Minggu, 19 Juni 2011

BAB XV PEKALONGAN MASA KOLONIAL 1800 - 1940

Masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebutkan baik dari sumber asing Belanda maupun Portugis. Sumber–sumber asing dalam kota-kota pantai di Jawa pada abad XVI, adalah Cirebon, Tegal, Kendal, Demak, Jepara, Semarang, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.


Sumber-sumber Mataram seperti Babad Tanah Jawi hanya menyebut Pekalongan ketika Sultan Agung mengangkat Pangeran Manduro Rejo dan Pangeran Upasanta pada tahun 1622 – 1623 menjadi Adipati (Bupati) Pekalongan termasuk Pekalongan tidak disebutkan. Nama Pekalongan disebut oleh dokumen Mataram oleh Amangkurat I pengganti Sultan Agung yang saat itu masih berstatus putra mahkota yang telah mengawini putri dari Pekalongan. Status tanah Pekalongan pada saat itu merupakan tanah gaduhan dari kerajaan Cirebon. (de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram)
Pekalongan sebagai wilayah kesatuan dengan daerah terdekatnya adalah Pekalongan awal abad XVI merupakan daerah di bawah pemerintahan kerajaan Mataram. Pekalongan dan Pekalongan sebagai wilayah kerajaan Mataram yang terletak di pesisir kilen oleh Mataram disebut “Mancanegara”. Sehingga waktu VOC mengambil alih daerah ini struktur pemerintahan yang dilakukannya banyak melanjutkan sistem pemerintahan lokal yang sebelumnya telah berlaku.
Pentingnya perairan laut di wilayah ini telah menyebabkan daerah pesisir utara bagian barat sebagai wilayah mancanegara, yang oleh Sultan Agung tahun 1613 – 1645 Tegal dijadikan salah satu pelabuhan atau pintu gerbang Mataram yang strategis dalam menghadapi VOC. Sebelumnya ketika di wilayah Mataram, berdiri pemerintahan kadipaten seperti Tegal, Pemalang, Pekalongan, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu sampai Jepara sebagai daerah persinggahan kapal-kapal VOC (Dag Register, 1623 – 1779 dan Plakaat Boek).
Pada masa kolonial, wilayah tanah jajahan terbagi atas pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat Hindia Belanda (Nederlandsche Indie) berpusat di Batavia (Jakarta) dan dikepalai oleh seorang Gubernur Jendral (Governoor Generaal) yang berfungsi sebagai wakil raja ratu kerajaan Belanda. Secara hirarki pemerintahan daerah (binenland bestur) terbagi atas wilayah propinsi karesidenan (residentil) dan kabupaten (regentschap). Sedangkan kawedanan (district) kecamatan (onder district) dan desa yang masing-masing dipimpin oleh gubernur, residen (resident), bupati (regent), wedono, asisten wedono atau camat, dan lurah atau kepala desa.
Wilayah administrasi yang disebut afdeeiling dan onderafdeeling masing-masing dipimpin oleh seorang administrasi asisten residen dan kontrol (controleuer). Jabatan residen, asisten residen dan kontrol umumnya dijabat oleh orang Belanda. Sementara bupati ke bawah dijabat oleh orang pribumi.
Bentuk pemerintahan karesidenan diteruskan pada pemerintahan Raffles (1811 – 1816) dan pada masa kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1816. Sebelumnya gubernur jenderal Daendels (1808 – 1811) memperkenalkan bentu pemerintahan yang disebut prefectur. Pembentukan pemerintahan propinsi dilakukan pada periode yang lebih kemudian yang dimulai pada tahun 1920. Bentuk kesatuan administrasi pemerintahan kabupaten, kawedanan, kecamatan dan desa pada hakekatnya merupakan adaptasi dari bentuk pemerintahan daerah pada masa Mataram.
Pekalongan terletak di pesisir utara dan daerahnya hampir menyatu dengan Pekalongan. Dalam kesatuan karesidenan yang terdiri dari daerah kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Pekalongan. Pada masa awalnya daerah tersebut terbagi dalam dua wilayah yaitu karesidenan Tegal dan karesidenan Pekalongan. Karesidenan Tegal membawahi kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang. Sementara karesidenan Pekalongan membawahi kabupaten Pekalongan dan Pekalongan. Pada akhir abad XIX kedua wilayah karesidenan digabung menjadi satu karesidenan hingga berlangsung sampai masa karesidenan dihapus pada tahun 1950. Dan pada masa setelah kemerdekaan, status karesidenan sampai sekarang diganti dengan nama Badan Koordinasi Lintas Wilayah (Bakorlin).
Perubahan struktur wilayah administrasi pada masa republik, mengacu pada Undang –Undang No. I th 1957, yang membagi wilayah pemerintahan daerah atas 3 tingakatan, yaitu tingkat I disebut wilayah provinsi, tingkat II kabupaten, dan daerah tingkat III kecamatan/ desa atau praja. Sekalipun pemerintahannya dihapus, jabatan residen dan wedana pada dasarnya masih dipertahankan dengan ketentuan tugas dan fungsi masing –masing sebagai pejabat pembantu bupati dan pembantu gubernur. Dan berdasarkan PERDA (Peraturan Daerah) Jateng No. 19 th 2001, pejabat pembantu gubernur dan bupati diganti dengan nama Bakorlin ( Badan Koordinator Lintas Wilayah).

Nama-Nama Pejabat BAKORLIN Wilayah III Pekalongan
No. Nama Pejabat Masa Menjabat
1. Soedjono 1948 - 1954
2. R. Soejoto Sastrowardojo 1954 – 1957
3. Mochtar 1957 – 1958
4. M. Handojo Sastrohandojo 1958 – 1961
5. R. Sapoetro Brotodiharjo 1961 – 1968
6. R. Soemartojo 1968 – 1970
7. Drs. Soedarmo 1970 – 1977
8. Drs. Soemartedjo 1977 – 1982
9. Drs. Abdussalam Ronowidjojo 1982 – 1987
10. Drs. Karsono Kromodirejo 1987 – 1989
11. Drs. Hartono 1989 – 1994
12. Drs. Firman Soemarno 1994 – 1999
13. Drs. Soemardi 1999 – 2001
Bakorlin Wilayah III Pekalongan
1. Drs. Soemardi
2. Mahfud SH
3. Drs. Tjipto hartono


Pada tahun 1808 hubungan Jawa dan Eropa boleh dikatakan memasuki jaman baru. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis pada tahun 1808. Louis Napoleon sebagai penguasa negeri Belanda telah mengirim Marsekal Herman Williem Daendels ke Batavia untuk menduduki jabatan Gubernur Jendral. Berbeda dengan gubernur jenderal sebelumnya untuk memperkuat pertahanan di Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia, ia melakukan tindakan yang revolusioner. Demi alasan efisiensi ia berusaha memberantas penyelewengan dan korupsi. Kepada raja-raja Jawa dipaksa harus tunduk terhadap Batavia yang olehnya dianggap raja-raja taklukan.
Pada bulan Januari Daendels melakukan perjanjian baru terhadap raja-raja Jawa untuk penggabungan daerah ke dalam wilayah pemerintaham Belanda. Dengan demikian pemasukan uang sewa terhadap daerah pesisir utara yang telah dibayarkan oleh Batavia sejak tahun 1746 mulai Januari 1811 dihapuskan. Sementara Daendels juga menghapuskan pemberian insentif untuk istana-istana Jawa, yang diberikan oleh orang Eropa atas daerah pesisir. Dalam arti lain segala yang diterima dari pesisir ke istana dihapuskan.
Daendels memperkenalkan bentuk pemerintahannya disebut perfectur. Semua raja-raja Jawa sangat kecewa terhadap pemerintahan Daendels. Akan tetapi ada satu hal yang sangat populer di tengah kesulitan dan penindasan rakyat Jawa sehubungan pembuatan jalur perhubungan darat yang disebut dengan jalan Daendels. Perencanaan pembuatan jalan tersebut telah diperhitungkan masak-masak dari segi ekologis maupun geografi yang mana di pesisir utara dipandang sangat vital sebagai jaringan lalu lintas yang menghubungkan antara Jakarta dan Cirebon di Jawa Barat dan Semarang di Jawa Tengah. Jaringan lalu lintas dari pesisir barat tersebut menghubungkan beberapa kabupaten sejak dari Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Pekalongan dan Kendal.
Sementara jalan Daendels selesai telah disusul pembangunan jalur kereta api (spoorweg). Pembuatan jalan yang dilakukan Daendels sebetulnya mengikuti jalur lama yang sejak abad ke XV dan XVI pada masa Demak sudah dibuat untuk jaringan lalu lintas para mubaligh Islam yang menyebarkan agama ke daerah pedalaman. Pemerintahan Belanda di bawah Daendels tidak terlalu lama akan tetapi telah memakan korban rakyat Jawa terlalu banyak. Karena tahun 1810 Inggris telah menguasai Batavia dan menggantikan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada Inggris tahun 1811 – 1816. Stanford Raffles diangkat menjadi gubernur jenderal di Jawa Pada pemerintahann Raffles, cita-citanya yang akan merubah sistim pemerintahan menurut politik inggris belum terlaksana. Pemikiran bahwa kesejahteraan rakyat Indonesia, hanyalah merupakan teori zaman Raffles, karena pada tahun 1816 Raffless harus mengembalikan pos-pos di Indonesia yang baru kepada pihak belanda. Raffles harus meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris. Akan tetapi ada yang dapat di kenang jasanya terhadap raffles adalah sebagai pendiri singapura.
Sesaat Raffles sudah meninggalkan Jawa, belanda kembali menyusun secara menyeluruh urusa-urusan eropa termasuk wilayah jajahan di Hindia Belanda. Dari tahun 1812 hingga tahun 1825 Belanda kembali mencampuri urusan-urusan kerajaan jawa yang sedang mengalami pertikaian. Di istana di samping terjadi persekongkolan2 dan korupsi yang melanda orang-orang istana, di wilayah pesisir kalangan Eropa dan Cina telah memperluas proyek-proyek perkebunan gula dank opi dengan melakukan sewa tanah milik rakyat dengan harga murah.
Pada tahun 1823 Pemerintah Belanda telah mengangkat Raden Tumenggung Wryo Adinegoro menjadi Bupati Pekalongan. Jabatan Bupati ini hanya berlangsung 2 tahun, sebab pada thn 1825 Bupati Tumenggung Wirio Adinegoro wafat dan pada tahun itu pula (1825) telah digantikan puteranya yaitu Raden Adipati Wirijo Adi Negoro (1825/1848) menduduki jabatan sebagai Bupati Pekalongan.Selama jabatan Bupati dipegang oleh Raden Adipati Wirijo Adi Negoro telah berjasa membangun Masjid Jami’(besar) yang dimulai pada hari Selasa Kliwon tanggal 20 Desember 1825.

Timbulnya Perang Jawa (Perang Diponegoro)

Pada tahun 1812 – 1825 adalah merupakan penjajahan yang sesungguhnya dari orang-orang Eropa yang telah ikut terlalu banyak campur tangan terhadap pengangkatan para ningrat raja-raja di Yogyakarta maupun Surakarta. Di pesisir utara orang-orang Eropa dan Cina telah menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan tebu, kebun kopi maupun lada. Rakyat tidak dihargai martabatnya dan penarik pajak melakukan pemerasan semau-maunya. Penderitaan rakyat Jawa menimbulkan dislokasi sosial ditambah lagi timbulnya perampokan-perampokan yang merajalela.
Di Istana Yogyakarta dalam keadaan yang kacau telah muncul seorang tokoh yang sangat termashur bernama Pangeran Diponegoro, sebagai putra tertua Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil sampai dewasa Pangeran Diponegoro tinggal di desa Tegalrejo sejauh 30 km dari keraton. Pangeran Diponegoro tinggal bersama neneknya yang bernama Nyi Ageng wafat pada tahun 1830. Di Tegalrejo Pangeran Diponegoro telah melakukan semedi mempelajari kitab-kitab agama Islam dan memasuki lingkungan pesantren berhubungan dengan ulama, para kyai, syekh yang terdiri dari kaum sufi.
Selama hidupnya ia tidak mau memasuki istana yang penuh kemerosotan akhlak dan pelanggaran susila. Hubungan-hubungannya dengan komunitas masyarakat di Jawa sebagai pangeran senior para bangsawan sangat menghargainya. Selain itu hampir para ningrat dan tokoh agama silih berganti mengunjungi pesantrennya di desa Tegalrejo.
Secara supernatural akan terjadi perang Diponegoro, olehnya sudah ada tanda-tanda yang menurut kepercayaan Jawa pasti terjadi. Gejala-gejala tersebut telah mempengaruhi semangat Diponegoro untuk mengobarkan perang, yang disebut untuk melawan kebathilan dari perilaku bangsa Belanda yang menjajah Jawa. Sekitar tahun 1805 Diponegoro menjalani peristiwa mistis bahwa ia ditunjuk menjadi calon raja Jawa yang ditunjuk oleh kekuatan supernatural dengan melakukan ziarah ke makam leluhur Mataram. Ia juga mengalami suatu rangkaian mimpi bahwa Roro Kidul telah menemuinya sebuah suara memberitahukan bahwa ia harus memasuki jaman kekacauan yang akan mensucikan negaranya.
Selama hampir 20 tahun Diponegoro menantikan saat yang tepat untuk mengadakan perang. Tahun 1821 telah terjadi pemberontakan kecil. Kemudian pada tahun 1822 Hamengkubuwono IV wafat. Pada akhir tahun 1825 dimulailah perang Diponegoro. Perang tersebut dimulai dari Tegalrejo di pedalaman selatan Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juli Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Di Tegalrejo desanya direbut dan dibakar. Akan tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri dan mengibarkan janji perang terhadap VOC. Peperangan Diponegoro telah menyebar dengan cepat di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pusatnya berada di Yogyakarta. Lima belas dari dua puluh sembilan pangeran bergabung dengan Diponegoro, dan empat puluh satu dari delapan puluh delapan bupati memihak Diponegoro, selebihnya masih bersikap menunggu.
Di utara Jawa Tengah bupati-bupati yang pada dasarnya terdiri dari para ningrat pesisir secara tidak langsung ikut mengobarkan semangat perang untuk melawan Belanda. Kedu dan Wonosobo merupakan basis pertahanan pejuang Pangeran Diponegoro di pedalaman. Wilayah Kedu merupakan basis pejuang Diponegoro sementara di sepanjang pantai utara gerakan komunitas agama yang berpusat di pesantren-pesantren bergerak ke arah selatan dan ke arah timur.
Di Pekalongan perang Diponegoro dikobarkan para murid-murid Kyai Rifa’i dan Syekh Tolabuddin. Sementara para ahlul bait yang berada di Pekalongan ikut bergerak melalui sungai Kupang di Warungasem menuju ke selatan dan melewati Bandar, Bawang dan Batur. Di Batur dan Karangkobar pejuang-pejuang perang Diponegoro dari Pekalongan dan Pekalongan bergabung dengan pasukan Imam Musbah dan Diponegoro Anom. Dua pemimpin perjuangan Diponegoro tersebut merupakan tokoh utama yang mengobarkan semangat pertempuran melawan Belanda.
Pasukan Belanda yang menghadang pejuang Diponegoro dari utara dipimpin oleh Clereen yang mencoba dengan berbagai tindakan menghalang-halangi perjalanan pasukan Diponegoro ke basis-basis pasukannya di daerah Dieng. Salah satu tokoh penting yang mendukung perjuang Pangeran Diponegoro di daerah Pekalongan selain para ulama adalah Raden Ngabehi Soeryodirdjo alias Pangeran Aryo Suryodiningrat II bupati Pekalongan (1812 – 1836).
Laporan Peter Carey mengenai pemimpin perang Diponegoro yang terdiri dari kaum ulama dari utara tersebut tidak menyebutkan Tolabuddin dari mana karena enam puluh tahun sebelumnya (1763) ketika Syekh Abdullah Qutbuddin yang oleh kalangan Belanda bernama Abdul Kadir, banyak murid-muridnya yang menyatakan diri dan menyebut sebagai muridnya . Makam Syekh Tolabuddin terdapat di beberapa tempat di antaranya di Warungasem Pekalongan dan di Ambarawa Ungaran, Jawa Tengah. Nama Tolabuddin memberikan arti sebagai murid dari Syekh Qutbuddin. Riklefs dalam “A History of Modern Indonesia” menyatakan bahwa pada tahun 1763 seorang pemberontak bernama Abdul Kadir dari Semarang barat dengan dua putranya serta murid-muridnya telah mengadakan pemberontakan terhadap Pakubuwono III. Pemberontakan Qutbuddin alias Abdul Kadir telah dibantu oleh Hamengkubuwono I dan hampir berhasil. Akan tetapi putra-putranya terbunuh oleh prajurit Pakubuwono III. Abdul Kadir (dalam catatan naskah Hangabehi adalah Syekh Abdullah Qutbuddin) yang pada pemberontakan melawan Pakubuwono III telah menghilang dan menyingkir ke Wonosobo (dataran tinggi Dieng) dan meninggal pada tahun 1765.
Pada bulan April 1829 Kyai Maja ditangkap. Beberapa bulan kemudian Pangeran Mangkubumi dan Panglima utamanya Sentot, kedua-duanya menyerah. Dan bulan Maret 1830 Diponegoro menandatangani perundingan-perundingan di Magelang yang kemudian ditangkap dan dibuang ke Manado.
Sejak terjadinya perang Jawa (perang Diponegoro) pemerintah jajahan Belanda telah mengalami perubahan di bawah “liberalisme” di dalam memasuki kebijaksanaan baru pemerintah Hindia Baru telah melaksanakan apa yang disebut Cultur Stelsel. Perekonomian karesidenan Pekalongan dibagi atas pertanian, perindustrian, dan perikanan. Perekonomian pertanian merupakan basis perekonomian yang telah berkembang paling awal yaitu sejak masa Mataram. Pada masa itu VOC daerah memiliki kewajiban menyerahkan beras kepada kompeni dalam jumlah tertentu (kontingenten). Akan tetapi selain beras, sebenarnya daerah tersebut telah menjadi penghasil gula (gula tebu) yang dikelola oleh orang Cina seperti yang terjadi di daerah Ulujami dan Pekalongan. Cultur Stelsel dilaksanakan pada tahun 1883 – 1870 kemudian dilanjutkan berdasar sistem undang-undang perkebunan swasta (ondernemingen) tahun 1870 – 1942. Tidak kurang dari 17 pabrik gula berdiri di sepanjang daerah pesisir seperti Pekalongan, Brebes, Sragi, Tegal hingga Cirebon. Di Pekalongan pabrik gula berdiri di desa Kalimati. Pada masa itu penduduk pedesaan memperoleh sumber penghidupan dari penghasilan penyewaan tanah dan sejak masa itu pula melahirkan golongan buruh perkebunan.



Munculnya Gerakan Pembaharuan Sebelum Perang
Tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi persatuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan yang baru dari penjajahan. Masalah-masalah mengenai masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan. Dan ini meliputi hampir di seluruh Indonesia. Masalah yang melibatkan perubahan masyarakat Indonesia pada awal abad XIX meliputi politik budaya dan agama.
Pada akhir abad XIX, Karesidenan Pekalongan membawahi kabupaten Pekalongan dan kabupaten Pekalongan. Kemudian wilayah tersebut digabung menjadi satu, yaitu Karesidenan Pekalongan yang berlangsung sampai masa karesidenan dihapuskan tahu 1950.
Karesidenan ini terdiri dari kabupaten Pekalongan, dengan kota Pekalongan sebagai ibukota. Menyusur ke barat terdiri dari kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes. Adapun Pekalongan masuk kabupaten Pekalongan dan kedudukannya menjadi wilayah Kawedanan.
Pada tahun 1930, penduduk Pekalongan berjumlah dua setengah juta jiwa. Alasan penggabungan daerah ini karena penduduk Pekalongan terhitung jumlahnya sangat rendah. Akan tetapi dilihat dari segi penghasilan, tahun 1920-an, Pekalongan menjadi penghasil utama tanaman niaga Karesidenan, seperti gula, teh, kopi, kina, dan karet 30 % dari seluruh produksi di Jawa dihasilkan dari daerah ini.
Pada masa awal abad XX, meskipun penduduk Pekalongan relatif rendah karena memiliki sarana hubungan antar daerah yang relatif mudah dengan kota-kota terdekatnya seperti Pekalongan, Comal, Pemalang maupun Tegal, perkembangan dari kota-kota tersebut hampir sama.
Keadaan Sosial Penduduk
Di wilayah pedalaman selatan, tanahnya keras dan cocok untuk hutan jati dan luas kepadatan penduduk di wilayah selatan dan timur, tergolong rendah di wilayah pedalaman terdapat pusat kegiatan agama berupa pesantren yang mencerminkan kuatnya pengaruh islam ortodok.
Peranan penting dalam perdagangan yang menjadi sumber pendapatan terutama ditangani oleh minoritas asing Cina dan Arab baik ditingkat kabupaten sampai tingkat kecamatan.
Suatu gambaran yang kontras antara keadaan perekonomian dan geografis telah menempatkan pembagian kelompok sosial penduduk. Di lapisan atas terdapat kelas birokrat yang merupakan tangan dari pemerintah kolonial Belanda, golongan tersebut dari Bupati, Wedono sampai Camat dan Kepala Desa dijabat oleh golongan priyayi.sementara para pemilik pabrik penggilingan beras dan para pedagang serta pabrik gula di pegang para penduduk asing Cina dan Indo-Eropa. Pemilik pabrik ini (Cina dan Indo-Eropa) telah menyita tratusan hektar tanah rakyat yang di monopoli penyewaannya oleh pengusaha Indo-Eropa dan Cina.
Kalangan Islam yang merupakan bagian dari penduduk terbanyak dibagi dalam tiga unsur. Pertama adalah dari mereka yang pernah ikut aktif pada organisasi Islam kiri seperti Sarikat Islam atau SI yang pernah memberontak pada tahun 1926. Kedua golongan Islam ortodok (apa yang disebut wong muslim), mereka terdiri dari para santri murid sekolah agana yang dapat di bedakan dalam golongan ini yaitu kaum muslimin pedesaan yang mengelompok dan hidup dengan guru agama Islam (Kyai) dan sekolah agama mereka (pesantren) yang pada umumnya merupakan anggota Nahdlatul Ulama (NU), di lain pihak terdapat kelompok muslimin perkotaan yang sering kali melibatkan diri di bidang perdagangan.
Pada awal abad XX, kaum muslimin perkotaan di Jawa merasakan kegiatan perdagangan mereka telah terancam persaingan dari orang-orang cina. Sehingga mereka perlu mendirikan organisasi dagang serperti adanya Serikat Dagang Islam (SDI), Serikat Dagang Islam semula dipelopori oleh seorang lulusan OSVIA bernama Tirto Adi Surjo di Jakarta. Kemudian di Surakarta pada tahun 1868-1956, Haji Saman Hudi telah mendirikan SDI suatu Koperasi Dagang Batik untuk menyaingi Cina di kota tersebut. Di Surabaya Hos Tjokro Aminoto diserahi untuk memimpin organisasi Serikat Dagang Islam. Organisasi dagang Islam tersebut memiliki cabang-cabang hampir di seluruh di pelosok daerah, termasuk karesidenan Pekalongan seperti Pekalongan, Pekalongan, Pemalang Tegal dan Brebes.
Masih ada kelompok Islam yang disebut sebagai kelompok abangan (makna harfiah dari golongan coklat atau merah, atau suatu istilah bahasa Jawa untuk menyebut orang-orang muslim yang anutannya kepada Islam tidak lebih sekedar komitmen formal dan pada tingkatan nominal. Kaum abangan merupakan matoritas penduduk Jawa. Pemikiran mereka cenderung bersifat mistik relatif tidak memperdulikan tuntutan kewajiban-kewajiban upacara agama Islam (sembahyang yang lima waktu , puasa ,zakat dll). Secara budaya terikat pada bentuk seni jawa seperti wayang yang pada dasarnya berasal dari sumber-sumber pra-Islam, dari segi sosial ekonomi kemudian pemisahan antara kota dan desa, beberapa kota kawedanan seperti Comal dan Pekalongan terletak di jalan timur & barat kedua kota, kawedanan antara Pekalongan dan Comal sejak abad lalu telah berdiri pabrik gula dan mempunyai perkampungan Pecinan dan komplek pemukiman yang kebanyakan orang asing. Dan disini tentu fasilitas utama seperti air ledeng, jalan beraspal, serta sekolah berbahasa Belanda, paling sedikit, telah mengenyam pendidikan Belanda. Permasalahan sosio-ekonomi di daerah tersebut, merupakan dasar dalam perkembangan pemerintahan Kolonial. Yang mana pada abad ke-18 VOC telah berhasil mengumpulkan uang dengan mempergunakan kekuasaan politik dan sosial Elit Jawa. Selama Bupati yang disebut rakyat menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda, VOC akan mengakui kekuasaannya.

Penindasan Yang Tak Berkesudahan

Politik Etis tahun 1901 tidak membawa kemajuan bagi para petani, tiga daerah malah menyebabkan merosotnya hubungan antara petani dan pangaruh Praja. Pelaksanaan sistem tanam paksa ( kultuur stelsel) yang dimulai pada thn 1830 untuk memenuhi permintaan Eropa, yang memberi banyak keuntungan, ditangani elite Jawa dengan nama Belanda. Para Bupati disamping sebagai penguasa juga bertindak sebagai pengusaha. Mereka telah menguasai ratusan hektar tanah dan mempekerjakan petani-petani dengan memberikan pinjaman kepada petani agar tidak berpindah tangan.
Didalam memberi porsi kekuasaan terhadap Bupati tersebut, Raffles telah menghadiahkan puluhan hektar tanah yang dikelola secara turun temurun (particulier landerriejn). Sehingga bupati Brebes misalnya, telah menjadi kaya karena seluas 2.440 Ha yang sebagian besar ditanami tebu telah memberi keuntungan 38.000 gulden untuk sang Bupati. Tanah-tanah bengkok, yang diberikan kepala desa, lambat laun menjadi milik sang kepala desa. Para kepala desa telah menyewakan tanah untuk perkebunan tebu. Dengan kekuasaan para pangaruh praja di beberapa daerah di Pekalongan ,Comal, Pemalang, dan Brebes dikatakan petani hamper tak bertanah. Selama beberapa tahun sejak 1907 – 1927 jumlah desa berkurang 25%. Sejumlah 1,6% kepala desa menguasai hampir 25% tanah desa yang disewakan pada pabrik gula.
Dan menurut laporan (JW Meijer Ranneft didalam Faderzolk der Belestingdruk of de Inlandische Bevolking (Welter vreden, 1926 hal. 122,128), penghasilan pokok 40% dari kepala desa di Karesidenan Pekalongan sekitar 600 – 1200 Gulden setiap tahun. Sementara pendapatan penduduk rata-rata perkapita hanya 25,79 Gulden setiap tahun..
Ketimpangan pendapatan semacam itu mengakibatkan kepala desa tersisih dari rakyatnya. Dan kepala desa tidak lebih sebagai tangan pertama bagi pedagang Belanda untuk alat penggencet rakyatnya..Akan tetapi beberapa pangaruh Praja seperti Wedono dan Camat, hampir tak memperoleh penghasilan apa-apa karena tak memiliki tanah-tanah bengkok. Akan tetapi pada saat itu gaji seorang Wedono atau Camat mendapatkan gaji sangat tinggi sekitar 800 Gulden setiap tahun.
Didalam Pemerintahan Kolonial menurut James C. Scott tidak ada yang lebih menjengkelkan petani miskin dari pungutan pajak. Sering akibat besarnya pajak yang dipungut oleh petugas pamong pengumpul pajak, tidak memadai ketimbang hebatnya akibat penderitaan. Pajak penghasilan tanah dipandang sebagai penindasan yang nyata dilakukan oleh dan ditentukan oleh Kepala Desa.
Eksploitasi tentang pajak petani tentang kepemilikan tanah bertambah parah ,sampai tahun 1930-an kemerosotan industri gula, yang merupakan depresi ekonomi. Proses pemiskinan terjadi 3 sampai 4 generasi akibat dari pajak-pajak colonial dan pabrik gula yang didukung oleh birokrat.
Peranan pangreh Praja sebagai pengurus dan pengumpul dari hasil panen bagi Belanda. Di beberapa kota seperti Pemalang, pada tahun 1939 sejumlah 1436 orang terkena busung lapar, sedangkan Rumah sakit hanya dapat menampung 200 pasien termasuk 53 orang anak-anak. Di Jawa sejak abad XVII-XVIII kaum priyayi harus bekerjasama dengan VOC demi kestabilan ekonominya dan kepentingan finansiil Belanda. Para Bupati benar-benar dimanjakan oleh Belanda, sehingga seorang Bupati selain diberikan fasilitas dan pengahasilan yang tinggi, juga diberikan hadiah sampai 12 keturunan untuk memerintah, hal ini terjadi pada bupati Tegal Reksonegoro, yang memerintah di Jawa sejak 1678.
Keluarga Bupati tersebut menganggap keturunan langsung dari Sultan Demak. Konon karena priyayi Tegal menghindari adanya perkawinan dengan priyayi Pekalongan, karena dianggap sebagi keturunan kolaborator pertama dengan Belanda di Semarang.
Bupati Reksonegoro X mengawini Kardinah, saudara perempuan R.A Kartini. Kardianh mendirikan Rumah Sakit, sekolah untuk anak perempuan dan rumah anak yatim piatu di Tegal. Karena tidak mempunyai anak, maka ketiga anak suaminya dari istri kedua (selir) diambil dan dijadikan anak sendiri. Salah satu dari mereka Soesmono yang menjadi Reksonegoro XI, Pada tahun 1936 diancam akan dipecat dari kedudukannya karena hubungannya dengan seorang wanita Belanda, pegawai administratur Pabrik Gula Pangkah. Sedangkan istrinya, putri Bupati Pekalongan telah menuntut cerai. Reksonegoro XI dianggap menghina norma-norma Kolonial Belanda.
Keresahan Politik Dan Kaum Pergerakan

Gagalnya panen padi di Jawa pada tahun 1918, telah terjadi pergerakan masa yang dilakukan oleh kelompok sayap kiri radikal dari Sarikat Islam. Di beberapa tempat di Karesidenan Pekalongan khususnya kota-kota sepanjang pantai timbul kerusuhan di perkebunan dan pemogokan buruh pabrik Gula. Sarikat Islam telah menyampaikan keluhan pada Gubernur Jenderal akan tetapi sebaliknya, pemimpin Serikat Buruh diintimidasi, dituduh menyampaikan laporan palsu.
Pada tahun 1923, SI pecah menjelma menjadi Sarekat Rakyat. Suatu oraganisasi yang didirikan PKI untuk para petani yang sealiran dan dengan cepat mendapatkan anggota pengikut yang sangat besar. Pada tahun 1923, terjadi pemogokan buruh Kereta Api dan Trem. Sejak itu situasi politik menempatkan golongan komunis di wilayah Pekalongan bergolak. Di dalam mengantispasi pengawasan dari Belanda, kelompok Sarekat rakyat ini telah bergerak di bawah tanah sambil mengatur jaringan organisasi.
Pada bulan Agustus dan September tahun 1926, beberapa daerah di sepanjang kota daerah utara disebut sebagai daerah Revolusioner. Di Tegal, Sugono Rekso Putro, yang selalu menekankan kepada anggotanya bahwa ajaran Alqur’an sama dengan Marxisme, meninggal di dalam penjara dan menurut Belanda ia mati bunuh diri. Pada tahun 1926, PKI pecah sebelum waktunya dan gagal di dalam mengadakan pemberontakan. Akan tetapi, PKI dianggap sebagai kelompok revolusioner melawan pajak-pajak kerja paksa.
Pada tahun 1929, pengikut Soekarno yang menyebut PNI Baru dan Nasionalis-Islam, telah mengadakan kegiatan politik di bawah pimpinan seorang anggota Angkatan Laut Belanda bernama Kromolawi. Kromolawi di Pekalongan dan Pekalongan, berhasil menghimpun 500 anggota. Berkaitan dengan kegiatannya, Kromolawi telah ditahan dan bulan Mei 1930, ia dibebaskan dari tahanan. Tetapi pada bulan April 1931, PNI kemudian dibubarkan.
Sosialisasi Ekonomi Kolonial

Sisi perkembangan Kota Pekalongan pada paruh abad ke-19 baru tampak setelah dua abad sejak terjadinya pembagian kekuasaan pada tahun 1755 antara Pangeran Mangkubumi dan Belanda dalam Perjanjian Giyanti. Hal yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut antara lain adalah daerah pesisir Jawa ditetapkan sebagai daerah kekuasaan Belanda, sedangkan daerah Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Keraton kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pemerintahan Pekalongan mengikuti struktur administrasi Belanda yang disebut Pemerintahan Nederlandsch Indie dan terbagi menjadi pemerintahan pusat dan daerah.
Dalam hal pembangunan kota, terlihat adanya pengembangan permukiman yang sekaligus menciptakan jaringan ekonomi yang lebih luas dan beragam. Namun sebaliknya, kesejahteraan rakyat dari hasil pertanian (beras) mengalami kemerosotan di desa-desa dalam wilayah Karesidenan Pekalongan yang sejak awal penguasaan Mataram menetapkan adanya setoran wajib kepada pihak Kompeni.
Terlebih lagi pada tahun 1870-1883 yaitu setelah Belanda memberlakukan sistem wajib kerja paksa dalam politik “Kultur Stelsel” atau tanam paksa, rakyat semakin tidak berdaya mempertahankan tanahnya sebagai lahan pertanian. Politk ekonomi Belanda dalam memperbesar usaha perkebunan telah memaksa rakyat untuk bekerja diperkebunan Belanda. Pelaksanaan sistem tanam paksa itu berlanjut dengan pelaksanaan sistem usaha perkebunan swasta (ondernemingen) dan Karesidenan Pekalongan sudah menjadi wilayah industri tebu yang cukup luas pada tahun 1870-1942 (Prof. Dr. Djoko Suryo dalam makalah yang berjudul “Karesidenan Pekalongan Tempo Dulu”).
Sejak timbulnya kelompok pemasaran secara penuh di Pekalongan, maka batik berfungsi sebagai barang-barang komoditi yang bersifat ekonomis. Kelompok pemasaran yang dibentuk berdasarkan prinsip etika tradisional tersebut berlangsung sampai masa kemerdekaan. Pembangunan pabrik untuk industri gula telah mendorong terciptanya tenaga kerja pabrik (buruh perkebunan). Adapun dinamika perkembangan kota yang berkembang dari industri batik dan kerajinan lokal, mulai menyebar ke daerah-daerah baru di sekitar kota Kabupaten Pekalongan seperti Kedung Wuni, Wirodeso, Tirto, dan Warung Asem, sedangkan perkembangan ke arah timur sampai ke Setono dan Batang. Munculnya industri baru itu telah melahirkan kelompok-kelompok baru yang berperan dalam bidang perindustrian dan perdagangan yaitu golongan wiraswastawan pribumi, buruh, dan pedagang. Hal itu disebabkan karena perindustrian dan perdagangan secara kebetulan tumbuh dari pengusaha menengah. Komitmen Islam kaum santri selain bergerak dalam bidang keagamaan, sekaligus merupakan kaum kapitalis muslim (Prof. Dr. Djoko Suryo dalam makalah yang berjudul “Karesidenan Pekalongan Tempo Dulu”).
Timbulnya kelompok pengusaha pribumi dari pengusaha muslim telah mengubah sistem perdagangan lokal yang sebelumnya dikuasai oleh pengusaha menengah (pedagang Tionghoa) yang dahulu menempatkan kaum pribumi hanya sebagai buruh. Setelah membangun usaha sendiri, akhirnya pengusaha muslim berhasil menempatkan kelompok mereka pada kedudukan yang sama dengan pengusaha Tionghoa. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar golongan pengusaha Tionghoa merupakan pengusaha yang termasuk dalam kelompok perantara bagi pengusaha Belanda. Persaingan pun seringkali terjadi di antara kedua golongan tersebut karena mereka melakukan kegiatan usaha yang sama yaitu usaha pembatikan.

Timbulnya Industri Batik Oleh Pengusaha Muslim Pribumi

Adanya perkembangan baru dalam cara berpakaian bagi keluarga asing yaitu menggunakan sarung batik dan kebaya sebagai ganti gaun Eropa, menjadikan produksi batik mengalami kemajuan. Mereka lebih menyukai sarung dan kebaya karena sesuai dengan kondisi iklim di tanah Jawa. Keluarga Tionghoa peranakan juga mengenakan kain batik berupa sarung untuk melengkapi baju kebaya encim (kebaya berenda/sulaman) yang mereka pakai. Pemakaian sarung batik dan kebaya yang berenda tersebut antara lain disebabkan karena adanya pengaruh dari masyarakat Melayu dan India serta ditunjang dengan datangnya mesin jahit di Indonesia.
Munculnya pengusaha baru pribumi dan pengusaha kelompok menengah Tionghoa menyebabkan industri batik di Pekalongan menunjukkan perkembangan yang sangat pesat pada pertengahan abad XIX. Demikian pula halnya keadaan di kota pedalaman (keraton) seperti Solo dan Yogyakarta. Perusahaan batik pribumi yang merupakan kelompok pengusaha baru telah mendapatkan pasarnya di kalangan masyarakat pribumi. Sistem yang digunakan adalah mengikuti pola lama yang sebelumnya dilakukan oleh para pedagang muslim pada abad XVI-XVII Masehi. Pada masa yang sama didirikan Serikat Dagang Islam yang dipelopori pengusaha batik dari Solo, yaitu H. Samanhudi.
Para pengusaha Tionghoa yang merangkap sebagai pengusaha industri batik dan juga pemasok bahan baku batik, telah menguasai pasar yang lebih luas. Mereka tidak saja menguasai pasar luar daerah, namun juga menjadi pemasok utama perdagangan batik yang dilakukan penduduk asing (Belanda). Pada tahun 1830 telah berdiri industri batik yang diusahakan oleh seorang Indo-Belanda di Semarang. Industri batik tersebut didirikan oleh Wincel Hegen yaitu istri seorang pelukis yang bernama Raden Saleh. Perusahaan itu juga menampung batik yang diproduksi di Pekalongan oleh para pengusaha pribumi.Pada saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang yang menggemari pola-pola buketan (Belanda), para pengusaha Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh budaya Eropa (Belanda) setelah tahun 1910 .


Batik Indo-Belanda

Langkah para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca situasi pasar itu, memang cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Carolina Josephine van Franquemont dan Catherina Carolina van Oosterom, berada dalam puncak pemasarannya.
Pola buketan tersebut pertama kali diproduksi oleh Christina van Zuylen yaitu salah seorang pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan. Pada tahun 1880, Christina van Zuylen telah mengubah tradisi karya batik yang semula sebagai karya anonim (tanpa diketahui identitas pembuatnya) dan bersifat massal, menjadi karya individual. Identitas nama Christina van Zuylen dituliskan di sudut bagian dalam kain dalam bentuk tanda tangan yang berbunyi “T. van Zuylen” (kependekan dari Tina van Zuylen), pada setiap batik karyanya. Batik buketan yang terkenal adalah karya van Zuylen bersaudara yaitu Christina van Zuylen dan Lies van Zuylen. Batik tersebut sangat laku sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana diuraikan di muka. Para pengusaha tersebut antara lain Hock-Tjan dari Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedung Wuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format “pagi-sore”. Selain itu, di Kampung Kwijan (tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan Tan-Kwi-Jan) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari golongan Tionghoa yang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-Bing-Liat.
Bangkitnya para pengusaha kelas menengah Tionghoa di Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai seni yang tinggi bahkan bisa disejajarkan dengan karya lukisan seperti yang terjadi pada karya para pelukis di Eropa (Belanda), terutama batik yang memiliki pola dengan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami perubahan karena batik hanya dianggap sebagai barang kerajinan atau dagangan saja. Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya saja karena dipandang sebagai milik pasar.
Hal itulah yang membedakan kedua golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industri batik. Adanya persaingan antara pengusaha pribumi dan pengusaha kelas menengah Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.



3 komentar:

  1. Boring..liburan di rumah aja? Coba keberuntungan kamu yukk dengan bermain di POKER Jagodomino, minimal deposit / withdraw Rp 15.000 , Bisa Memainkannya via Android / Iphone / Ipad.

    Buat kamu-kamu yang mengaku pecinta poker tentunya tidak asing dengan yang namanya situs online poker UANG ASLI yang sudah semakin merajalela .. Semakin banyak situs maka anda akan semakin bingung, ditambah lagi banyak bonus menarik yang ditawarkan yang membuat kita tergiur pastinya..

    Info lebih lanjut silahkan hubungi CS 24/7 melalui :
    * LIVECHAT Jago188(dot)net
    * PIN BBM : 2AF6F43D
    * WA : +855717086677
    * LINE : Jagodomino

    Salam Sukses Jagodomino

    BalasHapus