sikap positif ini akan menghasilkan daya tahan untuk tidak begitu saja terpengaruh oleh budaya asing. Sedangkan para siswa yang berasal dari luar Yogyakarta akan memiliki pengetahuan tentang kebudayaan local dan dapat diyakini bahwa mereka akan mengkomunikasikannya pada teman-temannya di daerah asalnya. Maka dalam jangka panjang sektor pariwisata akan berkembang dan kebudayaan lokal akan terpelihara .


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Solusi yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara pariwisata dan budaya. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut serta melestarikan lingkungan budaya kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata.
















Daftar Pustaka

Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Kartodirdjo, Suyatno. 1992. “Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian Universal. Yogyakarta : Kanisius

Roem, Mohamad, dkk. 1982. Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Jakarta : PT. Gramedia.

Sutrisna, Slamet. 1992. “Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.

Suwarno, P.J. 1992. “Belajar dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.

Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan. Jakarta : LP3ES.

Tnunay, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar