Minggu, 19 Juni 2011

BAB X KERAJAAN KERAJAAN KUNA DI JAWA TENGAH

Kerajaan Kuna di Jawa Tengah terbentuk melalui proses sangat panjang. Prosesnya melalui permukiman awal, permukiman lanjutan, komunitas menetap, dan kemudian menjalin persatuan dan kesepakatan untuk membentuk pemerintahan yang teratur. Pemerintahan ini harus dipimpin seseorang yang kuat dan bijak dan akhirnya lahir sejenis proklamasi baik lisan atau tertulis seperti yang tercantum di dalam prasasti. Kepentingan politik, agama dan ekonomi menjadi prioritas utama bagi kerajaan-kerajaan yang baru berdiri.

Permukiman di pantai utara Jawa Tengah ini berlangsung sejak lama mungkin sebelum tarikh Masehi. Berkumpulnya penduduk di sini disebabkan oleh tersedianya barang komoditi yang banyak dan bentang alam yang baik. Kondisi geografis yang baik ini dapat diubah atau dibuat menjadi jalan darat untuk pejalan kaki. Lokasi jalan darat ini berdekatan dengan tepi laut. Di abad ke-19 M. Daendels juga membangun jalan dari Anyer ke Panarukan melalui jalur dekat pantai, baik di Jawa Tengah ataupun di Jawa Timur.
Ketika gerobak sapi menjadi sarana angkutan, mungkin sekali jalan-jalan tersebut di atas dilebarkan dan diperkuat sehingga dapat dilewati oleh kereta yang ditarik kuda atau sapi.. Pengguna jalan laut dapat keluar dan masuk ke pelabuhan Pekalongan atau ke pelabuhan Celong (sekarang wilayah Batang). Karena ramainya lalu lintas perdagangan maka banyak pula orang asing yang bermukim untuk sementara waktu atau untuk menetap. Bahkan dapat dipastikan bahwa orang asing ini ada yang kawin dengan penduduk setempat. Prasasti Jawa Kuna., misalnya prasasti Mantyasih II tahun 907 M menyebut adanya orang-orang asing . Kondisi semacam ini menimbulkan keinginan bagi para kepala adat atau kepala suku untuk membentuk semacam pemerintahan. Orang yang kuat dan pintar akan ditunjuk menjadi pemimpin atau raja. Beberapa kekuatan yang muncul ialah Kerajaan Ho-ling dan dinasti Syailendra.
Kerajaan Ho-ling
Berita sejarah dari dinasti Sung Awal (420 -470 M) menyebutkan bahwa Jawa disebut dengan nama She-p’o. Kemudian berita sejarah dinasti T’ang (618 – 906 M) pada tahun 640 M menyebut kerajaan Jawa sebagai Ho-ling hingga tahun 818 M. Sejarah dinasti T’ang tersebut menuturkan bahwa Ho-ling atau She-p’o terletak di lautan selatan (dilihat dari daratan Cina). Di sebelah timurnya terletak P’o-li (dimaksud Bali) dan di sebelah baratnya ada To-p’o-teng. Di sebelah selatan ada lautan sedangkan di sebelah utara terletak negeri Chen-la. Tembok kota dibuat dari kayu, raja tinggal di bangunan bertingkat yang beratap daun. Tempat duduknya terbuat dari gading. Lantainya dari anyaman bambu. Jika makan, orang menggunakan jari tangan, bukan sumpit atau sendok. Penduduk Ho-ling sudah mengenal tulisan dan sedikit ilmu perbintangan (lihat Marwati D.P., ibid, p. 93-95; lihat juga Groeneveldt, 1960, hlm. 13).
Sejarah dinasti T’ang (618-906 M) tersebut menyatakan bahwa Ho-ling sudah ada pada tahun 640 M. Ini angka tahun yang sangat tua di Jawa Tengah. Jika prasasti Sojomerto diduga dari abad ke-7 M (jadi antara tahun 601 – 700 M), sangat mungkin Dapunta Selendra berada lebih dahulu dari pada Ho-ling. Di atas disebutkan bahwa penduduk Ho-ling sudah mengenal tulisan. Boleh jadi tulisan yang dikenal masyarakat Ho-ling ini berupa aksara Palawa sebagaimana yang digunakan dalam prasasti Sojomerto (lihat Boechari, Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto, dalam MISI III (2&3), hlm. 241-251), Djakarta).
Sejarah dinasti Sung Awal (420-470 M) sudah menyebut Jawa dengan nama She-po dan nama ini sama dengan Ho-ling. Dituturkan pula bahwa Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Kerajaannya makmur; di situ ada gua yang selalu mengeluarkan air garam (Jawa: bledug). Ada minuman keras dari bunga kelapa atau bunga aren. Bunga pohon ini panjangnya mencapai 3 kaki ( 93 cm) dan besarnya sama dengan tangan orang dewasa. Di Ho-ling banyak wanita berbisa (berpenyakit); jika orang laki-laki berhubungan kelamin dengan wanita ini, ia akan luka bernanah dan mati tetapi mayatnya tidak membusuk (lihat Groeneveldt, 1960, hlm. 13).
Di daerah pegunungan juga ada tempat tinggi bernama Lang-pi-ya, raja sering pergi ke sana untuk menikmati pemandangan laut. Pada pertengahan musin panas jika orang mendirikan tongkat gnomon setinggi 8 kaki ( 244 cm) maka bayangannya akan jatuh ke arah selatan sepanjang 2 kaki 4 inci (70,6 cm). Ujung bayangan tongkat itu menunjukkan posisi geografis suatu tempat.
Raja Chen-kuan (627 – 649 M) dari dinasti T’ang, menerima utusan dari raja Ho-ling yang bernama To-ho-lo dan To-p’o-teng, keduanya menyerahkan upeti. Saat kaisar Cina sudah berganti lagi, utusan raja Ho-ling datang lagi ke Cina pada tahun 666, 767 dan 768 M. Utusan dari Ho-ling pada tahun 813 atau 815 M membawa upeti berupa 4 budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua berbagai warna, burung p’in-chia dan benda berharga lainnya. Kaisar Cina sangat gembira lalu memberikan gelar kehormatan kepada utusan itu tetapi sang duta memohon agar gelar itu diberikan kepada adiknya yang ikut bersamanya; akhirnya kaisar memberikan gelar itu kepada kedua utusan Ho-ling tersebut.
Saat itu di Jawa sudah ada seorang pendeta Budha dari China bernama Yoh-na-p’o-to atau Jnanabhadra. Ketika pada tahun 664 atau 665 M seorang guru dari China bernama Hwui-ning datang ke tanah Jawa dan tinggal selama 3 tahun, ia dibantu oeh Jnanabhadra dalam menerjemahkan ajaran Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina ( lihat Marwati D.P, ibid.p. 96) . Beberapa orang Cina menyusul ke Jawa (yang dimaksud Ho-ling), seorang di antaranya tinggal selama 6 bulan lalu jatuh sakit dan meninggal dunia (lihat Poerbatjaraka, 1952 : 19). Naskah terjemahan tentang Nirwana oleh Hwui-ning ini menurut pendeta I-tsing berbeda dengan naskah serupa dari aliran Hinayana. Jadi dapat disimpulan bahwa agama Budha di Ho-ling berasal dari aliran Mahayana (lihat Marwati D.P., ibid., p. 96-97).
Berita Cina menyebutkan bahwa pada tahun 674 M, rakyat kerajaan menobatkan seorang wanita yaitu Ratu Hsi-mo atau Simo sebagai ratu. Pemerintahan sang ratu Simo sangat baik dan keras serta adil. Jika ada barang jatuh di jalan maka tidak ada orang yang berani menyentuh atau mengambilnya. Nama Hsi-mo berkonotasi dengan istilah sima yang berarti tanah istimewa yang dibebaskan sebagian dari pajak dan kewajibannya dan seseorang ditunjuk dan ditetapkan oleh raja sebagai pemilik atau kepala sima.
Sebutan Si-mo jelas lafal Cina dari kata sima. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa sang ratu adalah kepala tanah sima yang diberi tugas oleh raja, antara lain untuk memelihara bangunan suci milik raja. Jadi sebelum Ratu Simo menjadi raja, ia adalah pejabat atau kerabat raja yang tinggal di tanah sima, suatu wilayah di bawah kerajaan Ho-ling.tersebut. Persoalannya, siapa raja di Ho-ling sebelum Si-mo. Atas dasar paparan di atas, raja di Ho-ling adalah kerabat dari Dapunta Selendra.. Pendapat ini ditopang oleh tafsir atas prasasti Sojomerto yang pertanggalannya berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 M.
Orang-orang Ta-shih dari seberang lautan menguji kebenaran tentang Ratu Si-mo dengan meletakkan pundi-pundi emas di tengah jalan. Putera sang ratu yang tak sengaja menyentuh pundi-pundi itu dengan kakinya, juga dikenai hukuman. Karena peristiwa ini orang Ta-shih (transkripsi dari Tajika, yaitu sebutan bagi orang Arab yang tinggal di India) tak berani menyerang Ho-ling (lihat Marwati D.P., 1993, ibid, hlm. 97). Data ini menunjukkan bahwa di Ho-ling juga tinggal orang-orang Arab atau keturunan Arab yang singgah di Ho-ling atau menetap di Ho-ling. Sumber Cina juga menyebutkan bahwa ada orang-orang Arab yang datang ke negeri Cina. Hingga saat ini banyak keturunan Arab tinggal di kota Pekalongan.
Ratu Si-mo tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng) tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaannya ke timur, ke kota P’o-lu-chia-ssu. Berita Cina ini agak kacau, yang memindahkan kerajaan ke timur bukan leluhurnya tetapi salah satu keturunannya.
Bahwa Ratu Si-mo dinobatkan sebagai ratu pada tahun 674 M di kerajaan Ho-ling, ini berarti bahwa Ho-ling sudah ada jauh sebelum penobatan ratu Si-mo. Ratu Si-mo adalah salah satu keturunan Dapunta Selendra (bandingkan dengan Marwati D.P., 1993, ibid, hlm. 96.
Di negeri She-p’o ada 28 kerajaan kecil yang semuanya tunduk kepada sang ratu. Di dalam kerajaan ada 32 pejabat tinggi, satu di antaranya disebut ta-tso-kan-hsiung (lihat Groeneveldt, ibid, hlm. 13).
Mengenai lokasi kerajaan Ho-ling harus dicari dari sumber geografi. Keterangan berita Cina bahwa bayangan tongkat gnomon sepanjang 2 kaki 4 inci di musim panas, agaknya keliru, seharusnya ini tejadi di musim dingin sehingga konversi angka itu identik dengan 6 derajat 8 menit Lintang Selatan karena Lang-pi-ya berada di desa Krapyak dekat gunung Lasem (lihat van Orsoy de Flines dalam TBG. 83, 1949, hlm. 424-429).
Lafal Ho-ling bahasa Cina ini tentulah ada hubungan dengan kata keling, sebutan untuk orang hitam dari India yang banyak bermukim di pulau Jawa, khususnya di pantai utara. Ada 5 buah prasasti Jawa Kuna memuat nama etnis India sejak tahun 840 M ( prasasti Kuti) dan Kancana (860 M) di Jawa Timur hingga Jaman Erlangga (prasasti Cane dan Turunhyang) . Di Jawa Timur juga ada daerah bernama Keling, lokasinya di barat laut dari Madiun.. Nama-nama etnis India yang disebut dalam prasasti ialah : Kling, Aryya, Singhala, Karnataka, Pandikira, Drawida, Gola, Cwalika dan Malyala. Suku asing lainnya yang disebut dalam prasasti ialah: Campa, Ramman dan Kmir (lihat prasasti Kuti tahun 840 M) Dapat diduga bahwa sebelum mereka tiba di Jawa Timur, mereka lebih dahulu melewati atau bermukim di Jawa Tengah. Permukiman orang Keling inilah yang pertama kali dikenal orang Cina dan dilafalkan dengan nama Ho-ling. Kaum Keling ini tentulah minoritas tetapi karena secara lahirilah sangat berbeda dengan suku Jawa maka tempat itu disebut dengan identitas fisik mereka (Keling).
Nama Keling juga dapat berasal dari Sri Langka karena di sana ada Kerajaan Kalinga yang rakyatnya berasal dari suku bangsa Tamil. Kerajaan Kalingga mempunyai raja yang bernama Raja Shulan. Raja Shulan menyerang daerah di sebelah timurnya yang bernama Glang Gui (Lenggui) dan Chulin (lihat Wolters: The Fall of Sriwijaya, 1970: 83-84). Kemungkinan yang terakhir ini dapat diabaikan karena pemerintahan raja Shulan berlangsung di abad k-14 M)
Orang asing yang bermukim di Jawa bukan hanya dari Asia Tenggara tetapi juga dari Cina. Prasasti Kancana tahun 860 M menyebutkan adanya kepala kelompok etnis Cina dengan sebutan juru cina Mereka ini dilarang memasuki daerah sima (perdikan).
Persoalan selanjutnya ialah sampai kapan pemerintahan Ratu Si-mo (mulai tahun 674 M terus berlangsung atau sampai kapan kerajaan Ho-ling bisa bertahan. Hal ini belum terjawab karena sumber-sumber sejarah belum ditemukan.

Dinasti Syailendra
Nama Syailendra dijumpai dalam 5 buah prasasti di Jawa yaitu prasasti Kalasan tahun 778 M, prasasti Kelurak tahun 782 M, prasasti Abhayagiriwihara (tanpa tahun), prasasti Ratu Boko tahun 792 M dan prasasti Kayumwungan atau Karang Tengah tahun 824 M dan dalam 1 prasasti di Thailand (prasasti Ligor B (tanpa tahun), 1 prasasti dari India (Nalanda) dan 1 prasasti Leiden. Keempat prasasti di Jawa itu menggunakan aksara Pranagari ( disebut juga aksara siddham) dan bahasa Sansekerta dan hanya prasasti Kayumwungan yang menggunakan aksara Palawa.
Pertama, prasasti Kalasan tahun 700 Saka (778 M), aksaranya Pranagari dan bahasa Sansekerta. Di dalamnya disebutkan bahwa Panangkaran, raja dari keluarga Syailendra, mendirikan bangunan suci untuk Dewi Tara, (agama Budha). Prasasti Kelurak (782 M) menyebut raja Indra menggunakan gelar keluarga Syailendra. Prasasti Karangtengah (824 M) menyebut raja Samaratungga dari wangsa Syailendra. Dua prasasti lainnya juga menyebut nama Syailendra.
Prasasti tembaga Nalanda berbahasa Sansekerta (abad XI M) ditemukan di Nalanda dekat New Delhi, berisi permohonan raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sumatera) dari wangsa Syailendra kepada raja India Dewapaladewa untuk mendirikan wihara di Nalanda. Raja Balaputra dari Sumatra juga keluarga Syailendra (lihat Hirananda Shastri (1924): “The Nālandā Copperplate of Devapāladeva” , Epigraphia Indica, 17: 310-327). Nama Syailendra juga dijumpai dalam Prasasti Ligor B (di Thailand) ; di dalamnya disebut bahwa pada tahun 775 M. Raja Sriwijaya dari keluarga Syailendra membuat bangunan suci untuk Trisamaya. Raja-raja dari wangsa Syailendra tersebut semuanya menganut agama Budha.
Berdasarkan data tersebut beberapa sarjana Belanda beranggapan bahwa wangsa Syailendra berasal dari India, demikian pendapat de Casparis dan F.D.K. Bosch (lihat de Casparis dalam Prasasti Indonesia I, 1950 dan Prasasti Indonesia II, 1956 dan Bosch dalam BKI, 114, 1956, hlm. 254-264). Atas dasar pendapat itu, asal usul nama Syailendra di Jawa juga dianggap berasal dari India Prosesnya, Syailendra masuk ke Semenanjung Malaka dan Sumatera lalu masuk ke Jawa. Sebaliknya Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Syailendra berasal dari Jawa Tengah tetapi lokasinya belum dapat ditentukan. Pendapat Poerbatjaraka didukung oleh Boechari yang mencoba mencari bukti sejarah. Kemudian pada tahun 1964 ditemukan batu bertulis Sojomerto di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Aksaranya Palawa Muda, bahasanya Melayu Kuna, angka tahunnya tidak ada tetapi diduga dari abad ke- 7 M. Tulisannya aus, beberapa kata tidak terbaca. Isinya menyebutkan bahwa Dapunta Selendra mempunyai ayah bernama Santanu dan ibu bernama Bhadrawati dan isterinya bernama Sampula. Dari data prasasti ini Boechari memperkuat pendapat bahwa wangsa Syailendra berasal dari Jawa Tengah (lihat Boechari: “Preliminary Notes on the discovery of an Old Malay inscription at Sodjomerto”, dalam MISI, III, no. 2 & 3, 1966 : 241-251 dan Marwati D.P., ibid., p. 91). Diduga keras bahwa asal usul nama Syailendra (bahasa Sansekerta) berpangkal pada nama Dapunta Selendra (bahasa Melayu Kuna). Dapunta Selendra ini beragama Hindu karena ada panggilan namassiwaya, artinya: dengan nama dewa Siwa. Dalam hal ini keluarga Syailendra di Jawa Tengah beragama Budha tertapi Dapunta Selendra dalam prasasti Sojomerto beragama Hindu.
Persoalannya bagaimana menerangkan perbedaan agama dari dua Syailendra ini. Sebuah batu prasasti (dikenal sebagai prasasti Sangkara) dalam kondisi rusak koleksi Bapak Adam Malik dapat menjelaskan hal ini. Prasasti Sangkara menyebutkan bahwa seorang raja bernama Sangkara mempunyai ayah yang sedang sakit keras. Guru raja Sangkara tidak mau menolongnya sehingga sang ayah meninggal dunia. Karena kecewa dan takut kepada sang guru, lalu Sangkara pindah ke agama Budha dengan memberi donasi kepada bhiksusanggha (organisasi kaum biksu). Jadi keturunan Syailendra yang beragama Hindu pindah ke agama Budha sejak raja Sangkara. Raja Sangkara ini diduga keras identik dengan Rake Panangkaran. Selanjutnya pengganti Rake Panangkaran yaitu Rake Pikatan pindah lagi ke agama Hindu (lihat Marwati D.P., 1993, ibid., hlm 92-93).
Persoalan lain timbul, apakah Dapunta Selendra penduduk asli Jawa ataukah ia seorang pendatang dari luar, misalnya dari Sumatera? Dengan pangkal desa Sojomerto, yang lokasinya sekitar 30 km di sebelah tenggara Batang, pastilah Dapunta Selendra penduduk asli yang paham bahasa Melayu Kuna. Sementara itu Pekalongan memiliki pelabuhan, Batang juga memiliki pelabuhan alam bernama Celong. Sudah pasti bahwa pelabuhan Pekalongan maupun Celong menjadi pintu keluar dan masuknya pedagang atau musafir dari luar. Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa kaum pendatang masuk ke Pekalongan melalui jalur darat sejak mereka tiba di pulau Jawa.
Adanya bahasa Melayu Kuna di dalam prasasti Sojomerto, hal ini membuktikan bahwa di wilayah Pekalongan – Batang ini pasti banyak komunitas Melayu. Di abad ke -7 M bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca atau bahasa pengantar di wilayah Nusantara. Selain Sojomerto masih ada 6 buah prasasti berbahasa Jawa Kuna di Jawa, antara lain prasasti Gandasuli I tahun 827 M, prasasti Gandasuli II tahun 810 M, prasasti Mañjuśrīgŗha tahun 792 M, dan prasasti Kebon Kopi II (abad ke-9 M). Di abad ke -9 M ini bahasa Melayu Kuna bukan barang asing bagi masyarakat Batang yang lokasinya terbuka untuk hubungan antar pulau. Kesimpulannya ialah Dapunta Selendra adalah raja atau pemimpin komunitas masyarakat di pantai utara Jawa Tengah yang mempunyai hubungan dengan masyarakat berbahasa Melayu Kuna pada pertengahan abad ke-7 M.
Keturunan Dapunta Syailendra ini, antara lain Sanjaya, kemudian menjadi cikal bakal dari raja-raja Mataram Kuna yang beribukota di Mědang, daerah Poh Pitu. Lokasi Mědang belum dapat dipastikan karena nama Mědang ada di daerah Bagelen (Jawa Tengah) hingga ke dekat Madiun di Jawa Timur. Namun demikian,nama Mědang paling banyak dijumpai di daerah antara Purwodadi-Grobogan dengan Blora. (lihat Marwati D.P., 1993, hlm. 96).
Dalam silsilah raja-raja Mataram Kuna, raja yang pindah ke agama Budha ialah Rakai Panangkaran. Namun demikian keturunannya yaitu Rakai Pikatan pindah lagi ke agama Hindu. Menurut Poerbatjaraka hanya ada satu dinasti di Jawa Tengah yaitu Syailendra sedangkan Sanjaya merupakan keturunan dari Syailendra.(lihat Marwati D.P., ibid, p. 92).
Pemerintahan Syailendra di Jawa Tengah tidak jelas tergambar di dalam uraian isi prasasti abad ke- 9 M, misalnya prasasti dari Dieng tahun 731 Saka (809 M).
Walaupun rajanya berpindah agama, masyarakatnya menganut agama yang disukainya, jadi ada yang tetap beragama Hindu dan ada yang beragama Budha. Candi-candi Borobudur, Mendut, Pawon, Kalasan, Plaosan Lor, Sewu, Ratu Boko dll. bercorak agama Budha. Sebaliknya candi Loro Jonggrang atau Prambanan yang lokasinya terkepung oleh candi Budha, justeru beragama Hindu. Ini berarti bahwa penganut Hindu dan penganut Budha hidup berdampingan secara damai.
Di Jawa Tengah bagian utara ada candi Gedong Songo, terdiri atas 9 candi, coraknya agama Hindu. Lokasai candi ini di sebelah barat kota Ambarawa. Di lereng selatan Gunung Dieng ada percandian Dieng yang diberi nama-nama wayang, juga beraliran Hindu. Komplek candi Dieng ini berada di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Masih dalam wilayah Wonosobo, tepatnya di Kecamatan Selomerto, ada candi Bogangan dimana di dalamnya ada 2 arca Budha sangat besar, mungkin terbesar di Jawa Tengah. Lokasi Candi Bogangan / Selomerto ada di sebelah selatan kota Wonosobo.
Selain itu keturunan Syailendra juga mendirikan arca lingga–yoni yang banyak jumlahnya di berbagai wilayah seperti Pekalongan, Batang dan daerah Kedu Selatan, terutama Purworejo. Jika saat ini jumlah artefak di lapangan tinggal sedikit, hal itu disebabkan sejak jaman Belanda artefak-artefak itu dipindahkan ke Museum Pusat di Jakarta dan atau ke tempat-tempat lain. Daftar artefak yang berasal dari daerah Jawa Tengah dapat dijumpai dalam ROD tahun 1914. Berdasarkan tinggalan candi dan artefak jaman Syailendra yang beragama Hindu dan Budha, lokasi pusat kerajaannya pada abad IX M dapat diperkirakan tidak jauh dari bangunan candi-candi tersebut.. Poerbatjaraka menduga lokasi pusat kerajaan Syailendra atau Sanjaya ada di daerah Kedu.
Persoalan lain, dimanakah lokasi kerajaan Syailendra pada pertengahan abad ke-7 M . Dilihat dari lokasi prasasti Sojomerto yang berada di desa Sojomerto, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, letaknya hanya sekitar 14 km di sebelah tenggara kota Batang atau 15 km dari tepi laut. Ada kemungkinan bahwa raja Syailendra pertama ini mendirikan pusat kerajaan tidak jauh dari lokasi prasasti Sojomerto. Mengingat bahwa bahasanya Melayu Kuna maka yang dituju ialah penduduk atau masyarakat yang berbahasa Melayu. Diduga lokasi kerajaan Syailendra pada abad ke- 7 M terletak antara Limpung dengan pantai utara di sebelah timur kota Batang.. Karena letaknya tidak jauh dari laut / pelabuhan maka kerajaan ini mudah diketahui oleh orang asing seperti musafir Cina.
Sesudah munculnya Dapunta Selendra dalam prasasti Sojomerto di pertengahan abad ke-7 M, sekitar 80 tahun kemudian muncul prasasti Canggal bertahun 654 Saka atau 732 M. .Prasasti Canggal ditemukan di reruntuhan candi Gunung Wukir, di desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Daerah ini dikenal sebagai Kedu Selatan. Lokasi ini berbatasan dengan wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa Sanjaya menggantikan raja Sanna karena kerajaannya rusak, mungkin diserang musuh. Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara dari raja Sanna. Prasasti Canggal yang memuat keterangan ini juga memberi petunjuk bahwa raja Sanjaya beragama Hindu (lihat Poerbatjaraka, 1952, hlm.50-55). Adapun silsilah Sanjaya selanjutnya tertulis dalam prasasti Mantyasih tahun 907 M dan prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M (lihat Kusen dalam tulisan “Raja Raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”, dalam Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994, hlm. 82-94).
Di dalam prasasti Canggal tersebut di atas disebutkan bahwa setelah raja Sanna tidak menjadi raja, keadaan kacau. Hal ini memberi petunjuk bahwa saat raja Sanna berkuasa ada perang atau perebutan tahta. Siapa saja yang berperang atau bermusuhan dengan raja Sanna atau dengan raja-raja dari dinasti Syailendra sebelumnya, tidak ada keterangan. Rentang waktu sekitar 60 tahun atau selama dua generasi antara Ratu Si-mo (674 M) hingga Sanjaya yang disebut dalam prasasti Canggal (732 M) tidak diketahui sejarahnya. Namun demikian diyakini bahwa Ratu Si-mo adalah keturunan dari Syailendra, demikian pula Sanjaya adalah keturunan Syailendra. Pusat kerajaan Sanjaya bergeser ke selatan yaitu di sebelah selatan pegunungan Dieng, di daerah Kedu Selatan. Ternyata kemudian raja-raja Sanjaya sangat banyak kegiatannya dalam menata masyarakat. Sejak raja Sanjaya hingga raja Watuhumalang telah ditemukan sebanyak 124 buah prasasti. Seorang pakar sejarah dan arkeologi Inggris bernama Jan Wisseman Christie telah mencoba menyusun daftar prasasti dari raja-raja Mataram Kuna. Daftar itu dimulai sejak prasasti Tukmas (pertengahan abad ke-7 M) hingga ke prasasti Panunggalan tahun 898 M dari jaman raja Watuhumalang. Raja-raja Sanjaya yang paling banyak mengeluarkan prasasti ialah Sri Maharaja Rake Kayuwangi (856 – 882 M) dengan 65 buah prasasti. Daftar prasasti ini belum diterbitkan.



Sumber Sejarah
Sumber sejarah untuk wilayah Pekalongan berupa sumber tertulis, toponimi (nama-nama tempat) dan tafsir atas artefak-artefak dari jaman yang gayut. Adapun sumber tertulis berupa prasasti, kronik sejarah Cina dan naskah atau babad.

Sumber Tertulis (Prasasti)
Prasasti ialah tulisan-tulisan kuna yang dipahatkan atau digoreskan pada benda-benda keras seperti logam, batu, tulang, kayu atau tanah liat. Tulisan kuna ini mengandung data atau rekaman kegiatan masa silam. Tulisan pada prasasti harus disalin atau dibuatkan transkripsinya ke dalam aksara Latin kemudian dibuatkan terjemahan serta tafsir sejarahnya. Demikianlah prasasti-prasasti di bawah ini dapat menyumbang bukti sejarah bagi penyusunan buku mosaik sejarah dan budaya Pekalongan.

I. Prasasti Gunung Rogomanik

Di wilayah Kabupaten Pekalongan (setelah Batang dijadikan kabupaten) hanya ditemukan sebuah prasasti batu di Gunung Rogomanik yang berangka tahun 1571 Saka (1659 M). Lokasi Rogomanik ada di bagian tenggara wilayah Pekalongan dan berdekatan dengan wilayah Wonosobo bagian timur laut. Jika benar angka tahunnya demikian maka prasasti ini sangat muda karena berada di babakan sejarah Jaman Islam (1600 -1800 M). Isinya belum dapat diketahui karena tulisannya sangat rusak. Prasasti lain asal dari Pekalongan ialah Prasasti Rabwan yang ditemukan di Petungkriyono, bentuknya berupa genta perunggu. Genta ini dipahati tulisan Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna (lihat paparan di bawah).

II. Prasasti Rabwan

Lokasinya ada di Desa Telaga Pakis, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, ditemukan pada tahun 1952. Wujudnya berupa genta perunggu. Sekarang artefak ini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Sarjana yang sudah membaca dan mempublikasikannya ialah Boechari. Tulisannya berjudul ”A Dated Bronze Temple Bell from Pekalongan” yang disampaikan dalam forum ilmiah ASAIHL Seminar on Fine Arts of Southeast Asia, Bangkok (1963). Aksara dan bahasanya Jawa Kuna.
Isinya menyebutkan bahwa Rakryān I Wungkaltihang bernama Pu Wīrawikrama mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada Bhaţāra Sang Lumah i Rban pada tahun 827 Saka (905 M).
Adanya nama Raban atau Rabwan atau Roban di sini menunjukkan bahwa pada tahun 905 M daerah ini masih eksis dan saat itu berkait dengan adanya bangunan suci raja (sangat mungkin berupa makam) dimana seorang raja atau kerabat raja telah diistirahatkan di Roban.
Kemudian ada nama Wungkaltihang. Nama ini identik dengan Wungkalhumalang atau Watutihang yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah III (908 M). Nama itu sebelumnya menjadi tanah lungguh dari seorang pangeran bernama Rakai Wungkalhumalang yang kemudian naik tahta menjadi raja Mataram antara tahun 894-898 M. Prasasti ini menyebutkan bahwa yang mempersembahkan genta perunggu adalah Pu Wīrawikrama dari Wungkaltihang. Dapat dipastikan bahawa Pu Wīrawikrama adalah seorang pejabat tinggi dan mungkin keturunan dari Rakai Wungkalhumalang yang berkuasa antara tahun 894-898 M (lihat Kusen dalam tulisan “Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung”, dalam Berkala Arkeologi, Tahun 1994, Edisi Khusus, hlm. 90-94).
Pada prasasti ini ada sebutan Bhatara Sang lumah i Rban. Istilah bhatara dipakai untuk menyebut seorang raja bijaksana yang telah wafat. Adanya kata sang lumah i rban dimaksudkan bahwa raja tersebut di makamkan di Rban. Pu Wirawikrama begitu cinta kepada raja yang telah wafat ini tentunya bukan tanpa alasan. Sangat besar kemungkinan bahwa Pu Wirawikrama adalah anak atau keturunan dari raja tersebut. Persoalannya sekarang ialah siapakah raja yang dimakamkan di Rban tersebut. Menurut silsilah raja-raja yang tercantum di dalam prasasti Wanua Tengah III (908 M), Raja Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang memerintah dari tanggal 27 Nov. 894 hingga tanggal 23 Mei 898 (lihat Kusen, ibid. hlm. 93). Berakhirnya pemerintahan Rake Wungkalhumalang yang hanya berjalan 4 tahun, besar kemungkinan karena sakit lalu wafat. Bahwa 7 tahun kemudian yaitu pada tahun 905 M, Pu Wirawikrama mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada raja yang dimakamkan di Rban, hal ini tidak aneh karena almarhum adalah leluhurnya sendiri.
Data kesejarahan ini sangat penting karena ternyata bahwa Rabwan atau Roban menjadi tempat makam bagi seseorang yang dihormati, mungkin seorang raja pada akhir abad ke-9 M. Sebagai akibat dari adanya makam penting ini maka pada bulan-bulan tertentu daerah Rabwan menjadi ramai oleh kedatangan para peziarah. Hal ini juga menjadi salah satu faktor terjadinya percepatan urbanisasi pada jaman itu dimana banyak orang bermukim di tempat yang sudah ramai. Lokasi Rabwan ini bukan di dekat pantai yang bisa kena banjir (istilah Jawa: rob), tetapi di dataran yang agak tinggi dan bebas dari banjir.
Prasasti perunggu Rabwan termasuk artefak kecil yang dapat dipindah-pindahkan. Seharusnya prasasti ini berada di Rabwan tetapi oleh pemilik atau pewarisnya dibawa ke tempat lain dan akhirnya terpendam atau “disimpan” di Petungkriyono di wilayah Pekalongan. Prasasti itu ditemukan lagi pada tahun 1952 setelah terpisah oleh rentang waktu 947 tahun (905 – 1952).


III. Prasasti Sojomerto

Lokasi temuannya di desa Sojomerto, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Wilayah ini semula masuk ke Karesidenan Pekalongan. Bentuk prasasti ini berupa batu pipih berbahan kapur campur padas warna agak kuning. Tulisannya ada 11 baris.
Bentuk aksara adalah campuran antara Jawa Kuna dengan Palawa, abad ke-7 M. Sedangkan bahasanya Melayu Kuna. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1964, diteliti pertama kali tahun 1964 oleh Boechari dan Ayatrohaedi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya diterbitkan oleh Boechari dengan judul ”Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sodjomerto”, dalam MISI, 1966, III. No. 2 & 3, hlm. 241-251.
Isi prasasti Sojomerto menyebutkan seruan kepada dewa Siwa dan Bhatara Parameswara, diikuti pernyataan adanya Dapunta Selendra yang berayah Santanu, beribu Bhadrawati dan beristeri Sampula. Atas data tersebut perlu disusun tafsir sejarah sebagai berikut.
Dapunta Selendra beragama Hindu yang menghormati dewa Siwa, ia mempunyai ayah bernama Santanu, beribu Bhadrawati dan beristeri Sampula. Dari bentuk aksara pada prasasti, diduga Dapunta Selendra memerintah di sana pada sekitar tahun 670 – 700 M.
Nama Selendra (bahasa Melayu ) dari kata sela dan indra, artinya raja gunung. Dalam bahasa Sansekerta, raja gunung diberi istilah syailendra. Jadi nama Selendra dan Syailendra sama artinya. Karena kata Sansekerta dipandang lebih indah maka raja-raja berikutnya memakai nama Syailendra. Sesudah masa Dapunta Selendra, di Jawa Tengah ada 7 orang raja menggunakan nama Syailendra. Mereka itu ialah raja Bhanu (prasasti Plumpungan tahun 752 M), raja Wisnu (prasasti Ligor B. tahun 775 M), raja Panangkaran (prasasti Kalasan tahun 775 M), raja Indra alias Sri Sanggramadhananjaya (prasasti Kelurak tahun 782 M), raja Samaratungga (prasasti Karang Tengah tahun 824 M), raja Sri Kahulunan (prasasti Plaosan Lor tahun 842 M) dan raja Balaputradewa dari Suwarnabhumi (prasasti Nalanda circa tahun 860 M) (lihat de Casparis Prasasti Indonesia I, 1950, p. 97-111).


IV. Prasasti Blado

Prasasti ini ditemukan di Desa Blado, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang. Bentuk batunya agak pipih, warna coklat, alami, maksudnya tidak dihaluskan. Bentuk aksaranya Jawa Kuna, bahasanya Sansekerta. Selain tulisan yang aus sebanyak 6 baris, ada gambar bulan sabit dipahatkan pada sisi belakang.
Prasasti ini juga ditemukan pada tahun 1964, diteliti pertama kali oleh Boechari dan Ayatrohaedi pada tahun 1964. Penelitian berikutnya dilakukan oleh J.G. de Casparis dan M.M. Soekarto pada tahun 1979. Sesudah itu ada penelitian lagi oleh Pusat Penelitian Arkeologi pada tahun 1980. Hasil penelitian tahun 1980 diterbitkan dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 37, 1986, hlm. 3. M.M. Soekarto mencoba membaca teks yang sangat rusak tetapi aksara yang terlihat hanya sepotong-sepotong. Di sini hanya diberikan catatan saja.
Di bagian depan disebut kata daņa, kata ini berhubungan dengan keuangan . Di baris ke-5 juga ada kata sima yang berarti ada status tanah istimewa yang dibebaskan sebagian pajaknya. Adanya sima juga memberikan indikasi bahwa raja memiliki bangunan suci yang harus dipelihara oleh pemegang hak sima tersebut. Kesimpulan yang dapat ditarik dari data ini, antara lain ialah bahwa ada seseorang memberikan dana untuk membeli tanah dan selanjutnya tanah itu dijadikan sima yang hasil buminya dipergunakan untuk memelihara banguan suci milik raja.

V. Prasasti Wutit

Lokasinya ada di situs Kandangan, Desa Tumbrek, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1960- an. Di situs ini ada beberapa artefak berupa lingga semu, ada pula sebuah arca Nandi yang dinaungi oleh bangunan sederhana bertiang 4. Kondisi tulisan sangat aus. Bentuk batu prasasti ini seperti lingga, nama yang benar ialah lingga semu. Salah satu tiang bulat (lingga semu) ini bertulisan di semua sisinya tetapi kondisinya sangat aus.
Tulisannya 12 baris, bentuk aksara Jawa Kuna dari abad ke-9 - 10 M (lihat Soekarto, 1994: 4-5) dan bahasanya juga Jawa Kuna. Prasasti ini ditinjau oleh M.M. Soekarto. Saat ini (tahun 2008) prasasti Wutit disimpan di Kantor BP3 Jawa Tengah. Paparan singkat prasasti ini ditulis oleh M.M. Soekarto dalam Berkala Arkeologi (Balai Arkeologi Yogyakarta) Edisi Khusus Tahun 1994, hlm. 4-5.
Terjemahan prasasti Wutit tidak dapat diberikan karena jumlah kata yang terbaca terlalu sedikit. Sebagai catatan, di dalamnya disebut nama desa wutit lalu ada kata sima, wihara, kemudian ada nama orang Si Sita bapak dari Gana. Data yang sedikit ini dapat disimpulkan bahwa ada desa Wutit dijadikan sima untuk keperluan sebuah wihara. Adapun orang yang ditunjuk menjadi pemilik sima ialah Si Sita, ayah dari Gana.
Tampilnya prasasti Wutit juga menunjukkan bahwa ada banyak bangunan suci yang harus dipelihara dan keberadaan bangunan suci juga berkait dengan ketenangan jiwa masyarakat yang banyak melakukan ibadah.
Atas dasar fragmen data tersebut maka dapat disusun kesimpulan demikian: Prasasti ini berisi penetapan tanah sima di suatu tempat disertai pertanggalan dan nama orang yang ditugasi oleh raja untuk meresmikan status tanah sima. Unsur historisnya ialah pertanggalan terjadinya peristiwa tersebut serta nama pelakunya yang mungkin seorang pejabat penting di dalam pemerintahan raja yang terkait di dalamnya. Karena data lain tidak ada maka sumbangan prasasti Wutit bagi historiografi Pekalongan atau Batang terbatas kepada berlakunya tata tertib tentang aturan sima dimana rakyat harus tunduk dan taat kepada raja pada abad ke-9 – 10 M.
Sebagai perbandingan, di abad ke-19 M wilayah kerajaan Mataram mencakup Kabupaten Sumedang di Jawa Barat. Jadi tidak mengherankan jika di abad ke-7 - 10 M wilayah kekuasaan Mataram meliputi seluruh wilayah Pekalongan, Banyumas, Cilacap dan dataran rendah Kedu Selatan.


Babad

Dalam ilmu sejarah, sumber Babad dan Naskah Cerita Rakyat termasuk sebagai sumber sekunder karena data yang disebut tidak akurat dan umumnya ditulis jauh setelah peristiwanya berlalu.

I. Babad Pakuan atau Babad Pajajaran

Babad ini selesai ditulis pada tahun 1862 M. Isinya tentang pendirian Kerajaan Galuh, jadi memuat pula cerita tentang raja-raja Sunda karena itu babad ini juga disebut Babad Ratu Sunda.. Naskah ini berasal dari Cirebon dan berbahasa Sunda. Transliterasi dan terjemahannya dikerjakan oleh Saleh Danasasmita, Atja dan Nana Darmana, diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1977.
Nama tempat di Jawa Tengah yang disebut ialah Medang Kamulan dimana raja-raja dari Pulau Ara-ara yang beristerikan orang Mesir dan membawa pengikut 1000 orang lalu tinggal di Medang Kamulan. Kerajaannya berpindah-pindah, dari Medang Kamulan ke Gunung Kidul lalu ke Ngandong Ijo, pindah lagi ke Lodaya, ke Roban, ke Lombok lalu ke Medang Agung. Inti sari yang dapat dipetik dari babad ini ialah bahwa ada hubungan antara kerajaan Galuh di Jawa Barat dengan Medang Kamulan di Jawa Tengah.

