Minggu, 19 Juni 2011

BAB XIII PEKALONGAN DALAM PENGARUH MATARAM

Pada tahun 1620, kota-kota pantai utara Jawa Tengah seperti Jepara, Kendal, Pekalongan, Pekalongan hingga Cirebon berada di bawah kerajaan Mataram Sultan Agung. Kedudukan Pekalongan selain menjadi bagian kesultanan Cirebon, statusnya berubah menjadi daerah perdikan di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Yogyakarta.
Pada Pemerintahan Sultan Agung, Pekalongan dan Tegal merupakan daerah terpenting, dalam pertahanan wilayah pesisir utara bagian barat. Pada awal masa perkemabangan daerah Pekalongan, di dalam dokumen Belanda tidak banyak disebut-sebut. Sumber-sumber asing baik Portugis maupun Belanda seperti Scheep Togt van Tristanto d’ Achuncha (Pieter van der Aa, 1706), Tome Pires, Summa Oriental, hanya menyebutkan kota-kota Jawa utara pada abad XVI adalah Cirebon, Tegal, Kendal, Demak, Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik dan Surabaya.


Sementara sumber Cina dari abad XIV (Yang yai sheng Lan, Ma Huan, 1512), kota-kota di Jawa yang pernah disinggahi adalah Demak, Cirebon, Jakarta, sementara Pekalongan disebutkan sebagai Wu chueh (K. Mill, Cheng Ho, hal.33). Dokumen Mataram dari Babad Tanah Jawi dan Babad Sultan Agung mencatat nama Pekalongan muncul bertalian dengan persiapan dalam penyerangan Mataram Islam Yogyakarta ke Batavia (Jakarta). Babad Sultan Agung menyebut Pekalongan sebagai Pengangsalan.
“Gegaman wus kumpul dadiyo samyo dandan samyo numpak palwa, gya mancal mring samudrane lampahe lumintu ing Tirboyo lawan Semawis; ing lepentangi, Kendal, Batang, Tegal, sampun Brebes lan Pengangsalan. Wong pesisir sadoyo tan ono kari ing Cerbon Nggertata.”
(Senjata-senjata telah berkumpul jadi satu. Setelah semuanya siap prajurit diberangkatkan berlayar, Semarang, Kaliwungu, Kendal, Batang, Tegal dan Pengangsalan. Semua orang pesisir tidak ada yang ketinggalan. Mereka menyiapkan diri di Cirebon).
Wilayah pantai oleh Mataram merupakan wilayah pertahanan militer terpenting dalam mendukung program politik perluasan pengaruh yang sekaligus dijadikan gerbang ekonomi kerajaan di pedalaman. Pada tahun 1613 raja Mataram Yogyakarta yang bernama Panembahan Krapyak telah meninggal dunia kemudian digantikan putranya yang bernama Sultan Agung. Dokumen VOC menyatakan pada tahun 1602, terjadi pertempuran antara Mataram dan Demak. Pertempuran tersebut disebabkan oleh pemberontakan dari Pangeran Puger yang merupakan anggota keluarganya sendiri. Pangeran Puger diangkat oleh Panembahan Krapyak untuk menjadi kepala daerah Demak. Pertempuran dengan Demak hampir saja mengalahkan Mataram, akan tetapi karena tentara Mataram lebih kuat akhirnya Pangeran Puger kalah.
Buah dari peperangan dengan Demak Mataram telah mendapatkan tenaga-tenaga ahli di bidang kelautan atau bahari sehingga sejak itu telah dibangun pusat-pusat pertahanan laut sebagai bagian daripada pasukan-pasukan Mataram Yogyakarta. Ketika Sultan Agung memerintah pada tahun 1613 hingga tahun 1646 pangkalan-pangkalan militer di utara Jawa Tengah ditempatkan di beberapa kota meliputi kota-kota Jepara, Demak, Pekalongan, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Sejak pengangkatannya menjadi raja Mataram program perluasan wilayah adalah menundukkan kerajaan-kerajaan Jawa Timur yang sebelumnya merupakan musuh yang sulit ditundukkan.
Kerajaan di Jawa Timur yang menguasai daerah pantai baik Madura dan sekitarnya adalah Surabaya. Untuk menyelesaikan penundukan terhadap Surabaya Sultan Agung selama bertahun-tahun harus berkonsentrasi mengerahkan tentaranya ke Jawa Timur. Sementara daerah pesisir bagian utara barat tidak terlalu mendapat perhatian karena wilayah tersebut sudah diawasi oleh Cirebon. Diketahui bahwa kerajaan Cirebon merupakan vasal dari daerah Mataram. Meskipun kerajaan tersebut tunduk di bawah Mataram, akan tetapi tidak terlalu setia karena kerajaan Islam yang berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah tersebut merasa lebih tua dan waris dari kerajaan leluhur yaitu Demak. Sementara itu Banten sebagai kerajaan Islam yang berada di ujung Jawa Barat sebelumnya telah didirikan oleh raja-raja Cirebon.
Selama satu dasawarsa berturut-turut Mataram telah melakukan penyerangan ke wilayah kerajaan di Jawa Timur, yang merupakan sekutu Surabaya. Pada tahun 1616 Sultan Agung telah mengalahkan Lasem dan Pasuruan. Selang setahun kemudian Pajang memberontak, Sultan Agung dengan tentaranya harus menghancurkan kota Pajang dan memindahkan penduduknya ke Mataram. Dua tahun kemudian tentara Mataram menundukkan Tuban (tahun 1619) salah satu daerah sekutu Surabaya terpenting.
Tuban dipandang penting karena merupakan daerah penghasil kayu jati. Dengan menguasai Tuban Mataram dapat membuat kapal-kapalnya untuk perlengkapan pertahanan bahari. Dari musuh-musuh Mataram di Jawa Timur sekarang tinggal Surabaya. Dari tahun 1620 sampai tahun 1625 secara periodik Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil panennya. Sementara itu tentara Mataram oleh Sultan Agung juga dikerahkan ke Sukadana. Sehingga pada tahun 1622 Sukadana sebagai sekutu Surabaya berhasil ditundukkan. Dengan penundukan terhadap sekutu-sekutu Surabaya maka Surabaya lambat laun melemah. Karena hubungan ekonomi antar kerajaan sekutunya terputus. Sedangkan selama itu dari pasokan pangan Surabaya mendapatkan cadangan dari Sukadana. Lemahnya Surabaya dari putusnya hubungan ekonomi dengan kerajaan sekutunya otomatis dikuasai Mataram dan saat terakhir di Surabaya terjadi kelaparan. Dengan timbulnya kelaparan pada tahun 1625 dengan sendirinya Surabaya tunduk terhadap Mataram. Penguasa Surabaya yang dikenal dengan nama Jayeng Lengkara diizinkan tetap tinggal di Surabaya. Sedangkan putranya yang bernama Pangeran Pekik diperintahkan untuk menempuh jalan sebagai pertapa di Ampel Denta dekat Surabaya .
Setelah pendudukan Surabaya bukan berarti Sultan Agung dapat menguasai seluruh Jawa, akan tetapi beberapa daerah/kerajaan baik di Jawa maupun di wilayah Sunda masih tetap berdiri sebagai kerajaan merdeka. Kerajaan di Jawa Barat tersebut adalah Banten sedangkan di Jawa Timur kerajaan yang masih merdeka adalah Blambangan. Sementara itu daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan bagian dari kerajaan Vasal Cirebon. Sementara Cirebon sendiri tidak sepenuhnya tunduk terhadap Sultan Agung karena Cirebon memiliki hubungan yang lebih berpengaruh dengan kerajaan Banten.
Meskipun demikian gambaran yang tepat tentang Sultan Agung sebagai raja Jawa ia adalah satu-satunya raja yang berhasil membangun kejayaaan sebagai kerajaan Islam di Jawa Tengah setelah Demak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sultan Agung bila dibanding dengan pengganti-penggantinya dalam memelihara keseimbangan dan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan lebih bagus. Karena di dalam administrasi pemerintahan lebih desentralisasi yang kedua-duanya tertumpu pada kekuatan militer. Sementara untuk menjaga kewibawaannya ia harus berbuat kejam terhadap lawan-lawannya dan inilah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk menjaga status dan kemegahan kerajaan.
Untuk hal tersebut menjadikan penduduk daerah pesisir yang selama pemerintahannya hampir tidak diberi kesempatan bebas pajak dari pemakaian pelabuhan perdagangan menjadi sasaran eksploitasi pemasukan pajak Mataram. Meskipun pemerintahannya memberikan hak otonomi terhadap kepala daerah setempat akan tetapi Sultan Agung lebih mementingkan stabilitas keamanan dengan mengangkat kepala-kepala daerah yang langsung didatangkan dari keraton. Dengan politik pertahanan Sultan Agung yang dikenakan kepada pejabat kepala daerah wilayah pesisir utara, di beberapa daerah telah terjadi pemberontakan. Untuk mengantisipasi adanya pemberontakan dan membina kepatuhan terhadap Mataram, maka Sultan Agung telah mengangkat bupati dari keraton Mataram. Adipati Manduro Rejo dan Pangeran Upasanta pada tahun 1623 telah diangkat menjadi bupati Pekalongan dan Pekalongan.
Adipati Manduro Rejo dan Pangeran Upasanta adalah saudara sekandung, putra Pangerang Manduro cucu Adipati Mandarata atau Kyai Jurumartani. Kyai Jurumartani adalah cucu Ki Ageng Sela. Kyai Jurumartani dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja dinasti kerajaan Mataram Islam. Pada waktu Senopati menjadi raja Mataram, Kyai Jurumartani diangkat menjadi pejabat teras keraton bergelar Adipati Mandaraka. Kemudian waktu Sultan Agung cucu Senopati naik tahta menjadi raja Mataram, Pangeran Manduro Rejo cucu dari Senopati, diangkat menjadi Wedono Bupati Lebet Keraton bergelar Adipati Manduro Rejo.
Selain itu pada tahun 1623 saat Sultan Agung berkonsentrasi memerangi Surabaya, Adipati Mandu Rejo diangkat menjadi penguasa daerah Pekalongan dan Pekalongan, di samping jabatan yang lama masih dipertahankan.

Wilayah Pantai Sebagai Basis Pertahanan Mataram

Dalam tahun 1625 – 1627, boleh dikatakan sebagai masa kejayaan Sultan Agung, setelah berhasil menguasai Jawa Timur. Dengan demikian hampir seluruh daerah pelabuhan pantai utara telah dikuasai Mataram. Musuh Sultan Agung dari kekuatan asing adalah VOC, yang bermarkas di Batavia. Selama ini hubungan Sultan Agung dan VOC memang tidak terlalu mulus. Meskipun sebenarnya kedua-duanya saling membutuhkan. VOC membutuhkan beras dari pelabuhan Jepara. Sedangkan Sultan Agung masih membutuhkan bantuan pasukan dan senjata untuk memerangi lawan-lawannya. Tapi karena pada setiap perundingan antara kedua belah pihak tidak pernah ada titik temu maka “perang” itulah bagi Sultan Agung menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Menurutnya kemenangan adalah segala-galanya untuk menunjukkan kekuasaan dan kemegahan.
Kegagalan perundingan antara VOC dan Mataram mengenai tawanan perang pada tahun 1619 telah menimbulkan ketegangan-ketegangan yang sangat mengkhawatirkan VOC. Perundingan pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso seorang gubernur pesisir utara yang berkedudukan di Kendal. Tumenggung Bahurekso telah membawa misi dari Mataram dan berusaha mendamaikan permusuhan antara kedua belah pihak akan tetapi VOC karena melihat bahwa, melalui perundingan mengalami kegagalan, mereka telah melakukan perintangan terhadap kapal-kapal Mataram yang menuju ke Malaka.
Sementara ketegangan-ketegangan di laut dapat ditengarai dengan perdamaian-perdamaian. Berturut-turut pada tahun 1622, 1623, dan 1624 VOC telah mengirimkan Hendrick de Haen dan Jan Vos sampai ke Mataram. Ketika mengunjungi Mataram de Haen sempat meninjau keadaan kota-kota pertahanan Mataram di pantai utara di antaranya Tegal, Pekalongan serta Pekalongan. Di Pekalongan Hendrick de Haen diantar oleh Tumenggung Tegal Kyai Ronggo seorang ahli agama dari Persia yang diangkat memerintah Tegal. Menurut de Graaf diceritakan ketika de Haen melihat rakyat Pekalongan sempat bertanya “Mereka adalah budak-budak Mataram” yang dijawab oleh Tumenggung Ronggo, “mereka adalah orang-orang merdeka sebagai pembayar pajak yang dibebaskan sebagai tentara sukarela” .
Akan tetapi politik VOC membangun perdamaian dengan mengirimkan utusan ke Mataram tidak selamanya lancar. Pada tanggal 23 Agustus 1626 seorang Opper Koopman yang bernama Sebalt Bonderar telah memimpin rombongan pergi ke Mataram. Akan tetapi baru sampai di Tegal, ditolak oleh Tumenggung Tegal dengan alasan utusan tersebut jabatannya kurang memadai untuk bisa bertemu dengan raja Mataram. Di samping itu barang-barang yang akan dihadiahkan kepada raja kurang memadai. Sejak itu VOC memastikan dimulainya sikap permusuhan kembali.

Persiapan Perang dan Diplomasi

Secara tidak langsung Sultan Agung sudah tidak bisa bertoleransi untuk berhubungan dengan VOC. Bulan Juli tahun 1626 Sultan Agung melakukan persiapan untuk melawan VOC di Batavia dengan menetapkan wilayah pantai utara jawa dengan segenap bupati-bupati pesisir untuk mempersiapkan penyerangan ke Batavia. Dalam mengemban perintah raja Mataram tersebut babad tanah jawi (BTJ) menceritakan sebagai berikut :
Beberapa saat kemudian sang raja mengadakan pertemuan besar yang diikuti oleh pembesar dari istana dan bupati pesisir lengkap beserta pasukannya. Sultan Agung lalu berkata kepada Pangeran Manduro Rejo : “Manduro Rejo kalian saya perintahkan untuk menyerang Jakarta, yang sekarang sudah diduduki Belanda dan kepala daerahnya sudah kalah perang dengan orang Belanda. Negara Jakarta harus direbut dan orang Belanda harus diusir dari sana. Orang-orang pesisir di Surabaya sampai ke barat kamu kerahkan untuk diajak perang melawan Belanda. Kepada bupati Gresik dan Sampangan Madura, saya perintahkan menyiapkan pasukannya untuk pertahanan di laut. Kalian saya bawakan dua meriam milik Mataram. Akan tetapi dari seluruh pasukan yang saya perintahkan ini kamu (adipati Manduro Rejo) yang harus memimpin sebagai Senopati”. Perintah Sultan Agung tersebut oleh Adipati Manduro Rejo dan bupati pesisir menyatakan kesediaannya “sendiko” .
Atas perintah Sultan Agung Adipati Manduro Rejo bersama-sama bupati pesisir telah memerintahkan gubernur pantai utara Tumenggung Bahurekso di Kendal untuk menyiapkan pasukan dan membagi pos-pos pertahanan di sepanjang kota/daerah pantai utara, sejak dari Surabaya, Tuban, Jepara, Demak, Kendal, Pekalongan, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Pelabuhan Jepara dan Tegal serta Cirebon selain sebagai pos pasukan digunakan juga sebagai pusat logistik. Di kota-kota pelabuhan tersebut telah dibangun gudang atau lumbung padi yang diisi dengan padi dan beras sebagai persediaan perang di Batavia. Madura dan Gresik telah menyiapkan pasukan angkatan laut. Cirebon di samping sebagai pusat logistik dan garningsun pasukan Mataram juga dijadikan bengkel pembuatan senjata. Setiap bupati di daerah pesisir oleh Tumenggung Bahurekso diperintahkan untuk menggunakan senjata buatan Syekh Habirawa salah seorang empu (pembuat senjata) yang sangat terkenal sakti dan terlibat di dalam persiapan perang Sultan Agung melawan Batavia. Bengkel persengkataan Syekh Habirawa terletak di desa Birowo kabupaten Cirebon. Di desa Birowo kini terdapat makam Syekh Birowo dan dalam penelitian tentang Birowo ini komplek makam Syekh Birowo terdapat bangunan dinding komplek yang luas. Senjata-senjata Syekh Birowo terdiri dari tombak bertangkai panjang, mata tombak berpamor lejar karang. Sebagai kreasi mistis dari keampuhan Syekh Habirowo senjata-senjata tersebut telah membantu ketahanan perang para prajurit Mataram yang ada di Batavia. Mengenai senjata-senjata buatan Syekh Habirowo, tahun 2001 penulis telah menginventarisasikan tinggalan-tinggalan yang ada di situs makam Syekh Birowo di Cirebon. Tinggalan senjata tersebut selain beberapa tombak dan keris yang ada di luar makam juga ada sebuah gada yang terbuat dari batu granit serta sebuah naskah al-Qur’an yang ditulis tangan yang diperkirakan ditulis pada abad XVI M. Di Pekalongan tombak Habirowo dirawat secara turun temurun oleh bupati yang memerintah daerah Pekalongan dan dijadikan pusaka. Tombak Habirowo merupakan senjata ampuh yang ikut digunakan oleh pasukan Mataram Sultan Agung untuk menyerang Belanda di Batavia.

Kronologi Penyerangan terhadap Batavia

Pada gelombang pertama tepatnya 13 April 1626 muncullah 14 perahu dengan penuh berisi beras sampai di Jakarta dan membawa pasukan yang dipimpin atas nama Kyai Ronggo dari Tegal yang bertindak sebagai penanggung jawab. Pada tanggal 22 Agustus 1626 atas nama Tumenggung Bahurekso sejumlah 50 perahu yang memuat tentara Jawa telah muncul di bandar Jakarta. Perahu-perahu tersebut memuat 150 ekor binatang ternak, 120 karung beras, 10.000 ikat padi, 26.000 buah kelapa dan 5.900 ikat gula dengan ditumpangi oleh 900 orang. Tiga hari kemudian yaitu pada tanggal 24 Agustus 1626 datanglah 27 perahu dengan muatan ternak yang mana ternak-ternak itu dilepaskan ke darat sedangkan perahu lainnya berlabuh di luar bandar.
Pertempuran Mataram ke Batavia dilakukan dengan pasukan bergelombang. Setiap gelombang pasukan menyebar ke berbagai penjuru terutama di sekitar pertahanan VOC yang umumnya dikelilingi oleh parit dan sungai Ciliwung. Insiden pertama terjadi pada tanggal 24 Agustus 1628. Diketahui pada awalnya dua buah perahu menyerang penjaga pasar dan bangunan benteng yang belum selesai. Setelah mendekati benteng tentara Mataram telah menyerang VOC dengan sangat berani. Pagi harinya tentara Mataram mundur, akan tetapi dari mereka ada yang masih tertinggi di benteng. Dengan semangat keberanian yang luar biasa prajurit Mataram tersebut sambil menyerang seraya berteriak “Amuk”.
Pada tanggal 26 Agustus 1628 muncul sejumlah besar tentara dengan cepat menyerang sambil membawa senjata. Kontingen tentara Mataram tersebut dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso dan Tumenggung Tegal. Atas perintah Bahurekso pasukan Mataram menyerang melalui kota sebelah selatan. Di wilayah tersebut terdapat perkampungan penduduk yang ketika terjadi penyerangan oleh pasukan Mataram segera tempat itu ditinggalkan. Menurut laporan dari David Peters tentara Jawa yang datang kemudian telah bersembunyi di balik pohon kelapa, pohon pisang dan pagar bambu. Tidak jarang pula mereka ada yang bersembunyi di belakang kebun Speex.
Penyerangan pada malam hari tanggal 10 dan 11 September dari pasukan Mataram makin maju menuju kota mendekati jarak sejauh tembakan pistol ke benteng (casteel) . Dalam penyerangan kota tersebut sejumlah 300 serdadu VOC mundur dan antara 30 atau 40 orang gugur. Pada tanggal 21 September benteng Holandia diserang tentara Mataram dan pertempuran tanggal 21 September dianggap merupakan perang yang sebenarnya.
Pertempuran yang memakan waktu siang maupun malam dan terus menerus tak ada henti-hentinya membuat tentara Mataram kelelahan dan ini memperlemah ketahanan terhadap tentara pasukan. Ketika orang-orang mardijker (orang-orang bayaran) dan Cina menyerang pasukan Mataram telah membuat prajurit Mataram mundur. Sejumlah 12 – 1.300 tentara Mataram meninggal dan 2.000 – 3.000 ditawan. Tentara Mataram yang tidak berhasil ditangkap mencari perlindungan sambil mengundurkan ke daerah-daerah pedalaman Jakarta. Pada penyerangan Mataram gelombang kedua meskipun tentara Mataram gagal namun VOC benar-benar terancam karena bentengnya hampir saja jatuh ke tangan Mataram.
Peperangan sebenarnya belum selesai karena baru setelah berhadapan satu sama lain terutama setelah Tumenggung Bahurekso sendiri berhadapan dengan musuhnya, maka mereka mundur . Tentara Mataram tampaknya tidak kuat atau tidak tahan oleh api yang membakar bangunan-bangunan kota sehingga mereka terpaksa harus meninggalkan bandar. Banyaknya tentara Mataram yang gugur termasuk Tumenggung Bahurekso, menjadikan pasukan Mataram tercerai berai meninggalkan Batavia sehingga VOC menemukan 744 mayat prajurit Mataram yang tidak dikuburkan. Beberapa di antaranya tanpa kepala. Akhirnya tentara Jawa mundur dan kembali ke Mataram setelah bulan Desember Sultan Agung menghukum mati panglima-panglimanya yang gagal di dalam pertempuran Batavia. Bagi mereka yang masih hidup pimpinan-pimpinan pasukan tersebut tidak berani lagi kembali ke Mataram dan mereka singgah di tempat-tempat yang dipandang aman.
Adipati Manduro Rejo juga mati dalam pertempuran. Yang oleh prajurit dari Kendal, Pekalongan dan Pekalongan mayatnya sempat dibawa pulang dan kemudian dikebumikan di Kendal. Adipati Manduro Rejo dimakamkan di Proto Wetan desa Proto Mulyo kecamatan Kaliwungu kabupaten Kendal. Sementara itu mayat Adipati Upasanta dimakamkan di pemakaman keluarga raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta. Dari sejumlah petinggi Sultan Agung yang berjasa menyerang Batavia hanya mayat Bahurekso yang tidak diketahui keterangan di mana dikuburkan.
Babad tanah jawi tak menuliskannya. Sementara dokumen VOC menyatakan bahwa Bahurekso meninggal ketika berhadapan dengan musuhnya karena tidak tahan menghadapi api yang mengepung dirinya maka dimungkinkan Bahurekso meninggal di tengah kobaran api. Pada tahun 1629 Sultan Agung mencoba sekali lagi tetapi serangan yang kedua justru merupakan malapetaka. Pasukan meriam milik Sultan Agung yang bergerak pada bulan Mei telah dipukul oleh VOC setelah bulan Juni VOC menemukan dan menghancurkan gudang beras dan perahu di Tegal dan Cirebon. Gudang beras milik Mataram tersebut dipersiapkan untuk menyerang Batavia. Akan tetapi ada sedikit yang terobati bagi Sultan Agung yang sangat kecewa dan bersedih hati karena kekalahannya terhadap VOC, pada tanggal 20 September Jan Pieter Zon Coen meninggal dunia di dalam benteng . Berita VOC yang tercatat dalam dokumen mengatakan bahwa kematiannya karena menderita sakit jantung.
Tahun 1675 telah terjadi pemberontakan orang-orang Makassar di pesisir jwa timur sampai tuban pasukan VOC telah berhadapan dengan pasukan trunojoyo yang akan merebut mataram. Kesetiaan bupati-bupati pesisir sejak dari juwono ke timur mendukung pemberontak. Akan tetepi pelabuhan yang letaknya ke barat sampai Cirebon tampaknya masih setia kepada amangkurat I. Namun setelah pertempuran di gedogog tahun 1676 para petinggi pesisir banyak yang tidak mau lagi mengakui amangkurat I. Dan tahu 1677 pasukan pemberontakan trunojoyo menguasai pelabuhan jepara, Kendal, pekalongan, tegal dan Cirebon.
Pada saat penyerbuan pasukan trunojoyo ke pekalongan di mungkinkan bupati pekalongan ngabehi singowongso ikut menjadi sasaran pembunuhan. Pemberontakan Trunojoyo yang sudah menyebar di seluruh daerah pantai dan pedalaman jawa pada juni 1677 sudah sampai regol utama plered. Amangkurat I tidak mampu lagiu mempertahankan istana dan mengungsi ke barat. Selama perjalananya ia tidak kuasa mengatasi pendritaan dan pada bulan juli 1677 ketika mendekati tegal ia telah meninggal. Oleh puteranya (yang kerlak menjadi amangkurat II) tanggal 13 juli dimakamkan di tegal wangi (selatan tegal).
Pada tahun 1779 trunojoyo ditangkap dan dibawa ke Jakarta oleh VOC. Dan pada tahun 1677 putera mahkota telah diankat menjadi amangkurat II. Namun kedudukan amangkurat II di dalam kerajaannya masih mengalami perpecahan. Belum sampai pada waktunya mataram bersih dari pemberontakan trunojoyo, kini telah muncul pemberontakan surapati. Di samping itu kelak amangkurat III harus menghadapi pangeran puger (kelak paku buwono I).
Sultan agung sudah terlalu lemah oleh usia yang semaakin tua, untuk mempertahankan kejayaannya sebagai raja mataram terbesar. Ia meninggal pada bulan februari 1646. Puteranya susuhunan amangkurat I dinyatakan sebagai penggantinya dan memerintah pada 1647-1677.
Selam pemerintahan sultan agung pekalongan dim juabat oleh bupati manduredjo dan upasanta. Sultan agung dinyatakan sebagai pahlawan nasional. Sementara bahurekso yang berasal dari daerah pesisir kilen adalah seorang panglima yang memimpin tentara mataram pada panyerangan Batavia.
Di dalam daftar pengangkatan bupati, semasa sultan agung dua orang bupati yaitu manduroredjo dan upasanta, dalam babad tanah jawi sebagai bupati pekalonagn. Akan tetapi pada pertempuran ke Batavia tahun 1629 dua orang bupati tersebut telah gugur dalam pertempuran. Adiapati manduroredjo di makamkan di protomulyo kaliwungu Kendal, sedangkan adipati upasanta dimakamkan di imogiri (makam raja-raja mataram-yogyakarta) hingga sampai pemerintahan sunan amangkurat memerintah mataram baru tahun 1677.
Pengangkatan bupati pekalongan yang baru setelah manduroredjo dan upasanta baru terjadi tahun 1660 ketika mataram di perintah oleh amangkurat I (1647-1677).
Pada tahun 1660 amangkurat I telah mengankat raden hangabei singwangsa mejadi adipati pekalongan dan pada tahun 1677 adipati singawangsa mati terbunuh. Di dlam, dokumen belanda maupun mataram tidak memberikan informasi sebab-sebab kematiannya. Namun yang jelas pada tahun 1676, mataram sedang mengalami disinteregrasi.raja sudah terlalu tua dan sakit-sakitan.
Pada tahun 1672 gunung merapi meletus. Bahwa tradisi istana jawa mempercayai suatu siklus abad yangmenunjukkan runtuhnya kerajaan-kerajaan pada setiap akhir abad.(M.C. Ricklefsm ahistory of modern Indonesia).
Pada tahun 1703 amangkurat II wafat. Sementara pada tahun 1704 hingga 1709 terjadi perang suksesi jawa I. Bahwa daerah pesisir dinyatakan mendukung pangeran puger (paku buwono I) beberapa daerah diantaranya seperti Cirebon meminta dijadikan daerah di bawah VOC.
Pada bulan juni 1704 VOC mengakui pangertan puger sebagai susuhunan paku buwono I. Pada tahun 1709 masa pemerintahan pakubuwono I mengankat adipati jayaningrat menjadi penguasa di pekalongan. Pengankatan bupati pekalongan jayaningrat tersebut merupakan yang terakhir bupati-bpati pekalongan oleh kerajaan mataram. Sebab pada masa berikutnya wilayah pesisir utara sejak ditandatanganinya perjanjian gianti yang meliputipembagian wilayah, oleh hamenku buwono I hingga wafatnya pada tahun 1790, pada tahun 1741 pada masa hamengku buwono I telah mengangkat penguasa pekalonagn tan kwee djau sebagai bupati pekalongan. Dimulainya zaman penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah jawa. Pada tanggal 1 januari 1800 VOC di bubarkan dan wilayah-wilayah yang menjadi miliknya kini di bawah pemerintahan belanda lihat bab berikut.

Siapa Bahurekso

Tokoh panglima Mataram yang bernama Bahurekso telah dikenal di dalam dokumen Belanda. Akan tetapi meskipun peranannya di dalam perang Mataram Sultan Agung melawan VOC di Batavia sangat besar, sejak awal persiapan ketika Sultan Agung di hadapan bupati utara Tumenggung Bahurekso tidak pernah disebutkan. Babad tanah jawi yang pada umumnya dalam memberikan informasi tentang riwayat kerajaan Mataram Islam tak banyak menceritakan tokoh Bahurekso yang berperan dalam pertempuran Batavia. Padahal nama Bahurekso tercatat oleh VOC jauh sebelum ia memimpin pertempuran Batavia. Babad tanah jawi mencatat bahwa Bahurekso adalah seorang gubernur pesisir utara yang bertempat di Kendal.
Struktur pemerintahan Sultan Agung adalah desentralisasi. Di mana daerah secara otonomi diberi hak untuk mengatur sendiri yang diawasi oleh pemerintahan pusat/kerajaan. Sultan Agung menyadari bahwa hubungan antara pusat dan daerah di dalam komunikasi sangat sulit. Geografi antara pedalaman dan daerah pantai telah dipisahkan oleh hutan-hutan dan jalan setapak yang tidak mungkin mempermudah untuk melakukan hubungan. Akan tetapi dari segi administrasi daerah tetap mendapat pengawasan dari pusat kerajaan. Daerah pantai dengan pelabuhannya ibarat pintu gerbang kerajaan pedalaman yang memiliki fungsi sangat penting terhadap hubungan laut dengan pihak luar. Oleh karena itu pesisir Jawa Tengah bagian utara oleh kerajaan Mataram yang terletak di pedalaman, menempatkan kota pelabuhan sekaligus juga sebagai pangkalan militer. Meskipun secara administratif kedaulatannya berada di tangan pemerintahan Mataram, akan tetapi daerah pesisir utara Jawa Tengah tetap dianggap sebagai wilayah “Jobonegoro”.
Istilah Jobonegoro bagi keraton Mataram tidak sekedar alasan terhadap jarak wilayah dari kedua daerah, akan tetapi juga berpengaruh terhadap kebijaksanaan kerajaan. Sehingga di dalam menentukan politik ke dalam Mataram harus menempatkan prioritas utama untuk kepentingan dalam “kerajaan”. Kepentingan kerajaan terhadap wilayah pesisir oleh Sultan Agung hanya diperlukan untuk kepentingan pertahanan dan basis ekonomi yang bersifat ekspor di samping sarana pengumpulan pajak. Sehingga untuk kepentingan sosial ekonomi yang menyangkut kesejahteraan rakyat setempat hampir tidak diperhatikan.
Karena alasan pesisir utara sebagai “jobonegoro” sangat mempengaruhi kebijakan kerajaan terhadap wilayah yang dianggap asing dan kurang loyalitas terhadap kepatuhan dan tatanan kerajaan. Sehingga pejabat dari daerah pesisir utara seperti apa yang dilakukan oleh Bahurekso, meskipun sangat menonjol bagi kerajaan tidak terlalu mendapat perhatian apalagi dimasukkan dalam catatan sejarah Mataram. Di tengah-tengah primodial kerajaan karena Bahurekso pertama kali menjadi pejabat Mataram berangkat dari orang biasa dan sebagai seorang tokoh lokal yang dianggap di luar keraton maka cerita Bahurekso di dalam naskah-naskah keraton menjadi bias. Sebagai pahlawan tokoh sejarah akhirnya yang harus menciptakan legitimasi terhadap tokoh Bahurekso adalah masyarakat pesisir itu sendiri meskipun terbatas pada cerita tutur atau legenda karena keberadaan Bahurekso di mata mereka dianggap sebagai mutiara yang pantas mendapatkan kehormatan. Peranannya di utara terhadap Mataram tidak lebih sebagai penjaga teritori dari daerah pantai seperti Jepara, Kendal, Pekalongan, Pekalongan sampai Tegal.


6 komentar:

  1. selamat pagi, saya ingin meminta kritikan terhadap sumber rujukan yang dikutip didalam artikel kompasiana berikut, terutama sarasilah Pangeran Mandurorejo:
    http://politik.kompasiana.com/2015/01/15/sanggahan-untuk-klaim-mas-kusdiono-ttg-jokowi-keturunan-habib-716978.html
    terima kasih

    BalasHapus
  2. Penulisan Jayaningrat dengan Jayadiningrat sering salah kaprah, ada makam Jayadiningrat I dan II di Jejeran, Sewon Bantul dan ada makam Jayaningrat I dan II di makam Gunung Tambal, Gilangharjo, Pandak bantul, sementara juru kunci tidak mempunyai data tertulis...mana yang benar? saya sebagai cucu jayaningrat/T jayawinoto sedang mencari-cari kebenarannya, tolong yang bisa membantu saya (R. Sunu AT-Wonogiri)

    BalasHapus
  3. Menyambung komentar saya 9 Juni2015 yang lalu, saya sempat tiga kali kemakam Gn Tambal dan berbincang dengan juru kunci Bekel Jadi Surasetika dan Puji Tuhan saya mendapat copy tulisan alm KRT Subanar Jayokusumo yang ditujukan kepadaSsultan HB X, bahwa yang benar dimakamkan di Gn Tambal adalah KRT Jayadiningrat I dan II, sedang di Jejeran Sewon adalah Ky Wonokriyo/R. Riya, Gajah Pramodo, Gajah Tjilik, Gajah Telana (KRT Jayaningrat) dll, sedang KRT Jayaningrat I (nama lain RT Djajawinoto/Ky Honggadjaja, putera Gajah Telana ) dan Jayaningrat II dimakamkan di Kradenan, Srumbung, Salam Magelang, dmk semua menjadi jelas, tks berbagai pihak atas perhatiannya (R. Sunu AT, Wonogiri-cucu Ky Wonokriyo)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maap agak sedikit salah KRT Subanar joyokusumo yg sebenernya adala KRT Subanar kusumonegoro yg ditujukan ke HB IX

      Hapus
    2. Maap agak sedikit salah KRT Subanar joyokusumo yg sebenernya adala KRT Subanar kusumonegoro yg ditujukan ke HB IX

      Hapus
  4. Ada sumber..tulisan tahun 1927 kalo gak salah...bahwa yg di Kradenan Srumbung Magelang adalah Tumenggung Jayaningrat menantu HB I...nama lainnya WijayengSastra atau Jayengsastra atau Jayengrat...keturunan Untung Suropati...beliau pujangga besar Kraton Yogyakarata yg menulis Babad Mangkubumi Babad Kraton, Serat Surya Raja dan Nitik Ngayogyokarto...

    BalasHapus