Minggu, 19 Juni 2011

BAB XVIII SEBUAH MOZAIK SEJARAH DARI MASA KE MASA

Seperti warna-warni corak batiknya, Pekalongan bagaikan sebuah Mozaik Lukisan yang terbingkai dalam fase-fase kesejarahan terjadi pada bentangan waktu yang sangat panjang. Pertama, dapat ditengarai adanya pemukiman awal yang ditandai dengan peninggalan pra Sejarah yang terdapat di wilayah Pegunungan seperti ditepi sungai Rogoselo kecamatan Doro. Peninggalan tersebut merupakan tinggalan bahwa di Rogoselo sudah ada suatu pemukiman. Kemudian peninggalan pra Sejarah yang terdapat di desa Karanggondang merupakan peninggalan masa megalitik yang menandai suatu kehidupan masyarakat yang menuju kepada masa Hinda-Budha.
Kemudian peninggalan yang terdapat di Linggoasri merupakan tinggalan masa peralihan dari masa pra Sejarah (megalitik) menuju Hindu-Budha yang disebut sebagai masa pra-Hindu. Peniggalan ttersebut menunjukkan adanya penduduk yang sudah berjalan ribuan tahun mendiami daerah muara sungai pada tepian pantai Purba Pekalongan yang lima ribu tahun lalu telah meninggalkan warisan budaya masa lalu.
Aktivitas budaya masyarakat Pekalongan pada masa awal dimulai dari tempat-tempat tersebut dan berkembang sejak masa pra-sejarah, kemudian berkembang ke masa Hindu Budha dan selanjutnya memasuki masa Islam bahkan sampai masa kolonial. Peninggalan arkeologi baik pra sejarah masa Hindu maupun Islam sebagai tinggalan budaya memiliki fungsi ganda yang mengandung sifat Multidimensi dan Multisektoral. Dari peninggala-peninggalan tersebut kegunaan masa kini merupakan bangunan Cagar budaya..
Pekalongan adalah sebuah nama yang tercatat sebagai suatu Pelabuhan Niaga di Jawa pada masa Kuno. Sebelumnya nama Pekalongan menjadi pembahasan para ahli dalam menetukan toponimi terhadap pelabuhan di Jawa pada masa abad XI seperti apa yang disebut oleh cina sebagai Poe-Chua-Lung.. Sumber Cina pada abad XII telah menyebut Poe-Chua-Lung adalah suatu pelabuhan di Che- Poe (Jawa). Para ahli sepakat bahwa Poe-Chua-Lung adalah Pekalongan. Dalam melukiskan Pekalongan sebagai pelabuhan kuno, oleh Chou-Ku-Fei (1235) ditandai dengan lima puncak gunung yang berada di pulau Jawa. Disamping sebagai pelabuhan dengan adanya peninggalan kuno Hindu-Budha memberikan petunjuk bahwa pada masa itu didesa-desa Pekalongan telah ada suatu kehidupan masyarakat yang teratur.
Dalam gambaran pemukiman pada abad XIV paling tidak telah mengalami perubahan, terutama pada masa perkembangan agama Hindu ke Islam dimana Pekalongan menjadi suatu pemukiman baru setelah terjadinya sedimentasi dari pantai purba ke pantai baru.
Sumber-sumber dari Cina abad XIV pada Dinasti Ming seperti pada ekspedisi Cheng-Ho ke Jawa pada tahun 1450 telah mencatat tentang Pekalongan ketika armaddanya singgah di Pekalongan. Dimana nama Pekalongan oleh mereka disebut sebagai Wu-Chueh. Catatan H Ma-Huan sekertaris Cheng-Ho didalam Yang-Yai-Sheng-Lan (pemandangan yang indah-indah) . Disebutkan bahwa Pekalongan dihuni oleh masyarakat Cina Pribumi dan Arab.
Datangnya agama Islam di pulau Jawa yang ditandai munculnya kota-kota pantai dan kerajaan Islam seperti Demak, Cirebon,Banten dan Mataram Yogyakarta. Pekalongan menduduki posisi sangat penting, sejajar dengan kota-kota lain di jawa bagian Utara sebagai pintu gerbang perdagangan antar pulau yang oleh kerajaan Mataram dijadikan salah satu Pangkalan Pertahanan Militer. Pada masa abad XVI kepentingan Mataram terhadap Pekalongan yang disebut sebagai wilayah “Pesisir Kilen”.
Pada tahun 1622 dan 1623 Sultan Agung menetapkan Adipati Manduroredjo dan Pangeran Upasanta ,menjadi penguasa Pekalongan. Sumber-sumber Mataram tak menyebutkan tempat kedudukannya dan kapan mereka berada di Pekalongan. Akan tetapi berita meninggalnya pada saat perang melawan Batavia diberitakan bahwa mereka gugur dalam pertempuran yang mana Adipati Manduroredjo di makamkan di Kendal, sedangkan Adipati Upasanta dimakamkan di Imogiri tempat pemakaman raja-raja Mataram.
Kedudukan Pekalongan yang merupakan bagian dari “Jobonegoro” pada kekuasaan Sultan Agung memberikan petunjuk bahwa Pekalongan menjadi kesatuan wilayah administrasi dibawah kekuasaan Adipati Manduroredjo dan Adipati Upasanta , yang berlangsung hanya sampai perang Batavia (1629). Dan selanjutnya Pekalongan masih dibawah Mataram adanya pengangkatan penguasa Pekalongan yang dilakukan oleh Amangkurat I terhadap Raden Ngabei Singawangsa menjadi Adipati Pekalongan yang kemudian wafat terbunuh pada tahun1677.
Kematian Adipati Ngabei Singowongso hamper tidak diketahui oleh catatan sejarah. Kematiannya apakah dibunuh lantaran “balelo” terhadap kerajaan karena adanya pembrontakan Trunodjoyo yang saat itu telah menguasai wilayah pantai Utara sampai Cirebon. Atau sebaliknya Adipati Pekalongan Ngabei Singowongso telah menjadi korban pembunuhan pasukan pembrontak Trunodjoyo.
Terjadinya perang suksessi dikalangan keturunan raja-raja Mataram. Sejak runtuhnya kekuasaan Amangkurat I oleh Trunodjoyo hingga meninggalnya di Tegalarum menjadikan untuk sementara kekuasaan di Pekalongan kosong. Namun ketika VOC mengangkat Sunan Pakubuwono I menjadi penguasa Mataram pada tahun (1703-1719) Sunan Pakubuwono I telah mengangkat Adipati Djayadiningrat menjadi penguasa di Pekalongan. Pada tahun 1743 daerah pesisir sepenuhnya diserahkan oleh Mataram kepada Belanda. Semula kekuasaan Belanda dipesisir utara hanya terbatas pada penguasaan tanah yang dijadikan lahan perkebunan dan pertanian. Namun ketika Pakubuwono I dijadikan raja Mataram oleh VOC hamper seluruh pelabuhan-pelabuhan pantai jawa dan wewenang pengangkatan para penguasa daerah sepenuhnya ditangan VOC.
Oleh karena itupada tahun 1741 VOC telah mengangkat Tan-Kwie-Djan menjadi penguasa Pekalongan. Pada tahun itu Gubernur Jendral VOC dijabat oleh Van-Imoff. Dan selanjutnya sampai masa pra kemerdekaan hampir penguasa-penguasa yang menjabat sebagai bupati Pekalongan telah diangkat oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Bupati-bupati yang diangkat setelah Tan-Kwie-Djan adalah Raden Tumenggung Wirio Adinegoro (1823) . Kemudian pada tahun1825 dua tahun setelah Wirio Adinegoro menjabat telah digantikan oleh Adipati Wirijo Adinegoro.. Ada suatu catatan mengenai prestasi Bupati Adipati Wirijo Adinegoro selama menjabat ia telah membangun masjid Jami’ (besar). Yang dimulai pada hari Selasa Kliwon tanggal 20 Desember tahun 1825. Kemudian pada tahun 1933 masjid tersebut telah mengalami pemugaran dengan mendirikan menara. Kemudian pada tanggal 16 Oktober tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda telah mengangkat Raden Tumenggung Arjo Wirjo Di Negoro. Untuk menjadi Bupati Pekalongan..Kemudian secara berturut-turut dari tahun 1856-1878 telah menurunkan penguasa-penguasa di Pekalongan. Setelah Raden Tumenggung Arjo Wirijo Di Negoro berturut-turut pada tahun 1856 telah dijabat oleh Tumenggung Ario Wirio Dhi Negoro, pada tanggal 20 Januari tahun 1872 telah digantikan oleh Raden Tumenggung Ario Atmodjo Negoro. Dan pada tanggal 25 Juni 1878 Raden Tumenggung Ario Atmodjo Negoro digantikan oleh Raden Adipati Notodirdjo (1879-1920).
Pada tanggal 31 Maret 1879 sampai 1 Maret 1880, Raden Adipati Notodirdjo telah membangun gedung Kabupaten Pekalongan yang ditandai pada lempengan batu marmer putih yang dipasang ditembok gedung. Menurut sumber lisan disebutkan bahwa pohon beringin di Alun-alun Pekalongan tiap-tiap pohonnya diberi nama Kawedanan yang mengirim bibitnya.

Perubahan Struktur Pemerintahan (1879-1920)

Pada kekuasaan Raden Tumenggung Ario Surjo yang diangkat menjadi penguasa Pekalongan menggantikan Raden Adipati Notodirdjo (tanggal 10 Maret 1924) Struktur administrasi pemerintah telah mengalami perubahan. Adapun wilayah kabupaten disebut Regentschap. Sedangkan untuk kawedanan disebut Gewest. Gewest di Jawa Tengah terbagi menjadi:
a. Semarang Gewest yang meliputi Regentschap (Kabupaten) Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati , Jepara Grobogan.
b. Rembang Gewest yang meliputi Regentschap Rembang, Bloro, Tuban dan Bojonegoro.
c. Banyumas Gewest yang meliputi Regentschap Banjarnegara dan Purbalingga.
d. Kedu Gewest yang meliputi Regentschap Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworedjo, Kudoardjo, Kebumen dan Karanganyar.
e. Pekalongan Gewest yang meliputi Regentscap Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Pada tahun 1934 diadakan penggabungan yang terdiri dari beberapa kabupaten yaitu:
a. Kabupaten Batang digabung dengan kabupaten Pekalongan.
b. Kabupaten Banyumas digabung dengan kabupaten Purwokerto.
c. Kabupaten Kutoardjo digabung dengan kabupaten Purworedjo
d. Kabupaten Karanganyar digabung dengan kabupaten Kebumen

Kemudian pada masa kemerdekaaan Kabupaten Pekalongan dijabat oleh Bupati M. Soerodjo (1950 – 1957).

NAMA-NAMA BUPATI PEKALONGAN PADA MASA KEMERDEKAAN – ORDE BARU – REFORMASI

NO. NAMA PEJABAT/ BUPATI MASA JABATAN
1. M. Soerodjo 1950 – 1957
2. Kisworo 1957 – 1962
3. R.M Desman 1962 – 1967
4. R. Soetardjo 1967 – 1972
5. R. M Raharjono Probodirdjo 1972 – 1975
6. Karsono 1975 – 1981
7. Soepardi 1981 – 1991
8. Khairul Aini 1991 – 1996
9. Harsono 1996 – 2001
10. A. Antono 2001 – 2006
11. Siti Qomariyah, MA 2006 – 2011
12. Drs. A Antono, M.Si 2011 - 2016



Pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Pekalongan Di Kajen

Pada masa kemerdekaan selain prioritas pembangunan oleh pemerintah kabupaten Pekalongan diarahkan pada pengembangan keagamaan, juga adanya pemindahan ibukota pemerintahan kabupaten ke Kajen. Pada tahun 1964, saat Batang bergabung dengan Pekalongan, dan pada tahun 1966 Batang kembali memisahkan diri dan Batang menjadi Kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Batang. Pada tahun 1988, waktu bupati Pekalongan dijabat oleh Bupati Soepardi, atas keputusan Menteri Dalam Negri, pusat pemerintahan Kabupaten yang sebelumnya berada di Pekalongan Kota, harus dipindahkan ke luar daerah/ kota. Untuk itu pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan telah menunjuk kecamatan Kajen sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten.
Pilihan Kajen sebagai pusat pemerintahan kabupaten berdasarkan hasil survey konsultan yang ditunjuk dan memilih Kajen sebagai lokasi yang tepat diantara kecamatan Wiradesa dan Kedungwuni. Pemindahan ibukota pemerintahan kabupaten dari kota Pekalongan ke Kajen merujuk surat keputusan Mendagri No. 48 tahun 1986, yang kemudian berdasarkan SK Presiden Tahun 1988, Pemerintahan Kabupaten Pekalongan harus dipindah ke Kajen. Untuk itu dalam memilih lokasi sebagai pelengkapan sarana pembangunan fisik telah dibentuk suatu tim pembebasan tanah yang dikepalai oleh H. Imam Suyudi dan wakilnya Saiman. Gubernur Jawa Tengah, yaitu Soepardjo Rustam yang pada waktu itu menjabat Menteri Dalam Negeri telah setuju menunjuk Kajen sebagai pusat/ ibukota pemerintahan Kabupaten Pekalongan yang baru. Di dalam pelaksanaan pembebasan tanah dengan menggunakan anggaran dari pusat sebesar Rp. 80.000.000,- telah melakukan pembelian tanah milik warga. Pada tahap pertama pembelian tanah milik Peho (Siswo Siswanto), yang dibeli kurang lebih 2000 m2 yang tanah tersebut diperuntukkan sebagai taman barat pendopo. Kemudian pembelian tanah milik Ny. Kastuti seluas ± 4380 m2 dan 2740 m2 dengan patok No. 421 – D 11, yang sebagian tanah tersebut digunakan untuk alun-alun. Pada lokasi untuk bangunan pendopo telah dibebaskan tanah milik Ny. Sarniah seluas 1670 m2 dengan No. C 82. Dari tanah seluas 37 hektar yang berhasil dibebaskan oleh tim sebagian berada di Karang Anyar. Menurut Bapak Saiman, selama pembebasan tanah masyarakat oleh pemda kabupaten Pekalongan yang akan digunakan sebagi pusat Pemerintahan tidak mendapatkan perosalan di dalam pelaksanaannya.






















Daftar Kepustakaan

A.H. Hall. Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS No. 33 Part 2 1960, h. 32-32.
Anwairi, Hikayat Al-Arab, Wisharoh Al-Tafaqoh wa Al-Irsyad, Cairo, 1955.
Art Sharif, Encyclopaedia of Islam, Aj. Wesink, (Eds) Vol. IV S-Z, Brittle Ltd.
Attas,
Muhammad Naquib, Ranairi and Wujudiyah of 17th Century, Aceh, Singapore, Monograph of the Malaysia Brans.
Aswentari, M. N Peristiwa Berdarah 3 Oktober 1945 Di Pekalongan, tidak dipublikasikan.
Becker Judith, Gamelan Stars, Tantris Islam, and Aesthetics in Central Java, Arizona University, 1993.
Brooki, Noah, The Story of Marcopolo, The Century Co. New York, 1920.
----------------- Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Kelestarian Pengembangan Budaya Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Yogyakarta, Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002.
De Graaf H.J., Awal Kebangkitan Mataram Seri Terjemahan Javanologi, Grafiti Press.
de Tom Pires Suma Oriental, en het tijdperk van godsdinastiovergang of java, BKI CVIII, 1952.
“Geschiedenis van Indonesie “, g.j. brill, 1949
Puncak Kekuasaan Mataram Sultan Agung, PT. Pustaka Grafiti Press, 1985
Groenveld WP, Notes of the Malay Archipelago and Malacca, Compiled Chinese Sources, UBG XXXIV, 1980.
----------------- Gema Kota Santri, Edisi No. 3, 2007

Karen, JHC,
Rosseri W.H., Siwa dan Buda, Jembatan, 1982.
Keon Damien, Dictionary of Buddhism, Oxford.
Lucas E. Anton Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Dalam Revolusi, Graffiti Press,1989
Tim Penyusun
Sejarah Wonosobo Laporan Penelitian Situs Makam Ketinggrin dan Candi Rejo. Oleh Tim Penyusun Sejarah Wonosobo.
------------------- Leran (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1975).
Mahyudin
Haji Yahya, Sejarah Orang Sayid, Pahang, Dewan Bahasa Kuala Lumpur.
Mulyana Slamet, Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi, Idayu, 1981.
Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University.
Sayid Alawi
Tahir Al-Hadad, Uqud Al-Almas, Op. Cel., pp, 82-87.
Sayid Muhammad
Salim Al-Atis Azis, Al-Mul wa Fath Al-Wisil, Malaysia Pres, Berkat, Singapura, 1974.
Sq. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Research Institute Ltd. Singapore, 1960, h. 94.
Schrieke, B Indonesian Sociology Study part II; Enrealm In Early Java Van Hove, 1959
Taruno Maryono, Babad Demak Syeik Meloyo Surakarta, 1980.
--------------------- Wawancara Dengan Para Tokoh, Pejuang dan Keagamaan oleh Tim Penulis Mozaik Sejarah Pekalongan
Zoetmulder,
PJ. (terjemahan Dick Hartoko),
Manunggaling Kawulo Gusti Phanteisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk, 1990.
-------------------- Babad Tanah Jawi, Salinan Meinsma Babad.
-------------------- Babad Banten, Salinan milik pak Gogo Sendjadiredjo Kaudjo – Serang thn 1206
-------------------- Babad Tjirebon; Uitgave Inhoudopgave en noten door wijlen, Dr J. L. A. Brandes met inleiding en Bij behorenden tekst Uit gegeven door Dr Rinkes V. B. G. 1914
-------------------- Serat Tjentini; Bataviaasch genootschapvan kunsten en wetwnschappen XXXIII 695 –I-II. Salinan.
-------------------- Babad Mataram Sultan Agung no. K.G.B.118 halaman, Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1969.
-------------------- Purwaka Tjaruban Nagari, salinan, naskah asli pada Pangeran Sulaiman Soelaningrat Kaprabonan Tjirebon 1720.
Purbatjaraka, Riwayat Indonesia I-II, Jakarta, 1962.
Pemerintah
Kabupaten
Pekalongan Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, 2001

Haan .F De, “de laaste der mardijkers B.K.I”, (afbeel-73 1917 pg 219-254).
Leur J.G Van, “Indonesian trade and society. Essays in Asia social and economie history”, The Hague – bandung 1955.
Sutarga
Moh. Amir, Prabu Siliwangi, Bandung 1965.
Atja, Tjerita Parahiangan, Yayasan Kebudayaan Nusalarang; Bandung 1968..
De Jonge
jhr mr. jkj, de opkomst van het nederlandssche in oost indie 1595-1610 eerst deu 1862 (MDCCL XII) gravenhage martinus nijhoff. Tweede deu MDCCLXX derde deel MDCCCLLXXII veierde deu MDCCLXIX.
---------------- Diponegoro, divisi 397.399.420.427.
---------------- Diponegoro Pangeran (putera Pakubuwono 134-8265)
Rijcloff
van goens, Ambassade naar den soesoehoenan mataram in 1651 tbg XVII 1927 af 1-2 pg 154-171.
---------------- Regering almanac van nederlandsch, India (1820-1850)



3 komentar:

  1. Adakah yg tau silsilah R.Adipati noto dirdjo 1879-1920...??dan adakah masih keturunannya ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beliau keturunan kyai Ngabehi Bustam Kertaboso Regent Semarang.

      Hapus
  2. Pak saya mau bertanya, tahun cetak dan percetakan buku ini apa?terimakasih

    BalasHapus