Minggu, 19 Juni 2011

BAB XIV PENGARUH KESUSASTRAAN, KEAGAMAAN DAN KEBUDAYAAN JAWA

Bangsa Indonesia yang kini sebahagian besar penduduknya beragama Islam, bukan saja mewarisi satu kebudayaan saja, akan tetapi memiliki beragam kebudayaan. Dari aneka ragam kebudayaan di antaranya ada yang benar-benar merupakan kebudayaan baru yang memiliki inspirasi Islam, namun sebahagian juga memiliki akar yang kuat warisan dari kebudayaan masa pra Islam.


Warisan budaya pra Islam karena memiliki acuan norma klasik maka sangat tepat kalau dikatakan sebagai warisan budaya klasik. Dalam pada itu karena bukti dokumenter mengenai kebudayaan klasik tidak bisa memberikan gambaran kegiatan-kegiatan dengan tepat sebelum abad XVIII maka dalam abad XX ini sangat sedikit bisa memahami apa yang terjadi terhadap sejarah pada masa sebelum abad XVIII. Meskipun demikian masih ada diperoleh suatu gambaran bahwa kebudayaan klasik memberikan benang merah terhadap proses pembudayaan abad ke XX di Jawa-Indonesia.
Pada saat itu tidak ada kesatuan budaya Indonesia. Sebaliknya di daerah terdapat berbagai tradisi budaya daerah yang serumpun, yang merupakan milik kelompok-kelompok bahasa dan suku bangsa tertentu. Dari hal tersebut kebudayaan pada saat itu menjadi bagian dari bangsa Indonesia modern.
Di dalam kelompok etnis budaya yang memiliki persamaan antara kebudayaan daerah hanyalah kelompok yang melakukan kegiatan niaga kelautan, yaitu Melayu dan Portugis yang disebut kebudayaan Lingua Franca. Kelompok tersebut boleh dikatakan berhasil menembus batas-batas terhadap tradisi budaya yang berkembang di daerah. Hal itu dapat dipahami karena ada kaitannya dengan eksistensi atau keberadaan dari kelompok bahasa yang dimilikinya. Tradisi budaya ini sangat banyak akan tetapi dalam hal ini yang akan menjadi bahasan terhadap tradisi-tradisi budaya berkaitan dengan tradisi tertulis dari daerah Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap tradisi daerah nusantara.
Di dalam tradisi daerah yang tertulis dari daerah yang berbahasa Melayu dan tradisi tertulis yang berbahasa Jawa dan Sunda. Pengaruh tradisi tertulis di daerah lebih banyak dibahas adalah tradisi yang berkembang di istana. Terkecuali budaya Melayu yang dengan pengaruh Islam telah meletakkan norma-norma budaya yang mengikuti kaidah kesusastraan Melayu . Bentuk kesusastraan ini pada umumnya memberikan gambaran tentang kehidupan istana yang ada hubungannya dengan rakyat dan kerajaan. Di wilayah Indonesia masa kini penguasa berbahasa Melayu di Indonesia bagian barat, tradisi Melayu yang ada pada kesusastraan telah menjadi modal sebagai bahasa nasional.
Dari sana muncullah apa yang disebut karya sastra klasik terutama kesusastraan yang bermuatan keagamaan. Ada empat orang pengarang dari awal abad XVII yang paling terkemuka tiga di antara empat orang adalah Hamzah Pansuri (meninggal pada tahun 1590), kemudian Samsuddin dari Pasai (meninggal pada tahun 1630), dan Abdul Rauf dari Singkel (meninggal pada tahun 1612) serta orang India yang paling produktif yaitu Nurudin Ar-Ranaeri dari Gujarat.
Hamzah dan Samsuddin menulis karya mengenai ilmu tasawuf Islam yang oleh Ar-Ranaeri dikecam sebagai ajaran klenik. Akan tetapi semua pengarang Melayu yang terkemuka tersebut mempunyai gagasan dasar yang sama, yang hampir semua menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan asal-usul (martabat) . Perkembangan karya mereka dan kehidupan mereka satu sama lain memperebutkan pengaruh baik di kalangan istana maupun masyarakat sehingga terjadi saling jatuh menjatuhkan.
Pengaruh para penulis ini meluas ke kebudayaan Indonesia lainnya dan beberapa karya mereka diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Naskah yang berisi ajaran Islam ortodoks tentang manusia dan Tuhan serta nasihat mengenai berbagai aspek tata negara seperti yang berjudul Taj As-Saladin telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Banyak naskah yang bersifat khusus keagamaan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu termasuk tafsir Qur’an dan karya-karya mengenai ilmu hukum juga hikayat-hikayat dari dunia Islam. Hikayat Amir Hamzah, hikayat Iskandar Zulkarnain telah mewarnai perkembangan dari kesusastraan melayu. Sebahagian naskah-naskah Melayu berbentuk prosa, meskipun dari sejumlah karya tersebut juga ditemukan berbentuk pantun.
Kesusastraan klasik Jawa jelas berbeda dengan kesusastraan klasik Melayu. Meskipun kedua-duanya saling mempengaruhi di dalam hubungannya dengan kebudayaan Jawa terdapat dua sumber. Di dalam kesusastraan Jawa sumber pertama adanya tradisi India melalui bahasa Jawa kuno ataupun Sunda kuno. Sumber kedua melalui tradisi Islam. Pada tingkatan kurun tertentu yang berlaku sebelum konversi Islam kesusastraan berbahasa Melayu kuno terutama dalam bentuk huruf-huruf India yang biasanya tertulis dalam bentuk prasasti batu .
Sejarah kesusastraan Jawa kuno di Jawa setelah runtuhnya kerajaan Hindu budha yang terakhir sekitar 1527 sangatlah kabur. Akan tetapi warisan karya-karya berbahasa Jawa kuno tersebut, diteruskan pada periode berikutnya dengan berbahasa Jawa baru yang merupakan saduran dari karya-karya yang berbahasa Jawa kuno. Sementara itu naskah-naskah kesusastraan Sunda kuno memiliki polanya tersendiri yang kebanyakan berbentuk karya pantun dan disebut sebagai “genre Pajajaran”.
Karya sastra saduran dari bahasa Jawa kuno dan setelah disadur ke bahasa Jawa baru seperti Serat Rama (dari Ramayana yang berbahasa Jawa kuno). Kemudian Serat Baratayudha (dari Baratayudha yang aslinya berbahasa Jawa kuno). Serat Mintaraga (dari Arjunawiwaha yang berbahasa Jawa kuno) dan Arjuna Sasrabahu atau Lokapala yang berbahasa Jawa kuno. Masih ada satu naskah klasik berbahasa Jawa kuno adalah Dharmasraya Kakawin. Dan salah satu kitab tentang ajaran Mantrayana (doa atau mantra untuk peribadatan agama budha tantra) yang disebut “Sang Hyang Mahayanikam” sebagai salah satu kitab berbahasa Jawa kuno saduran dari kitab-kitab tantra berbahasa Sansekerta.
Naskah-naskah klasik berbahasa Jawa kuno tidak diketahui kapan mulai berkembang di Jawa. Namun sadura-sadurannya masih disalin oleh para pujangga di istana Mataram seperti halnya kitab Dharmasraya Kakawin yang disalin oleh salah seorang pujangga keraton Surakarta pada tahun 1716 M. Selain naskah klasik tinggalan Hindu budha masih banyak kisah-kisah dari masa pra Islam.
Naskah-naskah berbahasa Sunda kuno, tidak diketahui kapan ditulisnya namun penyebarannya di kalangan masyarakat Sunda diperkirakan setelah beberapa abad runtuhnya kerajaan Pajajaran oleh Banten pada tahun 1552. Naskah-naskah Sunda berbahasa Sunda kuno di antaranya Siksakandang Karesian, Carios Prabu Siliwangi, Carita Parahyangan, yang manusia karya sastra genre Pajajaran. Dapat dikatakan sebagai karya-karya Pajajaran karena di dalamnya lebih banyak menceritakan tentang peran dan kepahlawanan raja-raja keturunan Galuh dan Pakuan Pajajaran.
Relfeksi karya sastra klasik Hindu terhadap tradisi budaya masyarakat Jawa, biasanya tertuang dalam pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang Jawa merupakan cara terpenting untuk memelihara dan mempertahankan peninggalan Hindu budha di Jawa yang sudah mengalami proses Penyebaran Islam. Bentuk wayang yang pertama adalah wayang kulit. Ceritera dalam wayang kulit didasarkan pada cerita kepahlawanan Hindu, seperti Ramayana dan Baratayudha. Kisah-kisah Panji dan Damarwulan yang melibatkan pahlawan-pahlawan dari raja-raja Jenggala dan Majapahit merupakan tinggalan masa pra Islam. Perkembangan yang lebih spesifik dan berlangsung sejaman adalah karya-karya naskah Sunda seperti cerita pada kisah-kisah perjalanan Aryabanga dan Ciung Wanara .
Meskipun naskah sastra tersebut merupakan inspirasi langsung dari Hindu budha Sunda namun kisah tokoh-tokohnya hampir tak menyangkut tentang cerita raja-raja Hindu seperti dalam Ramayana atau Baratayudha. Naskah-naskah sastra Sunda periode Pajajaran lebih banyak menceritakan tentang kepahlawanan kalangan istana yang disusun dalam bentuk pantun.
Pertunjukan yang bersumber dari kesusastraan berinspirasi Islam adalah wayang golek. Biasanya dipakai untuk cerita Menak yang merupakan cerita roman diilhami oleh legenda Islam yang melibatkan paman Nabi Muhammad Amir Hamzah. Sebagai cerita yang dipertunjukkan cerita Menak sangat berkaitan dengan Islam. Akan tetapi cerita yang mengisahkan kalangan istana yang bersumber dari klasik Hindu di Jawa lebih terkenal daripada cerita Menak. Masyarakat Jawa sadar bahwa akar kebudayaan mereka berasal dari masa pra Islam.
Inspirasi langsung Islam terlihat dari terjemahan keagamaan dalam bahasa Arab atau Melayu ke dalam bahasa Jawa. Kebudayaan Islam juga mengilhami sejumlah besar cerita roman Jawa, termasuk Amir Hamzah serat Yusuf, Ahmad Hanafi, dan naskah-naskah Panji yang non Islam seperti kisah Damarwulan. Suatu konflik tidak terjadi di Jawa ketika memahami naskah keagamaan Islam yang bersumber dari tasawuf Islam yang berkembang di Jawa pada abad XIX, antara yang ortodoks dan yang heterortodoks. Terjadinya ketegangan dalam kaitannya dengan hukum Islam (yang meliputi syariat Islam) merupakan suatu awal dari adanya konflik dua pemahaman.
Naskah-naskah berbahasa Jawa menggambarkan antara kesalehan versus keterkutukan lima orang guru ilmu tasawuf yang bersifat klenik, wali Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dari masa Demak ke Babeluk dari Pajang. Syekh Amongrogo atau Syekh Jambukarang pada pemerintahan Sultan Agung yang termuat dalam naskah Cabolek (Centini) pada awal abad ke XVIII . Naskah-naskah keagamaan yang memuat kisah dari tokoh-tokoh tersebut telah membawa pengaruh terhadap Penyebaran Islam di daerah yang memiliki tradisi untuk menempatkan para guru sebagai Suhun yang dihormati.
Naskah babad (yang disebut sebagai kronik) merupakan karya sastra terpenting dalam khasanah kesusastraan Jawa berdasarkan inspirasi asli. Kronik atau babad yang dianggap sebagai ensiklopedia yang memuat cerita sejak Nabi Adam maupun dewa-dewa Hindu menceritakan masa pra Islam bernama Babad Tanah Jawi (BTJ). Kitab tersebut dianggap sebagai kisah sejarah Jawa, yang mencapai puncaknya pada masa abad XVII – XVII M. Karya babad tersebut dibuat sangat rinci dan ditemukan dengan menggunakan bahasa Jawa baru. Di dalamnya lebih banyak berpusat pada pembahasan tentang raja-raja Jawa, pertempuran dan membicarakan tokoh-tokoh kepahlawanan, namun sedikit yang terinspirasi oleh Islam. Babad Tanah Jawi (sejarah Jawa) meskipun kurang tepat dipandang sudut sejarahnya akan tetapi beberapa hal apa yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber sejarah yang penting.
Di dalam menulis sejarah tentang Jawa yang terkait dengan daerah babad tanah jawi merupakan karya sastra Jawa di antara sekian jumlah karya-karya yang sangat menonjol sebelum abad XIX. Masih banyak karya-karya keraton yang menulis berdasarkan saduran dari karya-karya sebelumnya baik dari karya masa pra Islam yang berbahasa Jawa kuno maupun karya yang berinspirasi Islam yang berbahasa Arab maupun Melayu dan terlahir dari tangan pujangga keraton Surakarta maupun Yogyakarta ke dalam bahasa Jawa baru.
Pada akhir abad XVIII Yosodipuro (1729 – 1803) telah menulis beberapa karya terjemahan dari bahasa Jawa kuno seperti Serat Rama, Serat Baratayudha, Serat Mintaraga, Serat Sasrabahu dan Lokapala. Dari karya-karya klasik berbahasa Jawa kuno ia juga telah menterjemahkan karya-karya sastra Islam seperti Taj As-Saladdin, Tapel Adam (kehidupan nabi-nabi Islam), dan dua buku yang mengandung sifat sejarah adalah Serat Cabolek (buku tentang Cabolek yang menyangkut perselisihan agama pada akhir tahun 1720) .
Dengan tumbuhnya pemahaman karya sastra dari keraton Surakarta maupun Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi tahun 1741 – 1760 telah memunculkan karya-karya sejarah seperti Babad Gianti yang merupakan dokumen sejarah dengan susunan sajak macapat. Kemudian Serat Rajasurya yang mengisahkan keluarga raja-raja Mataram dan Kitab Skondar yang mengisahkan tentang hubungan para penguasa Jawa dengan bangsa lain yang melibatkan tokoh Baron Skeber, Begawan Mintuno dan tokoh mistis yaitu Roro Kidul dan Den Ayu Lanjar (Kalahajar).
Hasil-hasil karya kesusastaraan yang ditulis para pujangga keraton, telah memberi pengaruh besar terhadap perkembangan budaya daerah di Jawa Tengah. Sebab diketahui di daerah Jawa sesudah abad XIX tidak memiliki kronik-kronik yang berdasarkan tradisi tulis. Kesusastraan kraton yang sampai ke daerah tidak secara langsung membicarakan peristiwa yang ditulis dalam karya sastra sejarah Jawa. Karya-karya yang memiliki unsur keagamaan mulai terserap oleh masyarakat pesisir utara baru sekitar abad XVIII – XIX.
Sementara itu datangnya sampai ke tangan masyarakat tidak secara utuh dan dalam waktu yang tidak menentu. Sumber-sumber yang diterima oleh masyarakat berdasarkan cerita tutur lewat pertunjukan wayang, kesenian rakyat maupun seni macapat. Yang nampak dari pengaruh karya sastra klasik dan terserap oleh masyarakat pesisir seperti di daerah Pekalongan, Pekalongan, Pemalang, Tegal hingga Brebes adalah karya-karya sastra klasik yang berinspirasi Islam. Dan karya-karya tersebut dipertunjukkan melalui pementasan wayang golek. Lakon atau tema yang disampaikan adalah dari saduran naskah-naskah karya sastra yang berinspirasi Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton. Cerita seperti Baron Skeber, Amir Hamzah, cerita Panji Jayengrono dan kisah-kisah para wali bahkan cerita Bahurekso adalah merupakan kegemaran dan berpengaruh besar terhadap perubahan-perubahan tentang kehidupan budaya di masyarakat pesisir (Pekalongan, Comal, ataupun daerah Pekalongan dan Pemalang).
Melalui pertunjukan wayang golek tersebut kadang cerita dari tanah Pasundan seperti Lutung Kasarung juga masuk di dalam suatu pertunjukan wayang golek. Sementara naskah klasik (pra Islam) yang disampaikan melalui pertunjukan wayang kulit kebanyakan digemari oleh masyarakat wilayah pedalaman (desa-desa di gunung yang pada masa lalu mewarisi kebudayaan kuno). Karya kesusastraan klasik baik tinggalan pra Islam maupun berinsipirasi Islam dan karya berinspirasi asli sampai ke tangan masyarakat dijadikan inspirasi untuk menyusun karya-karya tutur yang muncul di daerah lokal. Karya-karya keraton tersebut telah berpengaruh besar terhadap pola pembudayaan yang terserap oleh masyarakat pesisir seperti di Pekalongan, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes, hingga menjadi inspirasi untuk membangun sebuah dasar sub budaya daerah.
Sebagai masyarakat budaya Jawa dan berasal dari suku Jawa pesisir yang mayoritas beragama Islam, berbahasa Jawa dialek pesisiran, dan memiliki tradisi budaya lokal yang khas disebut budaya “pesisiran”. Penduduk di perkotaan wilayah pesisir ini cenderung bersifat majemuk dan pluralistik. Sebab di kota-kota tersebut juga terdapat kelompok penduduk orang Arab, Cina, asing (Belanda) juga penduduk dari suku-suku yang ada di nusantara. Oleh karena itu kemajemukan dan pluralistik penduduk yang sudah berkembang dari masa ke masa sampai masa berikutnya telah mendasari dinamika dari masyarakatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar