Minggu, 19 Juni 2011

BAB VI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI

Strategi Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan pengembangan suatu kawasan benda cagar budaya merupakan usaha pengelolaan yang penting. Karena bagaimanapun kayanya baik secara kuantitas dan kualitasnya, tetapi seandainya tidak dikelola secara baik maka tidak memiliki nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Pengembangan kawasan (tata ruang) beserta hasil budayanya dapat dibedakan menjadi Rencana Tata Ruang secara makro yang biasa disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Di samping itu ada juga Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW Kota). Dalam kaitannya dengan keberadaan benda cagar budaya ada suatu konsep Tata Ruiang yang bersifat khusus sebagai pegangan dalam pengelolaan benda cagar budaya dan kawasannya.

Kawasan yang memiliki benda cagar budaya seperti misalnya di Lianggasri, Rogoselo dan lain-lain mempunyai nilai yang begitu tinggi dimana didalam kawasan tersebut terdapat berbagai eleman dan unsur-sunsur bangunan benda cagar budaya seperti struktur teras berundak dari batu (stone terraces), bangunan susunan batu yang berbentuk seperti kandang untuk pemujaan, tinggalan berbagai benda megalit dan lain-lain yang secara keseluruhan menjadikan suatu identitas dan menunjukkan karakter tertentu harus dapat terjaga dan dilestarikan. Dalam hal ini perlu ada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dalam rencana detil tata ruang ini harus dilengkapi dengan zonasi yang dapat dioperasionalkan secara nyata. Dengan zonasi ini maka penerapan ketentuan dan aturan pemanfaatan ruang dapat sesuai dengan kepentingan pelestarian dan pengamanan situs benda cagar budaya. Perlu diketahui bahwa penggunaan zona inti, zona penunjang dan zona pengambang dapat diterapkan secara berdaya guna efektif dan efisien. Zona inti hendaknya dibebaskan dari segala bentuk sarana maupun prasarana. Hal ini diartikan bahwa zona inti harus ”merdeka” bebas dari segala aktivitas manusia, kecuali mengamati, meneliti menikmati pesona yang ada pada benda cagar budaya. Sementara pada zona penunjang dapat dibangun tempat laboratorium, gedung perpustakaan, gedung penyimpan benda cagar budaya, dan lain-lain yang berkaitan dengan kegunaan situs. Pada zona pengembang dapat didirikan tempat parkir, tempat penjualan cinderamata, restoran, wartel, dan lain-lain.
Pembangunan dan pengembangan sumberdaya budaya dan arkeologi pada dasarnya merupakan langkah-langkah yang erat kaitannya dengan pelestarian dan pemanfaatan. Perlu diketahui bahwa sumberdaya budaya dan arkeologi merupakan tinggalan masa lalu yang tidak dapat langsung dimanfaatkan secara maksimal untuk berbagai kepentingan tetapi harus terlebih dahulu dikelola dan dikemas sehingga sumberdaya tersebut mempunyai kualitas dan nilai jual yang tinggi. Tinggalan masa lalu biasanya hanya berupa sebagian dari tinggalan utuhnya, bahkan kadang-kadang telah begitu rusak karena dimakan waktu dan ada juga yang telah hilang baik sebagian maupun keseluruhannya. Sebagai contoh tinggalan megalitik di Linggo Asri yang merupakan embrio dari sebuah candi telah hilang, untung pada tahun l975 Kusnin Asa telah mengabadikannya, sehingga tinggalan penting tersebut dapat dibangun ulang seandainya akan diperlukan. Bangunan Borobudur dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata setelah berhasil dipugar, demikian pula candi Prambanan. Situs Sangiran telah dapat menarik pengunjung karena telah lama ditata dan diolah sehingga berdiri Museum Lokal, sebagai sarana informasi yang menarik wisatawan.
Demikian juga tampaknya tinggalan arkeologi yang berada di Kabupaten Pekalongan seperti di Rogoselo & di Linggo Asri dan lain-lain harus ditata dan dan dipugar serta pertamanan yang dapat mempercantik obyek. Pengelolaan obyek arkeologi dapat berupa pemugaran, rehabiliutasi, konservasi dan penataan obyek serta pembuatan taman sebagai penambah daya tariknya. Kabupaten Pekalongan perlu beberapa museum yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Museum dimaksud dapat berupa museum khusus (Museum Batik), museum umum yang merupakan sarana pameran hasil warisan budaya masa lalu. Tinggalan-tinggalan warisan budaya bangsa yang dimiliki pribadi-pribadi atau kolektor cukup banyak baik yang bersifat tinggalan arkeologi, tinggalan warisan budaya yang lain yang berupa berbagai sarana dan alat masa kerajaan atau kesultanan.
Seorang pakar ekonomi mengatakan bahwa warisan budaya bangsa memiliki kekuatan yang dapat menunjang sejak awal sampai akhir pembangunan yaitu membentuk jatidiri bangsa, membentuk identitas bangsa, ke arah peningkatan harkat dan martabat bangsa (nation building) (Sri Edi Swasono, 2008). Apa yang dikemukakan oleh pakar ekonomi Sri Edi Swasono tersebut pada intinya warisan budaya bangsa harus dilestarikan, dilindungi dan dimanfaatkan. Hal ini sesuai dengan Ketetapan MPRS RI nomor VI/MPR /2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa pada pasal ll, yang berhubungan dengan budaya yaitu perlu menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai dan mengembangkan budaya nasional yang bersumber pada budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi.
Tinggalan arkeologi khususnya tinggalan masa pra-sejarah yang ditemukan di Kabupaten Pekalongan, bukan merupakan obyek yang langsung dapat dimanfaatkan. Untuk memperoleh keuntungan dari obyek arkeologi tersebut harus melalui berbagai tahap pengelolaan yang harus didahului dengan perlindungan dan pelestarian. Penampilan dari suatu obyek wisata bukan hanya memiliki keunikan dan kelangkaan serta keistimewaan, tetapi kualitas dari nilai-nilai keindahan (pesona) harus menjadi perhatian utama. Untuk mengetahui tentang potensi tinggalan masa pra-sejarah (tradisi megalitik) di Kabupaten Pekalongan maka perlu mengetahui bagaimana bentuk, fungsi, peranan , keadaan lingkungan dan lain-lain dari situs megalitik satu persatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar