Minggu, 19 Juni 2011

BAB XVII PERUBAHAN SOSIAL PASCA KEMERDEKAAN

Secara umum masyarakat Indonesia yang baru mengalami kemerdekaan masih merasa khawatir akan datangnya pendudukan Belanda kembali. Namun secara sosiologis nilai-nilai hidup masyarakat tidak dapat berubah. Bilamana ada perubahan tidak bisa berlangsung cepat. Ada perubahan sosial selama penjajahan baik Jepang maupun Belanda, yaitu orang yang tadinya dalam ketakutan setelah merdeka ketakutan itu menjadi lenyap.

Pelajaran semangat dan kesederhanaan yang diajarkan oleh jepang masih terasa pengaruhnya sampai tahun 1950. Sehingga masa itu masyarakat Indonesia masih hafal akan istilah-istilah Jepang yang berkaitan dengan alat-alat perjuangan semisal Gunden, peralatan telpon untuk lapangan, Kyoten yaitu alat untuk pertahanan terakhir dan kata-kata Jusaken dan Henkan.
Kemudian dalam penilaian status masalah kedudukan, jabatan maupun pangkat merupakan lambang-lambang yang masih menjadi kebanggaan dan kebesaran seseorang. Namun dalam perkembangan di bidang ekonomi kelas pemsaran yang selama ini dipandang asing terasa sekali pengaruhnya. Barang-barang teknologi yang dianggap baru dan datang dari luar telah mempengaruhi perubahan terhadap orientasi masyarakat yang sebelumnya masih bertahan kepada semangat kesederhanaan, dan bergeser kepada kebendaan yang oleh mereka dijadikan sebagai lambang kebesaran.
Masalah lambang status ynag mengacu pada penilaian kebendaan ini juga terjadi pada masyarakat di desa-desa. Yang mana status seseorang dapat diukur melalui luasnya kepemilikan sawah, bukan lagi terlihat mampu ataupun tidaknya seseorang. Sementara kedudukan kelas konsumen bukan lagi diukur dengan kemampuan membeli barang-barang tersebut. Sebab apabila tidak mampu membeli kebesaran semacam itu statusnya hanya sebagai penonton.
Perubahan ke arah kebendaan ini berkaitan dengan hubungan ekonomi dari negara mana yang paling besar memasukkan barang-barangnya hingga dapat mempengaruhi perubahan mentalitas yang mudah mendatangkan pengaruh budaya asing. Perubahan keadaan setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan adanya RIS, maka diadakan hubungan pusat dan daerah. Hubungan ini ada yang berjalan mulus tanpa masalah, ada juga yang sulit diatasi oleh pusat. Seperti yang terjadi di Karesidenan Pekalongan, berkaitan dengan Peristiwa Tiga Daerah. Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi pada tahun 1945 menimbulkan pro dan kontra antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Apa yang terjadi di daerah Karesidenan Pekalongan yang disebut Peritiwa Tiga Daerah adalah masalah politik daerah yang menimbulkan adanya revolusi sosial pada saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945.
Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah, yaitu Pemalang, Tegal dan Brebes di Karesidenan Pekalongan ini oleh Anton E. Lucas digambarkan sebagai peristiwa sosisal politik yang sangat mempengaruhi sikap pemerintah pusat. Karena berlangsung pada masa seluruh bangsa Indonesia sedang berevolusi mengusir penjajah dalam usaha memperoleh kemerdekaannya.
Apa yang menyebabkan peritiwa tersebut terjadi yaitu dengan memahami faktor penyebabnya yang telah diuraikan oleh Anton E. Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Dalam Revolusi.
Peristiwa Tiga Daerah terjadi di luar kota Pekalongan yaitu di daerah Comal, Pemalang, Tegal dan Brebes, yang merupakan sentra-sentra daerah pabrik gula maupun sandang yang dikuasai oleh Belanda. Daerah itu selama ini menjadi basis gerakan, dikarenakan adanya tekanan masalah ekonomi dan politik. Seperti kita sebutkan dalam buku ini terbentuknya kelas pemasaran pada masa kolonial, bahwa golongan Priayi, Pamong Praja, Kepala Desa maupun golongan elite Birokrat adalah perpanjangan tangan Pemerintah Belanda. Ketika sistem tanam paksa diterapkan, mereka dijadikan pejabat kapitalis yang bertugas mengurus sewa-menyewa tanah dan sebagai pemungut pajak kolonial (curvee).
Pergerakan yang terjadi di Karesidenan Pekalongan dimotori oleh kelompok kaum pergerakan dari veteran eks-Digulis, yaitu mantan pemberontak PKI yang pada tahun 1926 dibuang ke Digul. Dan pada bulan Agustus tahun 1945 bersama-sama kaum Nasionalis memainkan peranan besar memimpin kelompok lain untuk mengadakan Revolusi Sosial di Tiga Daerah.
Dalam perjuangan kemerdekaan, kelompok ini telah menyebarkan berita prokamasi yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka juga yang mengibarkan bendera merah putih di Tiga Daerah Karesidenan Pekalongan dan mengirimkan utusan ke Jakarta.
Dampak dari pendudukan Jepang dengan beban berat yang ditimpakan rakyat wajib setor padi, wajib kerja paksa (romusha) ditambah lagi sebelumnya, pada masa kolonial dengan tanam paksa melalui kaum Elite Birokrat, Kepala desa, Camat atau Pamong Praja serta kelas pemasaran Tionghoa, telah meninggalkan kesan kebencian yang mendalam.Sehingga pada saat terjadinya kerusuhan sosial yang disebut mereka sebagai (revolusi) menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat. Sasaran mereka adalah menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintah seperti Camat, Wedono, Kepala Desa, Bupati dan pemimpin tradisionil yang dianggap terlalu keras terhadap rakyat dan setia kepada Belanda maupun Jepang.
Dan yang lebih lagi dalam Revolusi di wilayah Pekalongan ini terjadi adanya kekerasan terhadap kelompok Tionghoa dan Indo-Belanda yang kebanyakan tinggal dan menguasai pabrik-pabrik gula Belanda. Oleh karena itu, ketika peristiwa berlangsung dengan caranya sendiri, orang-orang seperti Kepala Desa, Camat maupun Wedono telah dibunuh. Para Indo-Belanda disiksa sebelum dibunuh, sedangkan toko-toko Tionghoa dijarah dan hartanya dirampok.
Gerakan yang menimbulkan kerusuhan di Tiga Daerah itu sampai pada puncaknya, ketika Residen Pekalongan Suprapto diturunkan diganti oleh kaum pergerakan dengan mendudukkan Sarjio yang komunis. Pengangkatan Residen Komunis tersebut tidak berlangsung lama, setelah diketahui bahwa gerakan Revolusi Tiga daerah yang berhasil mengobarkan rakyat dengan kerusuhan sosial telah didalangi oleh kelompok gerakan bawah tanah PKI eks-Digulis. Gerakan itu akhirnya mendapat perlawanan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang sebelumnya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Dengan tindakan militer, TKR telah melucuti 50 pengawal Tiga Daerah dan menangkap Residen Komunis Sarjio, kemudian menyusul sampai 178 orang yang ditangkap dan dipenjarakan.Dalam melawan Gerakan Tiga Daerah yang dipelopori oleh kaum radikal revolusioner gerakan bawah tanah komunis, berakhir dengan dijatuhkannya hukuman melalui proses pengadilan yang cukup lama. Sejak itu daerah Karesidenan Pekalongan menjadi tenang. Sampai datangnya serangan Agresi Militer Belanda terhadap Republik Indonesia (pada aksi militer Belanda 21 Juli 1947), dimana serangan Belanda itu tidak sampai masuk Pekalongan, akan tetapi pengadilan pemimpin Tiga Daerah belum juga selesai.
Itulah sebabnya oleh Pemerintah Pusat memandang bahwa Peristiwa Tiga Daerah sebagai gerakan yang menentang Pemerintah. Dan Presiden soekarno menganggap Revolusi Tiga Daerah yang menimbulkan kerusuhan sosial di Talang, Tegal, Pemalang, Brebes dan Comal disebut sebagai “Negara Talang”.

Perjuangan melawan Belanda

Belum sampai luka dari pendudukan Jepang sembuh, pada bulan Juli 1947 telah terjadi aksi militer Belanda, yang menimbulkan pemerintahan Karesidenan Pekalongan diungsikan ke Selatan wilayah pedalaman. Sementara itu, para pemimpin peristiwa tiga daerah sedang dalam proses pengadilan. Dengan keadaan yang tidak menentu, Hakim Soeprapto yang bertugas mengadili pinmpinan tiga daerah, sambil membawa berkas pengadilan terpaksa bersama-sama pejabat karesidenan Pekalongan memindahkan pusat Pemerintahannya ke Lebak Barang.
Para pejabat karesidenan dari kabupaten Pekalongan ke Lebak Barang antara lain, Wali Al Fatah (Residen Pekalongan), Soedjono (Asisten residen Pekalongan), Agoes Miftah (Sekretaris Residen Pekalongan), M Soerodjo (Bupati Pekalongan), R. Soepeno (Patih Pekalongan), R. Kasim Brotodirdjo (Kepala Djawatan Penerangan Pekalongan), Soeprayitno (Patih Pekalongan), Moehidin (Sekretaris Bupati Pekalongan), Dr Moeljadi (Kepala Rumah Sakit Pekalongan), Tobing (Kepala LP Pekalongan), R. Tjokrowidagdo (Wedono Pekalongan), Mochtar (Wedono Comal) dan para Pejabat Militer antara lain: Major Brotosewoyo, Kapten Soegardjo, Kades Kaslan dan para staf pemerintahan serta masyarakat lainnya.
Pusat Pemerintahan Darurat berlangsung selama satu bulan. Selama itu pula para pejabat menggunaklan rumah penduiduk sebagai tempat tinggal dan menjadikan rumah milik seorang Belanda bernama Thomas, sebagai Kantor Residen dan Kantor Bupati. Akan tetapi semula tempat yang dianggap aman ternyata tidak lepas dari incaran penjajah Belanda. Pada saat itu terjadi penyerangan oleh tentara Belanda yang menyebabkan 2 orang pegawai staf pemerintahan Pekalongan, masing-masing Soekatyo dan Soekono gugur. Penyerangan tentara Belanda tersebut, mengakibatkan pos pemerintahan menjadi kacau, dan berpindah-pindah tempat. Akhirnya para pejabat dan pengungsi memutuskan untuk mencari tempat diwilayah Selatan yaitu Wonosobo dan Magelang.

Serangan Dari Beberapa Penjuru.

Ketika Belanda mulai menduduki kembali ke daerah Pekalongan hampir dikatakan sangat mengejutkan . Sebab tidak disangka-sangka Belanda yang diramalkan tidak akan masuk Pekalongan ternyata telah mengadakan bombardir dan penyerangan memasuki Pekalongan. Dengan adanya Belanda memasuki kota Pekalongan terpaksa rakyat dan pejabat pemerintahan harus mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman. Serangan Belanda terhadap kota Pekalongan dilakukan dari berbagai penjuru, baik dari udara, darat maupun laut. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang beberapa bulan setelah Proklamasi telah menghadapi Gerakan Tiga Daerah, pada tahun 1948 harus berhadapan dengan tentara Belanda.
Tentara Keamanan Rakyat yang terdiri dari Resimen 17 dibawah pimpinan Kapten Soemantoro pada awalnya telah berusaha membendung serangan Belanda. Dan pasukan tersebut masih bertahan didaerah pinggiran kota. Akan tetapi serangan Belanda dari arah barat dan utara telah mendesak pasukan tentara rakyat mundur kearah timur. Salah satu dari strutup yang dipimpin Kapten Soemantoro terjadi kontak senjata dan memaksa pasukan TKR terdesak mundur. “Pada waktu itu serangan Belanda sangat gencar. Belanda terus mengejar hingga memasuki wilayah Warungasem,Pandansari, Batang . Pasukan kami terus dikejar hingga memasuki daerah Krompeng, Talun terus ke kecamatan Doro. Saat beristirahat di Galang Pengampon, Wonopringgo,teman kami bernama Saefudin gugur ditembak Belanda. Pasukan terus bergerak kearah Dukuh Sewawar desa legok gunung dan berlanjut kedesa Pododadi dan Desa Lolong kecamatan Karanganyar.”.Demikian tutur bapak Tarmudji salah satu pelaku.(Catatan wawancara dengan bapak Tarmoedji salah seorang pelaku dari anggota Resimen 17 dengan Gema Kota Santri edisi no: 03 /Th XII/2007).

Kontak Senjata Di Lolong

Bapak Tarmoedji mengatakan bahwa di Lolong, komandan telah memerintahkan untuk bersiap diri melanjutkan perjalanan. Akan tetapi pasukan belum mulai bergerak, jam 8 pagi mendadak Belanda telah membrondong dengan senapan. Kapten Soemantoro berteriak lantang memerintahkan siap senjata dan terus bergerak mencari tempat yang aman. Dengan menyusuri sungai pasukan pejuang berusaha menghindar. Dibawah hujan peluru Belanda, pasukan berusaha menerobos Lolong terus naik keatas meninggalkan sungai memasuki hamparan sawah di Dukuh Jambe. Sementara itu pasukan Belanda sudah menghadang dengan tembakan-tembakan gencar. Dibawah hujan peluru Belanda, pertempuran hidup mati tak terhindar lagi. Para pejuang ada yang berhasil lolos, dan beberapa orang ada yang tertangkap hidup di pihak musuh. Diantaranya 2 orang yaitu Moelyono yang memegang senjata metraliur dan seorang pemegang Loop Mortir. Sedang sisa pasukan yang lain telah menyelamatkan diri kedesa Selong terus ke Mendolo, Lebak Barang. Kemudian pasukan perjuangan melanjutkan perjalanan sampai di Petung kriono. Didalam laporan kepala desa Lolong setelah terjadinya Clash II dikatakan pertempuran Lolong disamping pembakaran desa oleh Belanda, ke empat orang penduduk Lolong yaitu Sukiyo,Kasan, Warno, dan Surya telah ditangkap dan gugur ditembak Belanda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar