Minggu, 19 Juni 2011

BAB IX KERAJAAN KERAJAAN KUNA DI LUAR JAWA TENGAH

Sebagai latar belakang dan latar depan perlu dipaparkan secara singkat kerajaan-kerajaan kuna lain di luar Jawa Tengah agar supaya kita mendapatkan perbandingan di dalam melihat sejarah bangsa di masa silam. Ada kerajaan kuna yang tampil sebelum Masa Jawa Tengah tetapi ada yang sejaman dan ada pula yang muncul sesudah periode Jawa Tengah. Masa Jawa Tengah ini dikenal dengan istilah Jaman Mataram Kuna, dimulai pada abad ke-8 M hingga berakhirnya pemerintahan raja Sindok pada sekitar tahun 947 M.



Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berada di sekitar Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Tenggarong, Propinsi Kalimantan Timur. Eksistensi Kerajaan Kutai ditandai oleh kabutulisan pada 7 buah yupa (tugu tempat hewan kurban diikat). Aksaranya Palawa dari awal abad ke-5 M, bahasanya Sansekerta. Isinya menyebutkan Raja Mulawarman menyelenggarakan upacara keagamaan dan mempersembahkan 10.000 ekor lembu kepada para brahmana. Dalam silsilahnya disebutkan bahwa Raja pertama bernama Kundungga, raja ini mempunyai seorang anak bernama Aswawarman. Raja Aswawarman mempunyai 3 anak, seorang di antaranya bernama Mulawarman (lihat Poerbatjaraka, 1952). Prasasti Kutai yang asli disimpan di Museum Nasional Jakarta, duplikatnya disimpan di Museum Tenggarong, Kabupaten Tenggarong, Kalimantan Timur.

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya berpusat di sekitar kota Palembang. Prasasti Raja Sriwijaya ditemukan di Bangko (Jambi), di Kotakapur (Bangka), di Palas Pasemah (Lampung Selatan) dan selebihnya berada di sekitar kota Palembang. Aksaranya Palawa, bahasanya Melayu Kuna. Ada 8 buah prasasti dari raja Sriwijaya, yang terkenal ialah prasasti Kedukan Bukit tahun 605 Saka atau 683 M yang menyebutkan raja Sriwijaya bernama Sri Jayanasa melakukan siddhayatra, artinya perjalanan suci dari suatu tempat bernama Minanga Tamwan menuju ke Ma…… . Adapun prasasti Kotakapur (686 M) menyebut adanya ancaman kepada Bhumi Jawa jika tidak tunduk kepada Sriwijaya. Prasasti Talang Tuwo (684 M), menyebut pendirian sebuah taman bernama Sri Ksetra. Prasasti Telaga Batu berisi kutukan kepada pegawai raja dan rakyat yang berkhianat kepada raja (lihat Bambang Budi Utomo, Prasasti Prasasti Sumatera, Puslitbang Arkeologi Nasional, 2007; lihat juga de Casparis, Prasasti Indonesia II, 1956).
Kerajaan Sriwijaya berlangsung hingga abad ke-13 M melalui pasang surut kehidupan politik. Di tahun 1024 M, kerajaan Sriwijaya diserang oleh bala tentara dari kerajaan Colamandala dari India, raja Sriwijaya ditangkap lalu dibunuh. Keturunan raja Sriwijaya terus mencoba bangkit dan berhasil. Di tahun 1069 M nama raja Sriwijaya tercantum di dalam Prasasti Kanton (beraksara dan berbahasa Cina) sebagai donatur pembangunan sebuah kuil. Sesudah itu peran dan pengaruh kerajaan ini semakin surut dan runtuh pada abad ke-14 M. Data ini diperoleh dari sumber Sejarah Cina dimana dalam abad XIV M tidak ada utusan-utusan dari kerajaan Sriwijaya yang datang kepada kaisar Cina. Di jaman itu semua kerajaan di Asia Tenggara setiap tahun harus mengirim upeti kepada kaisar Cina.Sejaman dengan Kerajaan Sriwijaya juga ada kerajaan Melayu yang utusannya antara lain berasal dari To-lang Po-hwang (Tulang Bawang). Utusan ini datang ke negeri Cina pada pertengahan abad VII M, demikian menurut buku Ts’eh-fu-yien-kwei (Poerbatjaraka, 1952, hlm. 24). Melayu kalah bersaing dengan Sriwijaya. Di tahun 1024 M (abad XI M), baik Melayu maupun Sriwijaya dikalahkan oleh kerajaan Cola dari India M (lihat Nilakanta Sastri: The Colas, 1955, Madras; lihat juga Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History, 1970). Kerajaan Melayu bangkit lagi. Di tahun 1281 M (abad XIII), utusan Melayu datang ke Cina lagi (Wolters, 1970, hlm. 46). Di masa ini kerajaan Melayu berpusat di Dharmasraya, di tepi sungai Batanghari, sebelah hulu dari kota Muara Tembesi sekarang. Raja Kertanagara dari Jawa Timur pernah menjalin hubungan dengan raja Melayu yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmanadewa sebagaimana disebut dalam prasasti Dharmasraya (disebut juga prasasti Padang Roco) tahun 1286 M (lihat R. Pitono, Adityawarman, Bhratara, Djakarta, 1966, hlm. 36-38).