II. Carita Parahyangan

Naskah berbahasa Sunda ini sangat terkenal karena isinya dekat sekali dengan fakta sejarah yang terjadi., khususnya masalah raja Sena di Galuh yang digulingkan dari tahta oleh saudaranya yaitu Rahyang Purbasora. Raja Sena dan keluarganya diasingkan ke Gunung Merapi. Anak Sena yaitu Sanjaya, setelah dewasa berhasil menggulingkan Rahyang Purbasora lalu mengangkat dirinya sebagai raja.
Isi naskah ini dapat dibandingkan dengan isi Prasasti Canggal dari Jawa Tengah yang berangka tahun 654 Saka atau 732 M. Adapun Prasasti Canggal yang tersusun dalam 12 sloka itu menerangkan hal-hal sbb:
1) Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthirangga untuk keselamatan rakyatnya.
2) Sanjaya bagaikan dewa Siwa, ia dihormati oleh semua dewa karena kebaikannya.
3) Ia menjadi gudang segala keajaiban dunia
4) Ia memberi kesempurnaan kepada umatnya
5) Disebut pula dewa Wisnu yang memberikan kebahagiaan kepada umatnya.
6) Lingga tersebut didirikan di tanah suci Kunjarakunja
7) Di pulau Jawa yang masyhur, ada raja Sanna yang dicintai rakyatnya
8) Setelah raja Sanna wafat, negaranya menjadi kacau
9) Penggantinya ialah Sri Sanjaya yang dihormati seperti Sri Rama
10) Ia anak Sannaha, sudara perempuan dari Sanna.
(lihat Poerbatjaraka: Riwajat Indonesia I, 1952, hlm. 50 – 55)

Uraian prasasti Canggal (732 M) tak berbeda dengan paparan Carita Parahyangan tentang raja Senna atau Sanna. Di dalam naskah ini ada paparan bahwa raja Sanjaya pergi berperang dan mengalahkan musuh-musuhnya di Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus dan Cina. Sesudah perang, Sanjaya kembali ke Galuh lagi. Nama-nama daerah di Jawa Tengah yang disebut dalam naskah tersebut adalah Keling dan Kahuripan. Tepat atau tidaknya pernyataan tersebut harus dikaji lebih dalam. Namun ada tanda-tanda bahwa saat itu banyak orang asing berada di Jawa; mereka adalah orang Cina, Melayu, Kemir dan Keling. Indikasi ini menunjukkan bahwa pergaulan internasional telah terjadi di Jaman Sanjaya. Bahwa kekuasaan Sanjaya sampai ke wilayah Batang atau daerah sekitarnya (Kamulan dan Keling) adalah hal yang wajar.
Di luar Carita Parahyangan, ada beberapa naskah Sunda seperti Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tjirebon, Prabu Siliwangi dll. Namun demikian sumbangannya bagi pencerahan sejarah Jawa Tengah umumnya atau Pekalongan dan Batang khususnya, belum ada.







Berita Asing

Berita asing meliputi kronik dari Cina, catatan Ptolemaius, Pigafetta dll.

I. Kronik Cina

Kronik Cina tidak dengan sendirinya berhubungan langsung dengan sejarah Pekalongan. Kronik Cina ini berupa catatan administrasi negeri Cina dan catatan perjalanan para pedagang atau musafir Cina yang melintasi dan atau menyinggahi wilayah-wilayah Indonesia. Paparan ini lebih berupa pemahaman agar fokus perhatian tidak khusus kepada Pekalongan atau Jawa Tengah saja. Sejarah masa silam harus dipahami sebagai perjalanan bangsa Indonesia yang unsur-unsurnya mencakup daerah-daerah yang bersinggungan dengan bagian dari perjalanan sejarah dunia.
Kronik Cina antara lain dimuat di dalam kitab Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources yang disusun oleh W.P. Groeneveldt dan diterbitkan oleh C.V. Bhatara tahun 1960. Kitab ini berisikan kronik sejarah Cina yang berkaitan dengan Indonesia dan Malaysia. Sumber-sumber Cina itu ditulis dengan aksara Cina dan bahasa Cina. Groeneveldt merangkumnya dalam bahasa Inggris dan menyusunnya secara kronologis dan menempatkan Pulau Jawa pada halaman 6 s/d 58. Namun demikian tidak seluruh sumber Cina ini berkaitan langsung dengan Jawa. Paparannya antara lain seperti di bawah ini.

Perjalanan Fa-hien dan I-tsing

Disebutkan ada perjalanan pendeta Fa-hien dari Cina ke India pada tahun 400 M. Ia pulang ke Cina lewat Ceylon dan terdampar di Pulau Jawa pada tahun 414 M tetapi akhirnya selamat tiba di Cina. Dalam catatan Fa-hien disebutkan bahwa banyak orang Romawi dan Persia berdagang hingga ke Cina (lihat Groeneveldt, 1960: 6-9).
Isi catatan Fa-hien tentang Jawa atau Indonesia hanya sedikit, sebaliknya pendeta I-tsing memiliki catatan lebih lengkap. Dalam perjalanan dari Cina ke India pergi-pulang yang memakan waktu lama (671 – 695 M), ia selalu singgah di Sriwijaya selama beberapa tahun. Catatan perjalanannya dihimpun oleh J. Takakusu dan E. Chavannes.

Sejarah Dinasti Sung (420-478 M) buku ke- 97

Isinya tentang surat dari raja Dja-va-da kepada kaisar Cina yang menyatakan kesetiaannya.

Sejarah Dinasti Liang (502-556 M) buku ke-54

Buku ini menyebut tentang penduduk dan raja dari Lang-ga. Nama ini belum pasti ada di Jawa.

Sejarah Dinasti T’ang (618-906 M) buku ke- 197

Buku ini menyebut Ka-ling berada di timur Sumatera dan di sebelah barat Bali. Penduduk Ka-ling sudah mengenal tulisan. Dipaparkan pula tentang rumah penduduk berpagar kayu, ada rumah kayu bertingkat beratap daun palem. Raja duduk di dalamnya di atas kursi dari gading. Semua orang makan tanpa sendok.

Sejarah Baru Dinasti T’ang (618-906 M) buku ke-222 bagian 2

Paparan tentang Ka-ling lebih detil hingga kepada gadis berpenyakit. Keturunan raja yang bernama Ki-yen memindahkan kerajaannya ke arah timur di kota Pa-lu-ka-si. Dalam pemerintahan ada 32 pejabat tinggi. Raja Jawa ini juga mengirim upeti kepada kaisar Cina. Pada tahun 674 M penduduk mengangkat raja perempuan bernama Sima. Ratu ini memerintah dengan jujur, keras dan bijak.

Sejarah Dinasti Sung II (960-1279 M) buku ke-489

Di dalamnya ada paparan tentang lokasi Jawa. Dalam perekonomian diterapkan pajak hasil bumi sebesar 10 % tetapi pajak untuk padi sebesar satu ch’ien yaitu 0,10 tael emas untuk setiap 2,2 pikul. Hasil buminya beragam kecuali teh. Dalam pemerintahan ada 1000 pejabat rendahan. Masyarakat mengenal alat musik tiup, drum dan sejenis kecapi. Perempuan berambut panjang dan menutup badannya dari dada hingga ke bawah lutut. Jika ada orang sakit, mereka tak diobati tetapi berdoa memohon pertolongan kepada dewa dan Budha. Di tahun 992 M, raja Jawa ini mengirim utusan ke Cina. Pada tahun 1129 M raja Jawa berikutnya juga mengirim utusan ke Cina.
Paparan kronik Cina sesudah abad XIII M tidak lagi berkaitan dengan wilayah Jawa Tengah. Untuk wilayah Pulau Sumatera, khususnya Kerajaan Sriwijaya, ada catatan perjalanan pendeta I-tsing dari Cina ke India dan sebaliknya dimana ia selalu singgah di Sriwijaya; hal ini sangatlah penting. Catatan I-tsing ini dihimpun oleh Takakakusu dan Chavannes.

Sejarah Dinasti Ming (1368 – 1643 M) buku ke- 324

Laksamana Cheng-Ho seorang Cina muslim yang diutus Kaisar Cina ke negeri Barat dan pada tahun 1407 M Cheng-Hoo kembali menuju ke Cina. Dalam rangka islamisasi ia mendarat di Jawa pada sekitar tahun 1413 M. Dalam lawatannya ia membawa seorang muslim Cina lain bernama Ma-huan ia mencatat dan melaporkan daerah-daerah yang sudah beragama Islam, mulai dari daerah Aceh, Palembang, hingga ke daerah Jawa Timur. Ma-huan melaporkan bahwa banyak orang muslim tinggal di daerah Gresik pada sekitar tahun 1416 M (lihat Marwati D., ibid, jilid III, 1993, hlm. 5 dan 154).

II. Sejarah Geografi Yunani

Seorang Yuinani bernama Claudius Ptolemaeus menulis buku Geographikè Hyphègèsis di Iskandariah pada abad ke-2 M. Ia menggambar lokasi daerah-daerah di Timur Jauh, antara lain nama Argyré yang terletak di ujung barat Pulau Iabadiou. Kata Argyré berarti perak, mungkin dimaksudkan kota Merak kuna. Adapun kata Iabadiou adalah padanan kata Sansekerta: Yawadwipa, artinya pulau jelai. Para ahli berpendapat bahwa nama ini sebutan untuk Pulau Jawa (Lihat Marwati D. Poeponegoro dkk: Sejarah Nasional Indonesia, jilid II, hlm. 37. Balai Pustaka, 1993).

III. Berita Portugis

Tomé Pires menuliskan perjalanannya ke Indonesia tahun 1512 -1515 M dalam buku Suma Oriental. Ia melaporkan keadaan Aceh di pantai timur hingga ke Palembang dimana banyak orang beragama Islam. Ia juga melaporkan keadaan kerajaan Sunda yang ibukotanya berada di selatan Sunda Kalapa. Ia menuliskan keadaan tentang Gresik hingga ke Tidore, Ternate dan pulau-pulau di Maluku. Laporan Tomé Pires ditunjang oleh Antonio Galvao yang mengunjungi Maluku tahun 1540-1560 M. Arsip-arsip laporan itu disimpan di Archipo General de Indie Sevilla, Italy, 1970, 1971, hlm. 83, 85, catatan 14, (Lihat juga catatan Armando Cortesao, Cartografia e Cartografos Portuguese dos Seculos XV e XVI, Edicao da “Serra Nova”, Lisboa, 1935). Selain itu ada ahli bahasa Portugis yang berlayar hingga ke Maluku dan Filipina bernama Antonio Pigafetta (1520-1522 M); ia melaporkan tentang kebahasaan, antara lain tentang bahasa Melayu dan bahasa Tagalog (lihat A.Pigafetta: Premier Voyage Autour du Monde, Paris, 1801).




Sumber Artefak

Artefak menjadi sumber sejarah yang bisu. Barangnya ada tetapi tidak dapat mengisahkan dirinya sendiri. Sebagai sumber sejarah maka artefak harus diberi tafsir oleh pakar di bidang arkeologi. Tafsir dari artefak inilah yang menjadi sumber sejarah. Misalnya ada arca Siwa yang ciri ikonografinya sudah standar. Siwa adalah dewa perusak pada agama Hindu. Siwa mempunyai kerabat seperti Brahma, Wisnu, Durga, Ganesa, Agastya, Nandi, lingga-yoni, dll. Jadi kalau salah satu ikon ini ada maka di sana ada masyarakat pendukung agama Hindu..
Artefak di bawah ini akan menunjukkan bagaimana corak agama jaman itu yang dianut oleh masyarakat Pekalongan khususnya dan oleh masyarakat pantai utara Jawa Tengah pada umumnya. Data artefak dan lain-lain aktivitas di bawah ini merupakan hasil penelitian dan kegiatan pada tahun 1977.

Di Rumah Residen Pekalongan

Di sini disimpan arca Durga, Siwa, Wisnu, dan Agastya

Di Kantor Karesidenan Pekalongan

Di sini disimpan dua buah makara, arca Wisnu, Siwa, dua Ganesa dan satu Nandiswara.

Kecamatan Doro (Di Kantor Koramil)

Di sini disimpan arca Durga Mahisasuramardhini dan relief laki-laki.

Di Desa Kaso

Di dekat rumah penduduk dekat sungai ada dua artefak jaladwara dan sebuah lingga.

Di Desa Kaso Tengah

Di desa ini oleh Tim ditemukan sebuah torso (badan) dari arca Mahakala. Fragmen arca ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk disimpan.

Di Dukuh Bandaraga, Desa Sawangan

Di tempat ini ditemukan sebuah lingga tanpa lapik, keadaannya utuh tetapi terbenam di tengah sawah; ukuran tinggi seluruhnya 59 cm.

Kecamatan Kajen

Desa Linggo Asri di Kecamatan Kajen dihuni oleh komunitas Hindu Budha (75 %). Di tengah desa ada pura kecil dari lempengan batu yang disusun. Konon tumbuhnya agama Hindu Budha di tempat ini mulai tahun 1954. Di dekat pura ada bangunan wantilan sebagai kelengkapan dari komplek pura.

Kecamatan Petungkriyono (Desa Petungkriyono)

Letaknya 1050 m di atas muka laut dan jauh dari Kajen. Menurut ROD 1914 di Kantor Kecamatan ada 11 buah arca tetapi saat Tim datang (1977) semua arca tidak ada. Arca-arca itu sudah dibuang ke tepi jalan. Tim akhirnya menemukan 6 buah arca yaitu lingga, Ganesa, Nandi dan fragmen arca.




Situs Candi Gedong (di utara sungai)

Di sini ada sitinggil, terdiri atas lempengan-lempengan batu hitam yang disusun menyerupai kotak dengan tutup di atasnya. Rakyat menyebut situs ini sebagai “Pesalatan Sunan Bagus” dari Cirebon. Bangunan ini membujur arah barat daya, pangjang 158 cm, lebar 70 cm.
Situs arca Ganesa, arca nenek moyang dan sebuah lumpang, lokasinya di selatan sungai.


Situs Sapta Petala, Dukuh Tlagapakis Desa Tlagapakis

Di sini ditemukan sebuah Yoni dengan lapik kura-kura dan dua arca Ganesa.

Kecamatan Talun
Di Halaman Kantor Perkebunan Jolotigo

ditemukan beberapa arca Ganesa dan Yoni.

Di Gudang Kantor Perkebunan

Di sini disimpan sebuah arca Ganesa bentuknya berupa arca perwujudan nenek moyang. Keadaannya masih baik; badannya dibuat besar tetapi anggota badannya dibuat kecil
(Bahan dari: BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI No. 9, Survai di Kabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P & K, Tahun 1977).



Catatan
Temuan artefak di Kabupaten Pekalongan tersebut di atas menunjukkan bahwa semunya bercorak agama Hindu. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Pekalongan kuna menganut agama Hindu. Artefak dari agama Budha tidak ada atau belum ditemukan. Hal ini dapat dipahami karena pusat agama Hindu saat itu (awal abad ke-9 M) ada di pegunungan Dieng dan pengaruhnya mencapai wilayah Pekalongan. Adapun agama Budha baru berkembang pada pertengahan abad ke-9 M, yakni dengan pendirian Candi Borobudur, tetapi pengaruh agama Budha ini terutama menyebar ke arah timur.






















DAFTAR SINGKATAN

AP Asian Perspective
BB Bahasa dan Budaya
BEFEO Bulletin de l’École Française d’Extrême-Orient
BKI Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van het Koninklijk Instituut
FBG Feestbundel Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen bij gelegenheid van zijn 150 jarig bestaan 1778 – 1928. Weltevreden; G. kolf & Co., 1929, 2 jilid.
INI Inscripties van Nederlandsch-Indië, Afl. 1. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen
JA Journal Asiatique
JBG Jaarboek van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen
JGIS Journal of the Greater India Society
JMBRAS Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
JOSA Journal of the Oriental Society of Australia
JRASMB Journal of the Royal Asiatic Society of the Malayan Branch
JRASSB Journal of the Royal Asiatic Society of the Singapore Branch
JSS Journal of the Siam Society
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
K.O. Kawi Oorkonden in Facsimile, met Inleiding en Transcriptie, 2 jilid. Leiden: E.J. Brill.
LKIPN-II Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Kedua, 1962, VI, Seksi D (Seksi Sastra dan Budaya), Djakarta: Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1965
Mān. Mānawadharmaśāstra
MISI Majalah Ilmu Ilmu Sastra Indonesia
MKAWL Mededelingen der Koninklijk Academie van Wetenschappen, Afdeling Letterkunde
NBG Notulen van de Directievergaderingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
NION Nederlandsch-Indië Oud en Nieuw
OJO Oud-Javaansch Oorkonden . Nagelaten Transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door N.J. Krom. Batavia: Albrecht & Co., ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1913, (VBG, IX)
OV Oudheidkundig Verslag van de Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië
POD Publicatie van de Oudheidkundige Dienst. Batavia, 1925
RK Rāmāyana Kakawin
ROC Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indië voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera
ROD Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië
SWAR Swarajambu
TAG Tijdschrif van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap
TBG Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaaasch Genootschap van Kunsten en Weteschappen
VBG Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
VG Verspreide Geschriften, 15 jilid. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1913- 1928
VKI Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde.


































KEPUSTAKAAN

Abdullah, Taufik
1985 Ilmu Sejarah dan Historiografi. Diredaksi oleh Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia

Astra, I Gde Semadi
1997 Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII – XIII, disertasi Universitas Gadjah Mada

Atmodjo, Soekarto K.
1979 Struktur Masyarakat Jawa Kuna pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan , Universitas Gadjah Mada

Ayatrohaedi dkk.
1986 Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Barnett, L.D.
1964 Antiquities of India. London: Lee and Warner.

Berg, C.C.
1930 “Ranggalawe, Middlejavaansche Historische Roman”, Bibliotheca Javanica, I. Weltevreden
1931 Kidung Harşa-Wijaya”, BKI, 88, hlm. 4-238

Boechari
1965 Rakryān Mahāmantri i Hino Çrī Sanggrāmawijayā Dharmaprasādot--tunggadewi, LKIPN-II, VI Seksi D (Seksi Sastra dan Budaya). Djakarta: Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, p. 54-84
1966 “Preliminary Report on the Discovery of an Old-Malay Inscription at Sodjomerto”. MISI, III (2 & 3), p. 241-251. Djakarta
1967 “Śrī Mahārāja Mapañji Garasakan: A new Evidence on the Problem of Airlangga’s Partition of His Kingdom”, MISI, IV (1), hlm. 1-26
1976 “Jayapatra. Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuna”, Simposium Sejarah Hukum, hlm. 79-88. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
1980 “The Inscription of Mula Maluruŋ: A New Evidence on the Historicity of Ken Aŋrok”, Majalah Arkeologi, III (1-2), hlm. 55-70
1985/86 Prasasti koleksi Museum Nasional, I, Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional



Bosch, F.D.K.
1925 Een oorkonde van het groot klooster van Nalanda, TBG. LXV, hlm. 509-588

Brandes, J.L.A.
1897 Pararaton (Ken Arok) op hert boek der koningen van Toemapel en van Majapahit, VBG, XLIX, Albrecht & Co. Batavia.
1913 “Oud-Javaansche Oorkonden” , Nagelaten transcriptie van wijlen Dr. J.L.A, Brandes, uitgegeven door N.J. Krom, VBG, LX

Casparis, J.G. de
1950 Inscripties uit de Çaildendra-tijd. (Prasasti Indonesia I). Bandung: Masa Baru
1956 Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century, A.D. (Prasasti Indonesia II). Bandung: Masa Baru.

Chavannes, Edouard
1894 Memoire composé à l’époque de grande dynastie T’ang sur les religieux eminents qui allerent chercher le loi dans les pays d’occident, par I-tsing. Paris.

Christie, Jan Wisseman
2002 Register of the Inscriptions of Java from 732 t0 1060 A.D. Consultation Draft, The University of Hull, United Kingdom (unpublished)

Damais. Louis Charles
1952 “Étude d’Épigraphie Indonésienne: III. : Liste des Principales Inscriptions Datées d l’Indonesie”, BEFEO, XLVJ, hlm. 1-105
1955 Étude d’Épigraphie Indonésienne: IV. Discussion de la date des inscrip[tions” BEFEO, XLVII, hlm. 7-290

Djafar, Hasan
1991 “Prasasti Prasasti Dari masa Kerajaan Kerajaan Sunda”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor 11-13 Nopember 1991. (belum terbit)

Flines, E.W. Orsoy de
1949 “Hasin – Medang – Kuwu – Lang-pi-ya”, TBG, LXXXIII, hlm. 424-426

Geldern, Von R. Heine
1956 Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noor, cetakan ke-2, Djakarta


Goris, Roelof
1054 Prasasti Bali I & II. Bandung: N.


Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia & Malaya compiled from Chinese Sources, Djakarta: C.V. Bhratara

Hadiwijono, Harun
1975 Agama Hindu dan Buddha. Jakarta : BPK Gunung Mulia

Haryono, Timbul
1994 Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X. Disertasi Universitas Gadjah Mada.

Jones, Antoinette Marie Barett
1984 Tenth Century Java from the Inscriptions. Dordrecht: Foris Publication

Jonker, J.C.G.
1885 Een Oud-Javaansche Wetboek, vergeleken met Indische Rechtsbronnen (Akademisch Proefschrift). Leiden: E.J. Brill.

Kern, H.
1917 Inscripties van den Indischen Archipel. VG.VII. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff

Krom, N,J,
1919 De Koperplaaten van Batoer”, TBG, LVII, hlm. 161-166.
1920 Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst, Jilid I, ‘s-Gravenhage- Martinus Nijhoff

MacDonnel, A.A.
1954 A Practical Sanskrit Dictionary. Oxford University Press

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto
1993 Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, edisi ke-4

Nakada, Kozo
1982 An Inventory of The Dated Inscriptions in Java. Tokyo: The Toyo Bunko

Noorduyn, J.
1962 “Over het eerste gedeelte van de Oud-Sunda Carita Parahyangan”, BKI, 118, hlm. 374-383

Nurhadi dkk.
1979 Kamus Arkeologi Indonesia, 2, Jakarta


Poerbatjaraka, R.M.Ng.
1921 De Batoe Toelis nabij Buitenzorg, TBG, LIII, hlm. 380-401.

1952 Riwajat Indonesia, I, 1952. Djakarta: Jajasan Pembangunan
1958 Çriwijaya, Çailendra dan Sañjayavamça. Seri terjemahan KITLV-LIPI, no. 50, 1975, Jakarta: Bhratara

Riboet Darmosutopo
1997 Hubungan Tanah Sīma Dengan Bangunan Keagamaan di Jawa Pada Abad IX-X TU. Disertasi di Universitas Gadjah Mada

Rowland, Benjamin
1970 The Art and Architecture of India: Buddhist – Hindu – Jain. Penguin Books Ltd., 1970

Sastri, Nilakanta
1955 The Colas, Madras

Sedyawati, Edi
2007 Budaya Indonesia. .Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada

Soekmono, R.
1955 Sedjarah Kebudajaan Indonesia, 3 jilid, Djakarta: Penerbit Nasional C.V. Trikarya


Stuart, A.B. Cohen
1875 Kawi Oorkonden in Facsimile. Leiden: E.J. Brill

Stutterheim, W.F.
1927 “Een belangrijke Oorkonde uit de Kedoe”, TBG, LXVII, hlm. 173-216
1933 “Iets over raka en rakarayān naar aanleiding van Sindoks dynastieke positie”, TBG, LXXIII, hlm. 159- 171.

Suhadi, Machi & M.M. Sukarto K. Atmodjo
1986 Laporan Penelitian Epigrafi Jawa Tengah, dalam BPA, no. 37. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.

Takakusu, J.
1896 A Record of the Buddhist Religion as practiced in India and the Malay Archipelago (671-695) by I-tsing, Oxford.

Utomo, Bambang Budi
2007 Prasasti Prasasti Sumatera. Jakarta: Puslitbang Arkeologi Nasional

Wales, H.G. Quaritch
1948 “Culture Change in Greater India”, Journal of Royal Asiatic Society, 2-32.

Wheeler, R.E. Mortimer
1953 The Indus Civilization. Cambridge.

Williams, Monier
1899 A Sanskrit English Dictionay. Oxford At The Clarendon Press.

Wolters, O.W.
1970 The Fall of Srivijaya in Malay History, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

1 komentar: