Minggu, 19 Juni 2011

BAB IV PERSEBARAN BANGUNAN MEGALITIK (PRASEJARAH) KABUPATEN PEKALONGAN

Persebaran tinggalan tradisi megalitik yang berupa lokasi pemukiman, lokasi pemujaan dan penguburan biasanya menyebar diperbukitan atau di lereng-lereng gunung. Hal ini bukan terjadi karena secara kebetulan tetapi karena berkaitan dengan konsep dasar megalitik. Kepercayaan megalitik mengedapankan anggapan bahwa gunung merupakan tempat suci, sehingga gunung akan menjadi titik orientasi dalam pemilihan lokasi aktivitas manusia megalitik seperti tersebut di atas. Selain itu persebaran tradisi megalitik juga sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan alam. Lingkungan alam dimaksud adalah yang dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap kebutuhan air bersih atau kemudahan untuk memperoleh makanan, tersedianya bahan baku pembuatan dan pendirian megalitik, di samping erat hubungannya dengan keamanan masyarakat. Oleh karena itu maka tinggalan megalitik diberbagai wilayah di Indonesia terdapat di perbukitan.

Pertumbuhan dan perkembangan budaya masa prasejarah khususnya tradisi megalitik terjadi secara bersamaan dan meluas dari tanah asalnya di daratan Asia. Oleh karena itu dalam mempelajari hal ikhwal tentang budaya prasejarah harus dapat merekonstruksi pula proses pertumbuhan dan perkembangan budaya yang terjadi diberbagai wilayah di daerah daratan Asia , Asia Timur, Asia Tenggara, bahkan Pasifik dan Asia Barat maupun Selatan. Pertumbuhan dan perkembangan tradisi megalitik yang berproses sejak masa prasejarah juga erat kaitannya dengan sejarah pertumbuhan dan perkermbangan tradisi megalitik dari masa prasejarah di Kabupaten Pekalongan. Itulah sebabnya maka dalam membahas budaya prasejarah (tradisi megalitik) di Kabupaten Pekalongan harus diawali dengan membahas tentang asal mula dan pertumbuhan awal serta persebaran tradisi megalitik, yang tidak hanya di Pekalongan maupun di kepulauan Indonesia tetapi mencapai Asia dan sekitarnya. Dengan dasar penelitian semacam ini maka akan dapat diketahui munculnya budaya prasejarah di wilayah tersebut. Dengan demikian dapat diketahui pula nilai-nilai kehidupan yang merupakan dasar dari budaya bangsa bangsa di wilayah yang merupakan kesatuan sebaran budaya megalitik.
Banyak teori yang mengupas tentang persebaran tradisi megalitik ini. Ada yang mengatakan bahwa tradisi megalitik berasal dari Mesir (daerah Mediterania), ada yang berpendapat dari wilayah Kaukasia. Pandangan yang banyak dianut para prasejarawan di Asia Tenggara mengatakan bahwa tradisi megalitik datang dari daratan Asia. Budaya ini didukung oleh bangsa penutur bahasa Austronesia. Persebaran tradisi megalitik yang didasari dugaan Von Heine Geldern ini mengalami persebaran dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada masa neolitik atau biasa disebut dengan masa bercocok tanam yang menghasilkan bangunan megalitik berbentuk dolmen, teras berundak, batu datar (altar), menhir dan susunan batu temu gelang (stone enclosure). Sedangkan persebaran kedua terjadi pada masa perunggu-besi atau masa logam awal (bronze iron age) dengan hasil budaya berupa sarkofagus, arca megalitik, peti batu, tempayan batu dan lain-lain. Baik benda-benda megalitik dari gelombang persebaran pertama maupun kedua telah berhasil ditemukan dibeberapa kecamatan di wilayah kabupaten Pekalongan. Keberadaan benda-benda dari masa megalitik ini menandakan bahwa daerah kabupaten Pekalongan bagian selatan yang berupa perbukitan sangat kondusip bagi kelangsungan tradisi megalitik. Hal ini diduga karena lokasi tersebut baik atas dasar kepercayaan dan kemudahan mencari makan serta keamanan sangat mendukung.
Proses persebaran tradisi megalitik dari satu tempat ke tempat lain kadang-kadang membawa dampak terjadinya perubahan dan perbedaan antara bentuk megalitik di tempat satu dan wilayah lainnya. Bahkan temuan-temuan di beberapa lokasi menunjukkan berbedaan dan ciri khas, walaupun prinsip dasar yang dipergunakan sama. Adanya perbedaan budaya satu daerah dengan daerah lainnya terpengaruh oleh berbagai aspek antara lain aspek lingkungan, aspek kemajuan teknologi, terjadinya perubahan kepercayaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila hasil tradisi megalitik di Pekalongan berbeda dengan di Kuningan, berbeda pula dengan megalitik Bondowoso, megalitik di Toraja, Kalimantan dan lain sebagainya. Disamping terjadi perbedaan tentunya terjadi pula persamaan. Bentuk menhir di kabupaten Pekalongan sama dengan menhir di tempat lain, arca Jawa Barat memiliki persamaan dengan arca Polinesia. Terjadinya persamaan budaya ini dilandasai oleh aspek kepercayaan yang sama, lingkungan dengan hasil dan bahan baku yang sama, peranan dan fungsi megalit yang sama.
Dengan persebaran tradisi megalitik ini maka dapat diketahui pula perbedaan dan persamaan antara megalit di satu tempat dan tempat yang lain. Mengapa terjadi persamaan dan perbedaan. Apa sebab yang mendorong persamaan dan perbedaan ini tentunya akan kembali pada aspek manusia, dan lingkungannya. Hal ini disebabkan kedua unsur tersebut di atas erat kaitannya dengan hasil budaya dan peradabannya. Tradisi megalitik Pekalongan mempunyai persamaan dengan tradisi megalitik di situs Jawa Barat di samping ada persamaan dengan hasil budaya masyarakat Lampung. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan punden berundak, batur punden, pahatan berbentuk phallus (kelamin laki-laki) dan lain-lain. Persamaan hasil tradisi megalitik antara daerah tersebut diatas membuktikan bahwa pada jaman dahulu telah terjadi kontak diantara masyarakat ketiga wilayah tersebut. Bukti ini menunjukkan bahwa persebaran tradisi megalitik diperkirakan datang dari arah barat dan terus ke timur.
Dengan mengetahui persamaan-persamaan budaya dengan segala aspeknya maka akan memungkinkan untuk merekonstruksi nilai-nilai kehidupan diantara bangsa-bangsa tersebut Dengan demikian kemungkinan akan diperoleh manfaat yang lebih besar yang mecakup persahabatan, perdamaian, kebersamaan, persatuan diantara bangsa-bangsa yang memiliki persamaan budaya dan kepercayaan di masa lalu.
Tradisi megalitik yang berasal dari masa prasejarah telah tersebar di berbagai wilayah yang begitu luas. Wilayah yang terkena pengaruh tradisi megalitik ini adalah Asia Tenggara, Pasifik, Asia Timur, Jepang, Formosa, bahkan ke barat sampai Madagaskar. Persebaran tradisi megalitik sesuai dan paralel dengan persebaran bangsa Austronesia. Tradisi megalitik dapat dikatakan sebagai adat, kebiasaan dan tatacara yang bersifat universal. Orientasi kepercayaan kepada leluhur atau arwah nenek moyang merupakan suatu perilaku yang cocok bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Tradisi megalitik telah ditemukan di China, Vietnam, Jepang, Thailand, Phillipina, Malaysia dan lain-lain. Karena pada awalnya tradisi megalitik dan pendukungnya adalah satu maka walaupun tradisi ini telah terpecah ke berbagai daerah tetapi prinsip dasar kepercayaanya adalah sama.
Persebaran tradisi megalitik, pertumbuhan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan pola pikir pendukungnya. Sangat dimaklumi bahwa manusia, lingkungan dan budayanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keadaan kepulauan Indonesia yang terdiri dari berbagai nuansa geologi dan bentuk morphologinya sangat menentukan persebaran tradisi megalitik ini. Ada wilayah yang tidak memungkinkan tumbuhnya budaya pendirian bangunan batu. Hal ini dapat disaksikan di pulau Kalimantan. Di daerah ini tidak ditemukan bahan baku batuan yang dapat dipergunakan untuk membuat dan mendirikan megalit. Tradisi untuk mendirikan bangunan batu masih dikenal dengan akrab, tetapi bahan baku tidak ada, Keberadaan tradisi megalitik di Kabupaten Pekalongan dapat dikatakan merupakan sempalan dari persebaran bangsa dan budaya Austronesia. Wilayah Pekalongan merupakan suatu tempat atau pantai yang memberi kemudahan untuk berlabuh. Pendukung tradisi megalitik tidak diragukan lagi pernah berlabuh di daerah ini. Dengan dasar kepercayaan bahwa tempat yang tinggi atau gunung merupakan tempat suci karena dianggap tempat bersemayam arwah, maka nenek moyang berusaha untuk mendapatkan tempat yang sesuai dengan prinsip dasar kepercayaan. Oleh karena itu dalam proses selanjutnya nenek moyang masyarakat Pekalongan di jaman dahulu berangsur pindah ke tempat-tempat yang lebih tinggi yaitu di Pekalongan bagian selatan. Daerah ini sangat layak untuk bermukim, untuk mendirikan bangunan upacara, untuk memperoleh sumber air dan lain sebagainya. Oleh karena itu maka temuan tradisi megalitik kebanyakan ditemukan dibagian selatan kabupaten ini.
Dalam pembangunan sarana-sarana pemujaan megalitik di Kabupaten Pekalongan, nenek moyang pada masa prasejarah telah mengedepankan aturan dan norma-norma yang berlaku. Persyaratan pendirian bangunan suci untuk pemujaan, pemukiman maupun untuk penguburan tradisi megalitik selalu mempertimbangkan keadaan lingkungan. Keadaan lingkungan dimaksud adalah lokasi pendirian bangunan suci harus berada ditempat yang tinggi atau ditinggikan. Kedua harus dekat dengan sumber air baik sungai, mata air, danau dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan persyaratan umum pendirian bangunan baik di kepulauan Indonesia maupun di Asia Tenggara. Hasil pengamatan terhadap bangunan megalitik di Kabupaten Pekalongan menunjukkan bahwa semua lokasi pendirian bangunan untuk pemujaan memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas. Bangunan–bangunan megalitik di desa Linggo Asri semuanya berada di dekat mata air atau sungai. Demikian pula bangunan megalitik di Bleber juga tidak jauh dari mata air.
Hasil penelitian sumberdaya budaya di Kabupaten Pekalongan telah menemukan salah satu bukti penting. Temuan bangunan megalitik dari susunan batu yang ditemukan oleh Kusnin Asa di Linggaasri jelas memiliki bentuk yang mencerminkan konsepsi candi.
Temuan ini menunjukkan proses pertumbuhan dan perkembangan teknologi batu dalam hal ini adalah pembangunan candi pada masa perkembangan Hindu-Budha. Tradisi megalitik yang berkembang di Kabupaten Pekalongan secara langsung maupun tidak langsung akan ikut menentukan dan memberikan warna dalam cara pendirian candi dan bentuk serta konsepsinya . Hal ini dapat terjadi karena begitu kuatnya dan kokohnya nilai-nilai dan norma-norma kehidupan serta aturan yang berlaku dalam kehidupan megalitik.
Tradisi megalitik yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa pendukungnya yang merupakan hasil pikiran nenek moyang bangsa Indonesia asli terus bertahan. Dalam hubungan dan percampuran dengan budaya lain masih terus dapat menjaga eksistensinya , sehingga tradisi megalitik tetap menentukan dalam budaya/ agama Hindu. Dengan demikian maka melalui tinggalan arkeologi di Kabupaten Pekalongan dapat diketahui bahwa pembangunan candi pada masa Hindu masih mengedepankan anasir lama yaitu nilai-nilai yang ada dalam tradisi megalitik.Bukti dari akulturasi dan transisi bangunan batu megalitik sampai pembangunan candi dapat dibuktikan dengan studi perbandingan antara berbagai unsur megalitik yang ditemukan di Linggaasri.
Bangunan megalitik dalam bentuk susunan batu yang berfungsi sebagai sarana pemujaan ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian atas, bagian tengah ( badan ) dan kaki. Ketiga bagian ini dapat disejajarkan dengan klasifikasi yang tertuang sebagai kamadatu, rupadatu dan arupadatu.
Persebaran tradisi megalitik di Pekalongan mencakup pegunungan di bagian selatan , dan persebaran ini tampaknya belum terjadi atau tidak terjadi di daerah sekitarnya di Wonosobo. Di daerah Wonosobo yang dekat dengan kabupaten Pekalongan bagian selatan di dominasi oleh hasil budaya Hindu-Budha. Sementara di Kabupaten Wonosobo sampai saat ini baru berhasil mengungkapkan sebagian tradisi megalitik yang dijumpai di Kabupaten Wonosobo. Suatu temuan hasil penelitian prasejarah yang menarik tampak pada tinggalan arkeologi di Kabupaten Pekalongan maupun Kabupaten Batang. Di Kabupaten Pekalongan tinggalan arkeologi belum menampakkan terjadinya akulturasi budaya yang jelas antara tradisi megalitik dan budaya Hindu. Sementara di Kabupaten Batang telah terjadi perubahan yaitu ditemukannya unsur prasejarah yang menyatu dengan unsur Hindu sebagai hasil akulturasi budaya. Tinggalan tradisi megalitik di Pekalongan sifatnya masih asli yang tampil dengan ciri khas yaitu adanya temuan teras berundak dan menhir. Sementara di Kabupaten Batang bentuk-bentuk tinggalan megalitik seperti teras berundak ditemukan unsur Hindu yaitu yoni dan lingga serta arca Ganesa. Bahkan ditemukan pula yoni dan pahatan arca yang begitu unik yang mengingatkan bentuk arca dinamis ”strongly dynamic agitated” dari Pasemah.
Bahkan hasil pengamatan menunjukkan adanya persamaan antara arca Pasemah dengan arca megalitik Batang. Ditinjau dari kesatuan budaya dan kesatuan wilayah persebaran sebenarnya antara Kabupaten Pekalongan dan Batang hendaknya dipandang sebagai satuan budaya yang tidak terpisahkan. Sehingga dalam kupasan megalit Kabupaten Pekalongan harus melihat pula unsur budaya megalit di Kabupatan Batang.
Penelitian melalui persebaran budaya dengan mengedapankan analisis tipologi dan studi perbandingan menunjukkan bahwa ada dasar-dasar kehidupan bahkan persamaan ras diantara bangsa-bangsa di satu tempat dan tempat yang lain, serta menunjukkan satuan budaya.
Dengan dasar ini pula maka tentu ada persamaan dalam berbagai hal :
1. persamaan pola pikir dan dasar kepercayaan,
2. persamaan perilaku,
3. persamaan teknologi yang mampu dikuasai,
4. persamaan ras dan asal usul,
5. persamaan jatidiri dan kepribadian.
Dengan dasar ini maka bukan tidak mungkin budaya atau tradisi megalitik yang terdapat di Kabupaten Pekalongan dapat dimanfaatkan dalam usaha pembangunan bangsa dan meningkatkan persahabatan dan persatuan diantara masyarakat atau bangsa pendukungnya.
Teras berundak banyak ditemukan di Pugungraharjo (Lampung), di Cianjur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan lain-lain. Bangunan teras berundak ini merupakan bangunan yang bersifat universal dan memiliki persamaan dengan temuan di kawasan luar Indonesia seperti di Pasifik, dan daratan Asia bahkan Jepang. Bentuk bangunan yang merupakan sarana pemujaan nenek moyang ini menjadi acuan dalam kehidupan kemasyarakatan (sociofac).
Bangunan teras berundak di Linggo Asri sampai saat ini masih dikeramatkan dan masih terawat dengan baik. Sangat disayangkan bahwa bangunan ini pada bagian atas diberi cungkup kecil yang menyebabkan sulitnya untuk pengambilan foto. Dengan cungkup itu maka menyulitkan pemotretan situs secara menyeluruh. Foto situs dan lingkungannya sangat dibutuhkan dalam analisis arkeologi. Jalan keluar untuk melindungi temuan dan memudahkan dalam melakukan penelitian, hendaknya pembuatan pelindung teras harus dilakukan dengan semacam hanggar atau bangunan yang lebih besar yang menutup semua teras.
Bangunan berteras di Linggo Asri merupakan salah satu temuan yang patut diperhatikan. Bentuk teras berundak masih dalam keadaan utuh, dan terawat dengan baik. Perlu diketahui bahwa bangunan teras berundak mempunyai sejarah panjang. Bangunan dari masa tradisi megalitik ini, masih tetap bertahan walaupun budaya luar yang datang dari India begitu kuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa bangunan teras berundak terus hidup dan tampil sebagai ”lokal genius” yang terus mewarnai bangunan-bangunan masa Hindu maupun masa Islam. Hasil penelitian terhadap bangunan candi dapat disimpulkan bahwa bangunan candi Sukuh dan Candi Ceto di daerah Surakarta mendapat pengaruh yang sangat kuat dari tradisi megalitik. Teras berundak yang merupakan struktur bangunan candi Sukuh dan Ceto sangat bersamaan dengan bangunan-bangunan teras berundak dari tradisi megalitik yang tersebar luas di kawasan Indonesia. Bahkan candi Jago di Jawa Timur juga memperlihatkan tanda-tanda percampuran budaya antara tradisi megalitik dan Hindu. Sementara pada masa Islam bangunan-bangunan teras berundak kelihatan pada makam-makam Islam diberbagai wilayah bahkan makam-makam raja dan sultan Surakarta dan Yogyakarta terdapat di perbukitan dengan teras-teras berundak. Bangunan-bangunan pura-pura Hindu di Bali seperti di Pura Bukit Panuliusan, Pura Dalem Balingkang dan lain-lain mencerminkan bangunan teras-berundak yang begitu kental.
Bangunan teras berundak di Linggo Asri dapat dikembangkan sebagai obyek wisata di samping pura Hindu yang terletak tidak jauh dari situs teras berundak. Obyek arkeologi ini dapat dikembangkan sebagai pelengkap obyek wisata Kabupaten Pekalongan yang sudah ada. Hal ini tentu penanganan serius dan dana yang tidak sedikit jumlahnya.

Menhir (Batu Tegak)
Menhir atau biasa disebut dengan batu tegak, biasa dipergunakan dalam kaitannya dengan pemujaan arwah. Menhir merupakan tinggalan megalitik yang bersifat universal dan hampir ditemukan di setiap situs megalitik di Indonesia. Menhir (upright-stone) ada yang berdiri tunggal atau berdiri sendiri, ada yang terdiri dari banyak menhir yang disusun membentuk garis lurus, ada yang mengelompok, ada yang didirikan membentuk persegi empat dan lain sebagainya.Batu tegak ada yang dibuat dari batu alam yang berbentuk batu balok persegi panjang, ada yang berbentuk silinder tetapi ada juga yang telah dikerjakan oleh tangan manusia. Menhir ada yang polos dan ada juga yang berhias. Menhir berhias ada yang ditemukan pada situs megalitik prasejarah maupun megalitik yang berlanjut (living megalithic tradition). Menhir-menhir berhias terdapat pada situs yang telah mati (telah ditinggalkan penghuninya) maupun pada situs yang berlanjut. Pola hias pada menhir yang lebih kaya biasanya ditemukan pada megalitik muda atau pada living megalithic culture. Menhir di Kabupaten Pekalongan berbentuk polos dan biasanya dipahatkan seperti bentuk silinder dengan bagian atas mengecil.
Menhir merupakan salah satu megalit yang termasuk berperan penting dalam tradisi megalitik. Menhir atau batu tegak yang melambangkan laki-laki merupakan salah satu bentuk sarana pemujaan yang dominan, sehingga tidak mengherankan apabila hampir di setiap situs megalitik ditemukan menhir. Menhir berasal dari bahasa Breton di Inggris utara men berarti batu dan hir berarti berdiri. Dalam kehidupan dimasa-masa setelah prasejarah tradisi pembuatan dan pendirian menhir masih tampak. Hal ini dapat disaksikan dalam berbagai tinggalan dari masa pengaruh Hindu sampai masa Islam Awal bahkan sampai sekarang. Hal ini menandakan betapa kuatnya kepercayaan pemujaan arwah yang memanfaatkan menhir sebagai media pemujaan. Keberadaan bentuk menhir di berbagai tinggalan masa Hindu-Budha dan tinggalan masa Islam merupakan suatu hasil pola pikir asli nenek moyang. Hal ini dapat dikatakan sebagai ”lokal genius” atau biasa disebut cerlang budaya oleh Ayat Rohaedi (Ayat: 1997).
Di Kabupaten Pekalongan menhir ditemukan dalam berbagai bentuk. Bahkan dalam penelitian arkeologi dapat ditemukan gejala-gejala perubahan budaya menhir. Menhir Kabupaten Pekalongan akhirnya muncul dalam berbagai bentuk dan corak. Ada menhir yang hanya berbentuk tonggak batu yang belum tergarap oleh tangan manusia dalam arti dipahat seperti yang ditemukan di situs Rogoselo. Ada juga menhir yang mengalami perubahan bentuk tetapi fungsinya sama. Menhir semacam ini ditemukan dalam bentuk phallus (kelamin laki-laki).
Munculnya menhir berbentuk phallus didasari pada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang besar pada kelamin laki-laki. Bahkan kelamin laki-laki dipercaya memiliki kekuatan gaib yang sangat besar. Menhir yang lain adalah arca menhir yaitu bentuk transisi antara menhir dan arca megalitik.
Perubahan dari bentuk menhir ke bentuk phallus dan bentuk arca menhir semata-mata terjadi karena perubahan pola pikir dalam aspek kepercayaan. Menhir yang dipergunakan sebagai pusat pemujaan untuk permohonan kepada arwah leluhur, tampaknya masih dirasakan kurang berwibawa dan kurang memiliki kekuatan gaib yang besar.
Dengan pembuatan menhir dalam bentuk arca menhir (menhir statue) yang menggambarkan muka manusia di bagian puncaknya serta bentuk kelamin laki-laki maka sarana pemujaan tersebut dianggap mempunyai kekuatan gaib yang lebih besar, sehingga akan dapat memenuhi keberhasilan pemujaan. Peranan menhir sebagai sarana pemujaan atau sebagai benda sakral kadang-kadang berubah sebagai benda yang bersifat profan. Hal ini dapat dilihat pada batu-batu tegak yang dimanfaatkan sebagai batas pekarangan, atau batas antara lahan yang bersifat sakral dan profan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya menhir (batu tegak) mengalami perubahan dan penambahan fungsi sesuai dengan perkembangan dan perubahan pola pikir dan kepercayaan pendukungnya.
1. Pada awal mulanya menhir biasanya dimanfaatkan sebagai sarana pemujaan kepada arwah leluhur. Hal ini dilakukan karena menhir dianggap simbol laki-laki yang mengandung kekuatan gaib.
2. Dalam perkembangan selanjutnya menhir dipergunakan sebagai suatu tanda terjadinya peristiwa, misalnya didirikan untuk kemenangan sebuah pertempuran, untuk rasa bersyukur karena telah terbebas dari wabah penyakit dan lain sebagainya.
3. Pada masa berikutnya muncul menhir yang dipergunakan sebagai tanda penguburan atau untuk peringatan.
4. Sebagai tempat untuk memgikat kerbau yang akan disembelih pada saat uapacara tertentu (misal penguburan, pendirian rumah adat).
5. Sebagai penolak bala yang diletakkan di kanan kiri pintu masuk bangunan sakral atau pemukiman masyarakat megalitik, didirikan di depan kandang kerbau, dihutan, di pinggir laut dan lain sebagainya.
6. Ada yang dipergunakan sebagai tempat mengeringkan kepala manusia yang baru diperoleh dari mengayau.
Menhir yang dipergunakan sebagai sarana pemujaan biasanya ditempatkan pada suatu tempat yang tinggi antara lain di atas teras berundak, diatas gundukan tanah, pada batur punden. Di Linggo Asri, menhir didirikan diatas teras berundak dengan 4 trap. Menhir di atas teras berundak ini sampai sekarang masih dipuja-puja, oleh masyarakat untuk memperoleh perlindungan. Sementara menhir untuk tanda peringatan suatu peristiwa ditemukan di Tentena (Poso). Menhir ini didirikan bersama oleh dua suku sebagai tempat sumpah setia tidak saling menyerang.
Pada lokasi dimana tradisi megalitik masih berlanjut seperti di Sumba maupun pada situs megalitik prasejarah di Lima Puluhkoto, Sumatra Barat ditemukan berbagai bentuk menhir yang didirikan diatas kubur.
Sedangkan pada tradisi megalitik yang masih berlanjut (living megalithic tradition) seperti di Tanah Toraja (Sulawesi Selatan) dan di Sumba, Flores dan Timor menhir didirikan sebagai alat untuk menyembelih kerbau pada saat ada upacara penting.
Di daerah Nias ditemukan menhir-menhir yang didirikan didepan bangunan sakral maupun bangunan profan teristimewa rumah tinggal ketua adat atau pimpinan masyarakat. Menhir berfungsi sebagai penolak bala. Demikian pula di situs Tundrumbaho terdapat menhir besar dan bertangga. Dibagian paling atas terdapat cekungan sebagai tempat mengeringkan kepala yang berhasil diperoleh dari pengayauan.

Arca Menhir
Seperti dikatakan di atas bahwa arca menhir merupakan bentuk transisi antara menhir dan arca megalit. Karena merupakan transisi maka bentuk arca menhir biasanya menampilkan bentuk yang sederhana (pemahatan kurang halus), skematis ( hanya bagian-bagian penting yang dipahatkan (misalnya mata, mulut, hidung), skeptis (dipahatkan dalam bentuk kaku dan anatomi tidak sempurna).
Arca menhir biasanya terdiri dari bagian badan dan kepala tanpa kaki. Sedangkan bagian muka tidak memperlihatkan tanda-tanda mata, mulut, hidung yang sempurna. Bahkan ada yang sengaja di buat menakutkan atau melawak. Bentuk-bentuk menakutkan dan melawak merupakan tujuan dari sang seniman atau ahli pahat dengan tujuan untuk memperoleh kekuatan gaib yang lebih besar. Tokoh punakawan misalnya Ki Lurah Bodronoyo ( Semar ) digambarkan dalam bentuk lucu (melawak).
Tokoh ini memiliki kekuatan gaib yang besar dsehingga siapapun yang diikuti Tokoh Semar maka akan selalu dilindungi dari berbagai ancaman, bahkan akan memberikan kebahagiaan tersendiri, Demikian pula tokoh Wisnu akan muncul dalam bentuk rasaksa seandainya dihadapkan pada masalah besar dan jika marah akan memusnahkan semua musuh-musuhnya. Arca menhir Pekalongan tampil dalam bentuk sederhana, hal ini dilakukan karena fungsi arca menhir semata-mata untuk pemujaan, dengan kekuatan gaib yang lebih besar maka arca menhir dianggap akan lebih mampu mengatasi segala bahaya yang mengancam.
Bentuk arca menhir yang kurang sempurna dalam pemahatan, kurang tepat dalam penempatan bagian – bagian muka seperti hidung, mulut dan lain-lain bukan karena kurangnya kemampuan sang pemahat, tetapi karena dorongan yang begitu kuat agar hasil yang dibuat tidak berorientasi pada keindahan tetapi pada kekuatan gaibnya. Hal ini dapat disaksikan pada karya-karya seniman Bali, walaupun mereka mampu membuat sesuatu yang lebih baik, tetapi dalam pembuatan benda-benda yang dipakai dalam menolak bala tentu akan bentuk-bentuik yang aneh, langka dan unik. Bahkan ada bagian tubuh yang tidak dipahatkan. Arca menhir kadang-kadang dipahatkan tanpa telinga, tanpa mulut atau tanpa hidung. Tujuan dari pembuatan seperti ini agar kekuatan yang diperoleh akan lebih besar. Arca menhir di Indonesia ditemukan di berbagai tempat antara lain di Sulawesi Tengah, Bali, Flores, Sumba dan lain-lain.

Arca Megalitik
Arca megalitik merupakan unsur megalit yang dipahatkan dalam bentuk manusia secara utuh. Arca megalitik terdiri dari bagian kepala, badan dan kaki. Sementara bagian-bagian tertentu ada yang dipahatkan dan ada juga yang tidak dipahatkan. Arca megalitik dianggap menggambarkan leluhur atau arwah nenek moyang yang biasanya dimanfaatkan untuk pemujaan dalam usaha memohon pertolongan pada kekuatan supernatural (supernatural power). Di samping itu arca megalitik juga dimanfaatkan untuk dimanfaatkan sebagai penjaga atau pengawal arwah dari orang yang dikuburkan.
Arca-arca megalitik di Pasemah dimanfaatkan sebagai personifikasi dari tokoh-tokoh pimpinan atau kepala suku. Hal ini seperti yang ditemukan di Onowembo Telemaera di mana arca di sana merupakan penggambaran dari ketua adat. Arca megalitik di Kabupaten Pekalongan berbetuk sederhana dengan pahatan kaki maupun bagian muka kurang sempurna. Arca megalitik dari Pekalongan diduga dipergunakan untuk penggambaran tokoh leluhur yang dipergunakan untuk pemujaan. Arca megalitik berbeda dengan arca menhir. Arca menhir selalu digambarkan dalam susunan anatomi bagian kepala dan bagian badan, kaki tidak dipahatkan. Sedangkan arca megalitik ada yang dipahatkan dalam bentuk begitu maju (sophisticated) dan ada pula yang dipahatkan dalam bentuk dinamis (strongly dinamic agitated). Arca-arca dinamis ditemukan di dataran tinggi Pasemah (Sumatra Selatan). Arca megalitik Pekalongan lebih sederhana danm bagian anatomi tidak dipahatkan secara lengkap.
Arca megalitik Pekalongan memiliki bentuk yang dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang menyerupai arca megalitik Jawa Barat. Arca-arca megalitik Jawa Barat biasa disebut dengan ”Arca Polinesia”. Nama ini diberikan berdasarkan adanya kesamaan bentuk antara arca megalitik Jawa barat dan arca megalitik yang ditemukan di Polinesia, kepulauan Pasifik. Arca megalitik (megalithic statue) merupakan suatu hasil budaya megalitik yang dibuat dalam bentuk pahatan dan anatomi secara lengkap. Seperti juga arca menhir, arca megalitik juga menggambarkan arwah leluhur dan dipergunakan sebagai sarana pemujaan. Berdasarkan studi analogi etnografi yang dilakukan di Pulau Sumba, Haris Sukendar menemukan arca megalitik di desa Lambanapu yang dipergunakan sebagai katoda yaitu sarana pemujaan yang biasanya ditempatkan di depan rumah adat. Arca megalitik tersebut berfungsi sebagai sarana pemujaan untuk berbagai keperluan antara lain untuk mendatangkan hujan, mengusir hujan, untuk kesuburan tanaman, kesuburan hewan piaraan bahkan kesuburan manusia (agar mempunyai anak). Arca Megalitik di kabupaten Pekalongan begitu unik dan mengingatkan pada arca Polynesia atau arca-arca yang ditemukan di Jawa Barat.
Arca menhir biasanya merupakan benda lepas, yang kadang ditemukan di pinggir kali, di lereng bukit, dihutan dan lain-lain. Untuk itu maka benda-benda lepas semacam ini selayaknya disimpan di tempat aman antara lain di museum.

Susunan Batu Berbentuk Persegi Empat
Susunan batu berbentuk persegi empat, seperti batu kandang banyak ditemukan di Kabupaten Pekalongan, antara lain di situs Rogosela, situs Wonobodro dan situs Linggaasri. Susunan batu berbentuk persegi empat, biasanya merupakan suatu tempat sakral yang biasanya dipergunakan untuk pemujaan (ceremonial site) dalam upacara pemujaan arwah (ancestor worship).
Kemungkinan susunan batu persegi empat juga berfungsi sebagai tempat penguburan seperti misalnya disitus megalitik Terjan-Rembang. Susunan batu berbentuk persegi empat biasa disebut dengan batu kandang karena bentuknya seperti kandang. Susunan batu berbentuk persegi empat ditemukan di Lampung (Pugungraharjo), di Cianjur Jawa Barat, di Matesih dan lain sebagainya. Sementara susunan batu berbentuk persegi empat yang ditemukan di Pekalongan diperkirakan sebagai tempat pemujaan kecuali yang berhasil dijumpai di Wonobodro yang merupakan batas dari suatu kubur.
Bentuk megalit yang berupa susunan batu persegi empat ini telah berlangsung dan tetap eksis sampai pada masa Hindu-Budha bahkan sampai masa Islam dan masa kini. Susunan batu yang berbentuk persegi empat ini dapat dikatakan sebagai hasil karya, cipta, rasa dan karsa nenek moyang asli, sebelum adanya pengaruh Hindu-Budha. Di situs Wonobodro ditemukan kubur-kubur batu berteras persegi empat dan ditemukan juga kubur batu yang menyerupa kubur peti batu (stone-cist). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa susunan batu persegi empat sebagai hasil budaya nenek moyang bangsa juga mempengaruhi bentuk makam Islam di Wonobodro. Hal ini dapat dilkatakan sebagai bentuk lokal jenius (local genius).
Susunan batu kali yang membentuk penampang persegi empat dengan monolit didalamnya diduga merupakan sarana pemujaan. Susunan batu-batu kali besar dan kecil tersebut diduga berfungsi sebagai batas antara lahan yang bersifat sakral dan profan. Lahan di dalam susunan batu segi empat hanya diperbolehkan untuk keperluan sakral dan disanalah dilakukan upacara dengan pusat upacara berupa batu besar (monolit) yang ditemukan di bangunan tersebut. Jenis tinggalan seperti ini ditemukan didepan makam Islam Rogoselo yang sekarang masih diziarahi masyarakat baik dari desa Rogoselo atau dari luar kota.
Hasil penelitian arkeologi di situs Wonobodro di kompleks makam Pangeran Pekalongan berhasil menemukan bentuk-bentuk makam yang dibatasi oleh susunan batu berbentuk persegi empat seperti layaknya batu kandang masa tradisi megalitik. Secara langsung maupun tidak langsung keberadaan susunan batu yang membentuk penampang persegi empat dengan ukuran 3,25 m X 3,25 m itu merupakan suatu bentuk cipta, rasa dan karsa yang masih dapat dikaitkan dengan tradisi megalitik sebagai karya asli nenek moyang masyarakat kabupaten Pekalongan. Demikian pula bentuk makam yang terdiri dari teras-teras juga mengingatkan pada bentuk teras berundak pada masa berkembangnya tradisi megalitik. Bahkan di situs ini juga ditemukan bentuk makam yang mengingatkan pada kubur peti batu (stone cist) seperti yang ditemukan di Cirebon, Gunung Kidul dan Blora. Keberadaan bentuk makam yang menyerupai kubur peti batu kemungkinan juga mendapat pengaruh dari masa tradisi megalitik yang kenyataannya terus eksis sampai saat ini.

Batu Kenong Di Wonopringgo
Batu kenong merupakan salah satu hasil tradisi megalitik yang masih langka ditemukan. Bentuk megalit ini mengingatkan pada kemampuan teknologi pengerjaan alat-alat dari logam, dalam bentuk gamelan (kenong: bahasa Jawa). Bentuk megalit ini masih mengandung problema yang terus menjadi pertanyaan khususnya tentang peranan dan fungsinya pada kehidupan masyarakat megalitik. Dapat diketahui bahwa dalam masyarakat prasejarah (megalitik) kehidupannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang mistis. Oleh karena itu maka dapat diduga bahwa batu kenong merupakan benda sakral untuk keperluan sakral.
Berdasarkan hasil penelitian di Bondowoso diduga sementara bahwa megalit dalam bentuk batu kenong diperkirakan merupakan megalit berfungsi sakral. Hal ini berdasarkan temuan dimana batu-batu kenong tersebut disusun dalam posisi melingkar dengan garis tengah sekitar 7-8 meter. Banyak peneliti yang masih mempertanyakan fungsi batu kenong tersebut. Apakah benar bahwa batu kenong berkaitan dengan tujuan sakral. Alasan bagi mereka yang menganggap batu kenong berfungsi sakral mungkin dikaitkan dengan temuan-temuan ”phandusa” (wadah kubur batu) yang ditemukan tersebar di daerah tersebut. Batu kenong ada yang ditemukan dalam keadaan berdiri sendiri, ada yang mengelompok dengan batu kenong lainnya. Tetapi di situs Bleber, Kabupaten Pekalongan, batu kenong ditemukan secara mengelompok dengan bentuk megalit yang lain seperti batu berbentuk phalus, batu dengan pola hias lingkaran, umpak batu, batu lumpang, susunan batu temu gelang dan menhir.
Disamping pandangan bahwa batu kenong berkaitan dengan tujuan sakral, ada pula yang menganggap bahwa batu kenong merupakan umpak dari sebuah bangunan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa tonjolan yang ada di atas batu sangat mungkin dipakai sebagai tempat memasukkan lubang yang sengaja dibuat pada bagian bawah tiang kayu. Hal ini dimaksudkan agar tiang tersebut tidak mudah melesat (bergeser).
Selanjutnya dengan umpak batu kenong yang disusun secara melingkar ini maka diperkirakan rumah atau bangunan rumah adat berpenampang melingkar. Rumah berbentuk melingkar mengingatkan pada rumah-rumah megalitik di Nias maupun di Sumba atau rumah yang dijumpai di pulau Indonesia Timur lainnya. Sayang bahwa temuan batu kenong di Kabupaten Pekalongan hanya sebuah, sehingga sulit untuk mencari perbandingan dan menghubungkan megalit ini dengan fungsi sebagai umpak rumah atau sebagai sarana pemujaan (upacara).
Berdasarkan bentuk tinggalan megalit yang merupakan batu kenong dapat diduga bahwa megalit ini dibuat setelah masyarakat mengenal gamelan. Hal ini menunjukkan bahwa megalit tersebut dibuat pada masa paleometalik atau sesudahnya. Hal lain yang dapat disimpulkan dari temuan ini adalah bahwa sejak masa pra-sejarah nenek moyang masyarakat Pekalongan telah mengenal gamelan. Gamelan disini kelihatannya bukan merupakan sarana untuk memperoleh paduan musik yang enak didengar.
Tetapi jenis kenong atau gong pada saat itu dianggap merupakan benda keramat yang hanya dipergunakan pada saat upacara. Di Nusa Tenggara Timur seperti di Sumba, Solor, Alor, Timor, Flores dan lain-lain gong ditabuh pada saat upacara perburuan, upacara perang, upacara musim tanam, upacara penguburan, memohon hujan dan lain-lain. Dengan melalui studi etnoarkeologi ini maka dapat diketahui bahwa batu kenong di desa Bleber, Kabupaten Pekalongan berfungsi sebagai benda keramat yang berhubungan dengan upacara sakral, seperti yang dilakukan pendukung tradisi megalitik berlanjut di Indonesia bagian timur.
Merupakan suatu kebanggaan tersendiri bahwa pada ribuan tahun yang lalu nenek moyang masyarakat Pekalongan telah mengenal budaya dan peradaban yang tinggi, yang tidak kalah dengan daerah lain atau negara di kawasan luar Indonesia sekalipun. Tentang keberadaan batu kenong di situs Bleber (Pekalongan) tampaknya memberikan suatu bukti bahwa daerah ini sangat potensial dalam mengungkapkan pengetahuan arkeologi.
Batu kenong memberikan bukti tentang kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia asli telah menguasai teknologi tuang logam dan telah mengenal gamelan seperti apa yang dikemukakan oleh para ahli masa sebelum perang dunia. NJ Krom dalam bukunya yang diberikan judul ”Java voor de Hindoes” (1931).

1 komentar:

  1. Ada Taman Prasejarah Leang-Leang dengan berbagai peninggalan warisan budaya dari masa pra sejarah, bahkan taman ini tercatat sebagai salah satu World Heritage yang ditetapkan UNESCO ;)

    BalasHapus