Minggu, 19 Juni 2011

BAB XVI MASA PENDUDUKAN JEPANG

Setelah Belanda mngalihkan Hindia-nya kepada Jepang, tanggal 8 Maret 1942 maka pada tanggal 17 Maret, Jepang tiba di Pekalongan. Pada saat wilayah tersebut pulih dari kekacauan dan huru hara, ketika jatuhnya pemerintahan Kolonial. Kehancuran Belanda telah meninggalkan pabrik-pabrik milik Belanda diantaranya: Pabrik Gula di Comal, di Tegal, pabrik Minyak/ BBM (Batavische Petroleum Mascapaiy) dan Pabrik Tekstil di Tegal. Dengan jatunya Belanda, para Pangreh Praja telah kehilangan tulang punggung kekuasaan. Cina-cina yang tadinya menjadi perpanjangan tangan Belanda, dalam distribusi ekonomi juga ikut menjadi sasaran utama kemarahan rakyat. Sampai Jepang mulai melakukan langkah-langkah politiknya, masa rakyat masih memburu para pamong dan melakukan penjarahan pada pusat penggilingan beras dan toko-toko Cina, seperti di Pemalang dan Comal.

Pemerintahan masih dikuasai oleh penjaga kota (Staadswacht) akan tetapi polisi tak mampu mengatasinya. Penduduk Cina banyak yang kabur, mencari perlindungan di kantor pemerintah. Kosongnya pengawalan Belanda, membuat narapidana menjebol penjara dan kabur bergabung dengan arus pemberontakan umum.

Penerapan Politik Jepang

Semboyan “Asia Timur Raya” adalah slogan Jepang dalam menerima tugas dari Tokyo untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Asia Timur di bawah pimpinan Dai Nippon. Jalan tercepatnya adalah dengan menguasai sumber daya alam dan manusia guna memenuhi kebutuhan tentara Jepang. Beberapa kebutuhan pokok di kawasan Asia, menyebabkan Jepang melakukan politik yang disebut “mencukupi kebutuhan sendiri” (Genji Jikatsu) di wilayah pendudukan.
Program politik di bidang ekonomi Genji Jikatsu ini dilakukan pada saat posisi Jepang dalam peperangan di Asia Tenggara mulai melemah. Kebijaksanaan inilah yang mendasari kewajiban paksa mengumpulkan semua hasil perkebunan oleh pemerintahan Jepang dengan pembagian dan penjatahan surplus produksi pertanian rakyat disamping perekrutan tenaga kerja paksa, untuk berbagai proyek di wilayah masing-masing.
Ketakutan akan serangan dari selatan, mendorong Jepang melakukan pengumpulan cadangan logistic, mesin dan bahan pangan. Selebihnya, di Pekalongan asisten Residen Baru Jepang yang bernama Toshio Ota, mengganti nama karesidenan Pekalongan menjadi Pekalongan Shu. Yang wilayah operasionalnya meliputi Pekalongan, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes.
Di dalam kebijaksanaan politik pengumpulan hasil pertanian rakyat, yang pertama adalah kewajiban paksa menyetor padi kepada penguasa Jepang. Kewajiban paksa pengumpulan padi tersebut, petani dipaksa harus meyetorkan langsung kepada penggilingan. Mereka tidak diizinkan membawanya ke rumah, kecuali untuk kepentingan benih dan makan saja. Selebihnya harus disetorkan ke Kepala Desa atau Carik. Dengan begitu pejabat desa terlibat langsung dengan paksaan. Laporan Jepang dari “Problem of Reis”, yang ditulis oleh Ben Anderson, 11 Oktober 1966, menggambarkan system distribusi dan pemasaran di wilayah Pekalongan sebagai berikut:
- harga padi di wilayah karesidenan Pekalongan, awal Januari 1944 adalah Rp.4 per Kg. Di pusat pengumpulan terjadi penyusutan, akhirnya petani hanya menerima Rp.1,88 sen, sementara itu para pemilik modal, memborong dan menjual di pasar gelap dengan harga Rp.40 per Kg.
Dengan sistem distribusi yang buruk, disamping ada yang dirugikan, terutama rakyat petani, para pengumpul seperti Lurah atau Carik dapat melakukan korupsi dan penyunatan dari jatah pengumpulan beras. Di lapangan, kepada Chou Sangai In menunjukkan bahwa distribusi beras secara teratur hanya dapat dinikmati terbatas pada pegawai negeri. Adanya ketimpangan pangan dan pengumpulan padi mengakibatkan keadaan rakyat Pekalongan maupun di Pekalongan sangat buruk.
Kondisi di desa-desa selama pendudukan Jepang, sedemikian buruk yang mendorong rakyat berpaling mencari bahan pangan pengganti antara lain singkong yang dijadikan Bolet, umbi Budur, yang mula-mula direndam dengan air garam karena getahnya beracun lalu dimasak untuk di makan. Bonggol pisang juga dimasak untuk dimakan, demikian pula daun kelapa muda yang disebut Bulung.
Organisasi wanita yang disponsori Jepang yaitu Fujinkai, telah mengajarkan masakan yang tak lazim, tetapi menurut Jepang memberikan gizi yang tinggi. Yaitu bagaimana memasak bekicot dan roti Asia yang merupakan adukan gula merah dan bekatul. Dan dari akibat politik pangan Jepang inilah telah menjadi gambaran sehari-hari adany orang mati karena kelaparan, penyakit kekurangan gizi, yang mengakibatkan badan menjadi tulang belulang dan penyakit pes muncul dimana-mana. Yang mana penyakit ini dahulu oleh Belanda berhasil ditumpas.

Kekurangan Sandang

Suatu saksi yang tercatat di dalam buku harian yang di tulis pada awal tahun 1940, adalah dari DR. Muryaman, yang disampaikan kepada DR. Anton Lucas mengenai masalah sandang pada masa Pemerintahan Jepang. Pembagian penyerahan tenaga, penyerahan bahan-bahan makanan yang semua dirasakan sedalam-dalamknya oleh penduduk. “Perasaan dendam ini ditujukan kepada Pangreh Praja yang sebenarnya menindakkan perintah dari atas, pembagian jatah sandang untuk penduduk dilakukan tidak semestinya…”(Peristiwa Tiga Daerah, hal. 53). Pada awal masa pendudukan pemerintahan Jepang, mengambil alih pabrik tekstil di Jawa termasuk perusahaan Belanda di Tegal. Bahan tersebut didistribusikan kepada orang sipil hanya bila ada kelebihan setelah kebutuhan tentara terpenuhi. Di karesidenan Pekalongan, penjatahan bahan sandang disesuaikan dengan setoran beras. Penjatahan sangat dibatasi bagi mereka yang tidak dapat menjual padi. Pada akhir pendudukan, penyerahan ini diberhentikan sama sekali. Dalam penjatahan sandang yang terbatas itu, hingga sampai rakyat didistribusikan sangat tidak adil. Penimbunan bahan sandang dan pangan dilakukan oleh para pejabat. Pengurus Koperasi yang mendistribusikan bahan sandang mengambil 20 %, dan keluarga Camat secara utuh mendapatkan jatah sandang. Sementara rakyat dibiarkan telanjang karena tiada pakaian untuk menutup tubuhnya, mereka terpaksa menggunakan bahan karung goni. Sementara keluarga Lurah memperoleh bahan pakaian secara berlebihan.

Proyek Kerja Paksa

Penguasa Jepang dan pangreh Praja dengan proyek Romushanya telah membuat karesidenan Pekalongan sebagai proyek kerja raksasa. Sejumlah 228.000 orang diperkejakan di luar daerah. Tetapi karena kesulitan sarana transportasi keberangkatan kapal yang tertunda, menjadikan proyek tersebut terhambat. Pengerahan kerja paksa (romusha) melibatkan pimpinan pergerakan dengan pangreh Praja beserta pemerintah Jepang ditunjuk menjadi pelaksana. Di Pekalongan, Kromolawi seorang Soekarnois angkatan lama selaku pimpinan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) merupakan pelaksana pengiriman romusha keluar karesidenan Pekalongan. Di dalam pengiriman romusha tersebut banyak yang tidak kembali. Namun bagi para pelaksananya yaitu tokoh-tokoh pergerakan merasa puas dengan proyek tersebut. Tan Malaka dalam kesaksiannya dari penjara ke penjara memberikan keterangan sangat berbeda mngenai kesejahteraan romusha yang diperkerjakan di Banten Selatan. “Sukarelawan dari Pekalongan dan Kedu adalah anggota Seinendan. Lebih dari 15.000 romusha yang bekerja di tambang itu dan di antara 400 sampai 500 orang setiap bulannya meninggal karena penyakit kurang gizi.

Perlawanan Dengan Kekerasan

Peristiwa yang menciptakan keresahan dan perlawanan terhadap para Pangreh Praja disebabkan oleh perlakuan para elit tradisionil yang tidak melindungi rakyat dari kesengsaraan. Oleh karena itu selama pendudukan Jepang di beberapa daerah terjadi perlawanan dengan disertai tindakan kekerasan dari aparat atas nama tangan-tangan Jepang. Perlawanan oleh para petani ini, yang menjadi dasar alasan adalah bahwa mereka tidak mampu lagi menyetor padi. Memasuki tahun 1944, dukungan semakin bertambah bagi setiap aksi melawan penguasa Jepang, kaum elit birokrat menjadi alat penindas bagi Jepang. Perlawanan politik yang terorganisir mulai nampak menjelang tahun 1945, beberapa pemimpin pergerakan dari Tiga Daerah dari Tiga Kelompok langsung terlibat dalam gerakan bawah tanah. Kelompok gerakan bawah tanah, dilakukan oleh kader-kader PKI. Selain mendapat bantuan dari gerakan komunis Internasional yang membawa garis Demitrov mengenai pembentukan Front Demokrat melawan Fasis, pemerintah Belanda juga membantu seorang anggota pergerakan bawah tanah Amir Syariffudin, yang kemudian diketahui oleh pihak Jepang melalui jaringan mata-mata. Kondisi buruk yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kebijakan ekonomi perang Jepang sangat mengurangi kemampuan para Pangreh Praja untuk memimpin rakyat. Pada masa pendudukan, para Pangreh Praja tidak lagi mendapatkan kepercayaan lagi dari rakyat, sebaliknya kaum pergerakan bawah tanah, seperti Negen Broeders, Kelompok Barisan Pelopor, dan Koperasi Rakyat Indonesia telah muncul hingga waktunya kejatuhan Jepang. Kelompok perlawanan yang lain kecuali komunis tidak pernah melakukan perlawanan terhadap fasis Jepang. Kepemimpinan Barisan Pelopor sangat menonjol karena salah satu masalah penting di dalamnya terdapat anggota dan pimpinan dari Nasionalis Kiri, yang semuanya eks-Digulis veteran, dan korban dari pemberontakan tahun 1926.

Saat Saat Menjelang Kemerdekaan

Tanggal 14 Agustus 1945 jam 9 malam, beberapa anggota Barisan Pelopor Tegal, melalui radio gelap baru mendengar siaran bahwa Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu, berita Jepang tersebut disiarkan melalui radio Saigon. Kemudian berita Australia menyebutkan bahwa Jepang telah menyerah. Meskipun siaran pernyataan menyerahnya Jepang oleh Kaisar sudah didengar Dunia, akan tetapi tidak diterima oleh pimpinan dan tokoh-tokoh Indonesia, sampai petang hari berikutnya tanggal 15 Agustus, pemuda di Jakarta bahwa Jepang menyerah tanpa syarat melalui siaran radio San Fransisco. Karena Jakarta – Semarang dapat ditempuh selama 8 jam, maka kereta api Jakarta – Semarang telah dipenuhi pamflet-pamflet yang berisi tulisan: “Merdeka atau Mati”. Pada tanggal 19 Agustus, Negenbroeders di Tegal segera mengirimkan anggotanya untuk mengikuti perkembangan di Jakarta. Akan tetapi ketika mereka sampai Jakarta, mereka tidak menemukan pemimpin dari asrama Menteng 31, karena mereka berada di Rengasdengklok. Tanggal 20 Agustus, kurir dari Tegal kembali dengan membawa plakat-plakat yang berisi teks Proklamasi yang tercetak di atas kertas.
Di tengah-tengah suasana Proklamasi, sebaliknya para Pangreh Praja masih dingin-dingin saja karena tidak memiliki sumber informasi, kecuali menunggu berita resmi dari pemerintah. Diketahui bahwa perjanjian antara sekutu di Potsdam dekat Berlin yang dicapai pada tanggal 16 Agustus 1945 antara lain menyebutkan akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Ini mendorong Pemerintah Jepang berjanji akan cepat memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Soekarno-Hatta.
Keputusan yang diambil di Potsdam sangat berpengaruh banyak pada keterlambatan kemerdekaan. Lebih-lebih komandan Jepang pada tanggal 18 Agustus menyetujui keputusan Potsdam. Sementara para Pangreh Praja masih tetap optimis sesuai dengan keputusan Potsdam bahwa Indonesia akan dikembalikan kepada Belanda. Mereka hanya menunjukkan sikap “tunggu dan lihat”, karena masih berharap tentara sekutu akan segera tiba. Yang menjadi keresahan rakyat, meskipun Jepang dinyatakan sudah menyerah akan tetapi mereka masih berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan kekuatan senjata. Karena sampai tanggal 18 Agustus tidak ada kepastian Proklamasi untuk mengibarkan bendera merah putih, kaum pergerakan di Pekalongan dan Pekalongan masih bimbang untuk memasang bendera merah putih. Para elit birokrat tetap melarang pemasangan bendera merah putih sehingga segera diperintahkan ” turunkan itu”, mereka juga takut akan reaksi Jepang apabila gerakan revolusioner melnjutkan kampanyenya menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan bendera merah putih. Faktor lain yang menyebabkan hubungan dengan kaum perjuangan itu memburuk, adanya kecurigaan gerakan subversive yang menyambut baik kembalinya penguasa Belanda di kalangan Para pangreh Praja. Menurut informasi dari gerakan perjuangan hal ini ada kaitannya dengan gerakan untuk kemenangan “VVV” (Vak Voor Viktorie) yang dulu dipimpin oleh asisten residen Belanda ArtCoert pada tahun 1940 sesudah Jerman menduduki Belanda. Di Pekalongan tersiar desas-desus tentang terbentuknya komite rahasia pejabat-pejabat tinggi Pangreh Praja menyambut kedatangan Belanda (Comitee Van Oonsvangt) dan konon Bupati Pekalongan R.A.A Suryo yang menjadi bupati sejak tahun 1924 juga terlibat.




Peristiwa Berdarah 3 Oktober 1945

Baru pada tanggal 22 Agustus 1945, di kantor Shu Choo (residen) oleh Jepang diumumkan bahwa sekutu akan datang tanpa menyinggung proklamasi Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apalgi membicarakan penyerahan senjata dan kewenangan pemerintahan kepada bangsa Indonesia. Sementara pada tanggal 19 September 1945, di Jakarta belangsung rapat raksasa di lapangan Ikada. Atas undangan Sukarni, dua pemuda dari Pekalongan, yaitu A. Kadir Bakri dan Sutarto ikut hadir. Di Pekalongan telah disepakati untuk mengadakan perundingan dengan pihak Jepang mengenai pelaksanaan pemindahan kekuasaan, sebagaimana ditetapkan dalam dictum Proklamasi. Tiga orang yang terdiri dari: “Mr.Besar”, DR. Sumbaji dan DR. Maas, telah mengahadap Shu Cho Kan, guna menentukan kapan perundingan bias diadakan. Setelah terjadi pembicaraan, perundingan ditetapkan tanggal 3 Oktober 1945 jam 10 pagi bertempat di markas Kem-Petai. Tuntutan dari pihak Indonesia terdiri dari 3 pasal yaitu: a. pemindahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada Indonesia dilaksanakan dengan damai dan secepatnya. B. semua senjata yang ada di tangan Jepang baik yang ada di Kem-petai, Kai Bitai maupun yang ada di tangan Jepang Sakura harus diserahkan kepada pihak Indonesia. Pihak Indonesia memberikan jaminan kepada Jepang bahwa mereka akan dilindungi dan diperlakukan dengan baik dikumpulkan menjdi satu di markas Kai Bitai.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, pada perundingan itu, sejak pagi rakyat Pekalongan dan sekitarnya dalam kelompok besar maupun kecil berduyun-duyun membanjiri jalan besar di markas Kem Petai. Di dalam suatu gerombolan itu barisan eks-Heiho dan mantan pasukan PETA menyatu dengan rakyat. Sampai pada jam 9 pagi di tempat itu sudah penuh menjadi lautan manusia, mereka berpakaian siap tempur dengan lencana merah putih sambil membawa bambu runcing, parang, pentungan, potongan besi dan lain-lain. Juga ada yang membawa minyak tanah untuk membakar markas Kem Petai jika dipandang perlu. Di antara rakyat ini juga ada dari kepolisian dengan pakaian preman antara lain: Suwarno, Sunaryo, Utarman dan teman-temannya. Pada peristiwa itu juga hadir seorang tokoh ulama Kyai H. Safii, yang ikut serta mengerahkan dan memimpin massa rakyat. Pada saat yang sama di tengah perundingan di Gedung Kem Petai, telah terjadi penyandraan oleh orang-orang Jepang dari kelompok Pemerintahan dan kelompok Sakura yang disekap oleh Massa di salah satu ruangan kantor Shu Choo. Mereka didudukkan dengan dijaga ketat oleh pasukan pemuda yang jumlahnya ratusan yang masing-masing membawa senjata tajam. Para sandera ini akan dibunuh jika perundingan sampai gagal. Beberapa saat kemudian terjadi tembakan metraliyur Jepang, banyak rakyat yang menjadi korban dan mereka bertumbangan akibat penembakan. Kerumunan massa tersebut banyak yang meninggal seketika diamping ada juga yang luka parah yang oleh beberapa relawan telah dibawa ke Rumah Sakit Keraton, selama peristiwa tersebut ada 37 orang yang gugur disamping 12 orang yang menjadi cacat.
Yang cukup mendebarkan hati dalam keadaan yang sanagt kritis, tiga orang pemuda yang pemberani naik ke atas genting dengan maksud mengibarkan bendera merah putih, belum sempat bendera itu berkibar, tiga pemuda itu yaitu: Rahayu, Mumpuni dan Bismo telah tertermbak oleh Jepang. Tidak dapat dipastika berapa yang meninggal, karena yang mati dan luka-luka sempat dilarikan. Namun ruangan itu sendiri yang ditandai oleh genangan-genangan darah cukup menjadi saksi, banyaknya korban di pihak Jepang. Di dalam suasana yang gawat tersebut, sekeliling markas sunyi sepi. Kelompok delegasi dan pemuda berusaha mengatasi keadaan, mereka mencoba meminta bantuan dari Semarang, sebab di khawatirkan pada malam harinya, Jepang akan mengadakan pembalasan serta penangkapan-penangkapan. Dalam pembicaraan interlokal dengan B. Suprapto diperoleh jawaban bahwa Semarang tidak dapat membantu karena situasinya sedang menghadapi pertempuran di Ambarawa. Pada akhirnya, dengan perantara telpon, eks Dai Danchoo Iskandar Idris telah mengadakan pembicaraan dengan eks-Dai Danchoo Sudirman di Purwokerto untuk segera menghubungi Bu Tai Choo yang membawahi bala tentara Jepang seluruh Karesidenan Banyumas dan Pekalongan supaya menarik seluruh tentara Jepang keluar dari Pekalongan.

Krisis Sandang, Lahirnya Organisasi Hokokai, dan Batik Djawa Hokokai

Perang Dunia II telah mengakibatkan situasi perdagangan mengalami ke-kacauan dan terhenti, baik ekspor maupun impor. Adanya situasi yang sedemikian rupa itu, menyebabkan Jepang juga menerapkan sistem penjatahan bahan sandang selain pengaturan tentang pangan, romusha dan sebagainya, sebagai bagian dari politik swasembada di wilayah pendudukan. Jepang mengetahui bahwa selama masa kolonial rakyat di daerah pendudukan tidak sempat lagi memikirkan pakaian, sehingga sebagian besar rakyat hanya memakai penutup badan seadanya untuk sekedar menutupi badan daripada telanjang.
Sejak awal pendudukan, sepuluh pabrik tekstil di Jawa telah diambil alih oleh Jepang termasuk pabrik tekstil terbesar milik Belanda yang ada di Tegal. Pabrik tekstil di Tegal itu telah menghasilkan bahan kain seharga 15 juta rupiah setiap tahunnya dan mempekerjakan tidak kurang dari 12000 buruh pribumi. Tekstil hasil pabrik di Tegal itu sebagian didistribusikan oleh Jepang kepada rakyat di Karesidenan Pekalongan melalui para pamong yang diserahi tugas mebagikan jatah sandang. Namun karena jatah untuk rakyat banyak yang dikorupsi oleh petugas pamong, maka pembagiannya tidak merata, sehingga banyak rakyat yang tidak menerima jatah tersebut. Oleh karena itu, mereka terpaksa menggunakan karung goni untuk menutupi badan. Dalam pembagian jatah sandang di Karesidenan Pekalongan, cadangan kain sebanyak 50 juta yard yang dibagikan kepada rakyat secara bertahap ternyata tidak mencukupi lagi44.
Namun demikian, guna membangkitkan semangat rakyat di bidang pembatikan, maka beberapa jenis tekstil berkualitas disediakan untuk para pengrajin batik agar mereka dapat memproduksi batik kembali. Jepang sangat menaruh perhatian terhadap industri batik Pekalongan karena secara kebetulan ragam hias Batik Pekalongan memiliki kesamaan ragam hias seperti beberapa ragam hias yang diterapkan pada kimono Jepang.
Kromolawi diangkat oleh Jepang menjadi kepala seksi perdagangan organisasi Hokokai merangkap ketua Barisan Pelopor. Selain itu, Kromolawi juga merupakan pemimpin Perhimpunan Kebaktian Rakyat Hokokai yang pada tahun 1943 menggantikan PUTERA. Melalui organisasi Hokokai tersebut, pengusaha batik di Pekalongan digerakkan untuk membuat batik bergaya Jepang dengan semangat Bushido. Seorang pengusaha batik bernama H. Djajuli telah mendapatkan pesanan dari organisasi Hokokai untuk mengumpulkan dan mengadakan pembelian batik dari rakyat dan para pengusaha untuk disetorkan ke Pemerintah Jepang. Hal inilah yang memacu berkembangnya jenis batik yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jepang.
Gerakan produksi batik yang dipacu oleh program ekonomi Jepang di wilayah pendudukan lewat organisasi Hokokai merupakan awal dimulainya Batik Pekalongan yang dibuat dan berkembang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) yaitu Batik Djawa Hokokai.
Batik tersebut dinamakan Batik Djawa Hokokai karena setiap orang yang membuat batik untuk organisasi Hokokai bersemangat dengan meneriakkan yel-yel “Hokokai!”. Ragam-ragam hias berupa kupu-kupu, bunga sakura, serta warna-warna bernuansa selera Jepang hampir selalu terlihat pada Batik Djawa Hokokai.
Pada kenyataannya, batik yang disemangati oleh semboyan Hokokai itu tidak saja diproduksi oleh rakyat dan pengusaha pribumi tetapi oleh pengusaha Tionghoa juga. Para pengusaha Tionghoa itu sebelumnya memang sudah menjadi pengusaha menengah di bidang pembatikan dan lebih unggul, baik dalam kualitas ataupun membuat corak batiknya. Mereka diharuskan oleh Jepang untuk memasarkan produknya melalui badan ekonomi yang dibentuk oleh Jepang.
Setiap penjajah selalu memanfaatkan unsur-unsur sumber daya manusia yang ada pada semua lapisan masyarakat yang dijajahnya. Dalam hal ini, Jepang mempunyai sistem khusus dalam menghadapi msayarakat di Jawa. Pada zaman penjajahan Belanda, kaum priyayi dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial, sedangkan Jepang menggunakan pemimpin pergerakan yang relatif ber-pendidikan untuk menunjang program politiknya.
Demikian pula halnya dalam membentuk kelompok pemasaran. Jika sebelumnya pengusaha menengah Tionghoa merupakan kelompok perantara bagi Belanda pada masa kolonial, maka mereka tidak digunakan lagi pada masa penjajahan Jepang. Badan-badan ekonomi yang dibentuk oleh Jepang seperti halnya Nogio Kumiai (koperasi) dan tenaga pengumpul padi (Noji) merupakan kelompok-kelompok yang melaksanakan pemasaran.
Meskipun di satu sisi pihak kaum pergerakan memandang pemerintah pendudukan Jepang penuh dengan kekejaman dan kekerasan, namun ada keuntungan yang dapat diambil oleh mereka. Jepang telah memberikan sumbangan pendidikan dalam ketentaraan, keterampilan teknologi, disiplin, maupun semangat bela negara dengan semboyan Bushido. Buah dari hasil pendidikan Jepang itulah yang menjadi modal dasar bagi kaum pergerakan dalam memberikan semangat kepada rakyat untuk berjuang guna merebut kemerdekaan.
Namun demikian, kemelaratan akibat tekanan sosial ekonomi dan kekejaman yang dilakukan oleh Jepang telah membuat rakyat sengsara, sehingga kekurangan sandang pangan. Kurangnya bahan sandang menyebabkan bahan baku batik juga berkurang. Akhirnya, para pengusaha batik di Pekalongan berupaya untuk memproduksi batik yang di-sesuaikan dengan kondisi serba kekurangan tersebut. Dengan adanya kekurangan bahan tekstil dalam pembuatan batik ini, maka pengusaha Tionghoa membuat suatu pola khusus yaitu menampilkan dua macam pola batik pada selembar kain dengan maksud bahwa satu kain batik dapat dipakai dua kali dengan dua pola yang berbeda. Batik-batik yang memiliki format semacam itu dinamakan Batik Pagi Sore dan mulai berkembang sejak periode penjajahan Jepang.
Batik Pagi Sore itu satu bagian polanya bisa dipakai untuk waktu pagi dan bagian lainnya dipakai untuk sore hari. Dengan demikian, Batik Pagi Sore juga menggambarkan sulitnya memperoleh bahan tekstil pada masa pendudukan Jepang.
Meskipun dalam hal pembuatan polanya halus dan indah, namun tidak terasa bahwa Batik Pagi Sore yang lahir hampir bersamaan dengan Batik Kolonial, sesungguhnya mengandung makna sindiran tentang keadaan yang kacau balau dan penuh penderitaan


3 komentar:

  1. Assalamualaikum Saudara,
    Nama saya Ikhsan dan berasal dari Kuala Lumpur, Malaysia. Tujuan saya menulis di ruangan ini adalah sekadar ingin mencari keluarga ayah saya yang terpisah disebabkan penjajahan Jepun di Indonesia. Ayah saya berasal dari daerah Pekalongan. Pada zaman penjajahan Jepun, dia telah di tangkap oleh tentera Jepun dan di hantar ke Sabah (Malaysia timur) sebagai buruh binaan.

    Itulah serba ringkas kisah ayah saya. Harapan saya, semoga saya dapat dipertemukan dengan keluarga ayah saya.

    Wassalam,
    Ikhsan
    Kuala Lumpur
    (ikhsanhj@yahoo.com)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Assalamualaikum.
      apa kabar sdr Ikhsan ? apakah sudah ada progres dalam mencari kluarga di Pekalongan?
      Mungkin saya coba untuk membantu kalau tahu lebih banyak tentang saudara ikhsan.
      ceritakan sedikit tentang anda, dimana alamat di KL?
      Saya orang pekalongan asli, dulu tahun 73 pernah ke KL ada orang kl yang punya saudara di desa bendan pekalongan. trimakasih

      Wassalam
      Ahmad

      Hapus
  2. Assalamuallaikum.. pak apa saya boleh minta kontak wa nya?

    BalasHapus