Kerajaan Tarumanagara dan Sunda

Kerajaan Tarumanagara ditandai oleh munculnya 7 buah parasasti batu yang ditemukan di sekitar Bogor, di Cilincing dan di Desa Munjul (Kabupaten Lebak) di Jawa Barat. Prasasti-prasasti ini dibuat atas titah Raja Purnawarman yang beragama Hindu dari aliran Wisnu (Waisnawa). Semua prasasti itu ditulis dengan aksara Palawa dan bahasa Sansekerta. Berdasarkan paleografinya, semua prasasti ini berasal dari abad V M, sedikit lebih muda dari prasasti Kutai.
Di abad-abad kemudian kegiatan Kerajaan Tarumanagara bergeser ke timur di sekitar sungai Citarum. Keturunan Purnawarman membangun candi-candi di Batujaya dan Cibuaya (Kabupaten Karawang) pada sekitar abad ke-8 – 12 M).
Di Jawa Barat pada abad XI M muncul prasasti Sanghyang Tapak bertahun 952 Saka atau 1030 M. yang menyebut nama Raja Sri Jayabhupati. Masa pemerintahannya sejaman dengan Raja Erlangga (1019-1044 M) di Jawa Timur. Prasasti raja Sri Jayabhupati ini ditemukan di daerah Sukabumi.
Kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari Tarumanagara tetapi mengambil tempat kerajaan di sekitar Galuh (Kabupaten Ciamis) dan Pajajaran (sekitar Bogor). Di abad XIV M yang tampil ialah Kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta putri dan keluarganya diundang oleh raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Karena salah paham terjadi perang di Bubat (dekat kota Majapahit pada tahun 1357 M) (lihat kitab Pararaton, dalam VBG XLIX, 1897).
Dalam abad XIV di Jawa Barat juga muncul prasasti-prasasti Kawali (di Kabupaten Ciamis ), aksara dan bahasanya Sunda Kuna. Nama-nama yang disebut ialah Lingga Hyang dan Lingga Bingba. Sesudah itu muncul prasasti Batutulis di kota Bogor, pertanggalannya dalam bentuk candrasangkala yaitu“Panca pandawa emban bumi”, yang bernilai 1355 Saka, konversinya ke tahun Masehi ialah 1433. Prasasti Batutulis ini beraksara dan berbahasa Sunda Kuna. Isinya menyebut Raja Surawiwesa yang menghormati nenek moyangnya yaitu Sri Baduga Maharaja. Raja Surawisesa memperbaiki kota Pakuan Pajajaran sebagai ibukotanya.
Nama kerajaan Sunda juga ditemukan dalam naskah Carita Parahyangan, naskah ini antara lain menyebut pindahnya Raja Sanjaya ke tanah Jawa (lihat Noorduyn, “Over het eerste gedeelte van de Oud-Sunda Carita Parahyangan”, BKI, 118, 1962, hlm. 374-383).


Kerajaan Erlangga, Kediri dan Singasari

Kerajaan Erlangga

Erlangga (asal dari Bali) menjadi menantu raja Dharmawangsa. Ia memerintah di Jawa Timur (1019-1044 M). Semua musuhnya dapat dikalahkan (lihat Prasasti Pucangan, tahun 1041 M). Ia berhasil membangun bendungan di sungai Brantas, di desa Waringin Sapta (prasasti Kelagen tahun 1937 M). Ia mempunyai 5 anak, sebelum turun tahta ia membagi kerajannya menjadi Pangjalu dan Janggala untuk kedua anak laki-lakinya.

Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Erlangga. Pangjalu dan Janggala saling berperang dan dimenangkan oleh Janggala (prasasti Sumengka tahun 1059 M). Sejak saat itu dimulainya Kerajaan Kediri. Keturunan Pangjalu baru dapat menang perang pada tahun 1135 M (prasasti Hantang tahun 1135 M). Perang saudara terus berlangsung. Raja Kediri terakhir ialah Kertajaya yang mulai memerintah tahun 1191 M dan berakhir tahun 1222 M. Di tahun ini Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok dari Singasari.


Kerajaan Singasari

Ken Arok menjadi raja (1222-1248 M) dan memindahkan keratonnya ke Singasari, sekitar 15 km di sebelah utara kota Malang. Ken Arok mempunyai beberapa anak dari dua isteri yaitu Ken Umang dan Ken Dedes. Anak-anak Ken Arok saling berebut kekuasaan. Salah satu keturunannya bernama Seminingrat (Wisnuwardhana), ia berhasil mempersatukan Singasari dengan Kediri (lihat prasasti Mula Malurung tahun 1255 M). Ia menggantikan ayahnya sejak tahun 1248 hingga tahun 1268 M. Wisnuwardhana mempunyai anak bernama Kertanagara yang menggantikannya sejak tahun 1269 dan memerintah hingga tahun 1293 M. Raja Kertanagara beserta kerajaannya jatuh pada awal tahun 1293 M setelah diserang oleh Jayakatwang, saudara sepupunya dari Kediri.

Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit dibangun oleh Raden Wijaya, kemenakan dari Winuwardhana dan sekaligus menjadi menantu Kertanagara. Saat raja Kertanagara diserang oleh Jayakatwang, Wijaya selamat beserta beberapa pengikutnya lalu mengungsi ke desa Kudadu di sebelah utara sungai Mas, dekat Surabaya (lihat isi prasasti Kudadu tahun 1294 M). Karena kota Singasari rusak oleh perang, Jayakatwang kembali ke Kediri dan memperbesar kerajaannya. Setelah keadaan tenang, Raden Wijaya minta ijin kepada Jayakatwang agar boleh membangun benteng di Tarik, dekat Mojokerto dengan maksud menjaga kerajaan Kediri jika ada musuh dari arah timur. Diam-diam Wijaya memperbesar bala tentaranya.
Di akhir tahun 1293 M, tiba-tiba tentara Tartar dari Mongolia yang diperintah Raja Kublai Khan (Kaisar Cina) datang, sebagian besar mendarat di Surabaya. Kedatangannya akan menghukum Raja Jawa, Kertanagara, yang dahulu menghina kaisar dengan melukai dutanya bernama Meng-chie pada tahun 1289 M. Raden Wijaya yang cerdik, menyongsong kedatangan pasukan ini untuk bernegosiasi, antara lain menawarkan bantuan dan hadiah jika para jenderal Tartar (antara lain Ike Mese dan Kau-hsing) bersedia meneruskan ekspedisinya ke Kediri karena raja Jawa saat ini berdiam di Kediri. Tawaran Wijaya diterima dan segeralah gerakan tentara Tartar ini dibelokkan ke Kediri. Tentara Tartar ini tidak tahu bahwa raja Kertanagara yang akan dihukumnya telah meninggal dunia.
Kota Kediri dikepung dari berbagai arah dan setelah diperangi selama 3 bulan, tentara Kediri kalah. Raja Jayakatwang ditangkap dan dibunuh. Pimpinan tentara Tartar yang merasa sukses menghukum raja Jawa lalu kembali ke kapal dalam kondisi kelelahan. Saat itulah tentara Raden Wijaya menyerang mereka. Tentara Cina yang selamat dapat menaiki kapalnya dan pulang ke Cina (lihat Groeneveld, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya compiled from Chinese Sources). Saat itu di Jawa Timur tidak ada raja.
Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit pada tahun 1294 M (lihat prasasti Sukhamerta tahun 1296 M). Selama ia memerintah ada hasutan pihak ke tiga sehingga terjadi dua pemberontakan, yang pertama oleh Lembu Sora dan yang kedua oleh Pu Nambi. Pada tahun 1309 M Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana wafat. Wijaya digantikan anaknya, Jayanagara (1309 – 1328). Tidak puas dengan pemerintahan Jayanagara, dua pembantunya yaitu Semi dan Kuti berontak. Gajah Mada tampil untuk menyelamatkan Jayanagara ketika keratonnya diduduki oleh pemberontak bernama Kuti. Jayanagara wafat tahun 1328 karena sakit dan digantikan oleh adiknya yang bernama Tribhuwana Tunggadewi (1328 – 1350 M). Ratu Tribhuwana mempunyai anak bernama Hayam Wuruk yang lahir sekitar tahun 1334 M. Hayam Wuruk diangkat menjadi raja Majapahit pada tahun 1350 M Saat itu Gajah Mada sudah menjadi Patih Majapahit sejak tahun 1334. Kekuasaan Majapahit sangat besar karena Patih Gajah Mada dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di luar Majapahit.
Pengaruh Majapahit hingga ke negeri Kamboja, Champa, Semenanjung Melayu, Jambi dan lain-lain. Hal ini dituturkan dalam kitab Nagarakertagama pupuh 13 – 14. Gajah Mada wafat pada tahun 1364 M karena usia lanjut. Kerajaan Majapahit menjadi lemah karena tidak ada orang kuat seperti Gajah Mada. Raja Hayam Wuruk memerintah hingga tahun 1389 M. Setelah Hayam Wuruk wafat, ia digantikan oleh menantunya yang bernama Wikramawardhana. Dalam masa pemerintahannya terjadi perang saudara terus-menerus. Anaknya yang bernama Dewi Suhita menggantikannya di tahun 1405 M, tetapi perang saudara tak dapat dihentikan. Pada tahun 1486 M, Ranawijaya dari keluarga Girindrawardhana dapat mengalahkan Majapahit (lihat prasasti Jiyu tahun 1486 M dan prasasti Kembang Sore tahun 1486 M). Nama Majapahit hilang dalalam catatan sejarah pada sekitar tahun 1520 M karena musafir Portugis bernama Antonio Pigafetta (1522) melaporkan bahwa nama kerajaan Majapahit sudah tidak ada (lihat Marwati D.P., 1993, ibid, hlm.449). Demikian juga raja Ranawijaya dan keluarga Girindrawardhana yang mengalahkan Majapahit pada tahun 1486 M, tidak disebut lagi dalam sumber sejarah. Saat itu tahun 1522 M sudah timbul kerajaan Demak (beragama Islam), lokasinya sekitar 30 km. di sebelah timur-laut kota Semarang.




Kerajaan Bali dan Bima

Kerajaan Bali Kuna sudah muncul sejak tahun 882 M yang ditandai dengan munculnya prasasti Sukawana AI dan beberapa prasasti berikutnya tetapi tanpa menyebut nama raja. Raja Bali Kuna pertama yang dikenal ialah Sri Kesari Warmadewa (915-942 M). Hingga tahun 1337 M tercatat ada 23 raja yang memerintah di Bali. Kondisi Bali relatif tenang walaupun ada perang saudara atau perang antar kerajaan kecil. Di antara raja Bali yang terkenal ialah orang tua Erlangga yaitu Gunapriyadharmapatni dan Dharmodayana (989 – 1011 M). Raja Bali terakhir yang dikalahkan oleh Gajah Mada ialah Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten (1337 M) (lihat Semadiastra, Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII – XIII, disertasi pada Universitas Gajah Mada, 1997, hlm. 402-404 – belum terbit). Kerajaan Bima Kuna muncul agak akhir yang diketahui dari prasasti Wadu Tunti yang terletak di Desa Doro, Kecamatan Donggo, Kabupaten Sumbawa Besar. Tulisannya Jawa Kuna, bahasanya juga Jawa Kuna. Ada 10 baris tulisan, kondisinya sangat aus. Singkat kata, isi prasasti ini menyebut nama Haji Sapalu di negeri Sapalu. Haji Sapalu tewas karena perang disertai kebakaran, Haju Sapalu moksa ( lihat Soekarto K. Atmodjo dalam Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, hlm. 2-3). Kitab Pararaton menyebutkan bahwa perang Dompo (Bima) bersamaan dengan perang Sunda pada tahun 1357 M. (lihat Pararaton, dalam VBG, LIX, 1897, hlm. 29).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar