Minggu, 26 Juni 2011

Pembangunan Pariwisata Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan pariwisata membawa pengaruh positif bagi masyarakat, yaitu meningkatnya taraf perekonomian masyarakat. Namun, pengembangan sektor pariwisata juga membawa pengaruh lain, yaitu terancamnya lingkungan kebudayaan masyarakat kita. Padahal, kemajuan sektor pariwisata sedikit banyak ditentukan oleh kualitas kebudayaan masyarakat. Lingkungan budaya ini yang menjadi daya tarik terbesar dunia pariwisata. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, lama kelamaan dua sektor tersebut akan sama-sama mengalami kemerosotan. Sektor pariwisata akan mengalami kemerosotan karena lingkungan budaya tidak menarik lagi. Sektor kebudayaan akan mengalami kemerosotan karena masyarakat terpengaruh oleh budaya lain/budaya barat.


Solusinya adalah mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Untuk menciptakan pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan ada lima hal yang dapat ditempuh. Pertama, pembangunan fisik memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Kedua, menghidupkan wisata budaya tradisional. Ketiga, memberikan pendidikan budaya pada generasi muda. Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Dan kelima, pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan. Jika berhasil diciptakan pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan budaya, tercapailah simbiosis mutualisma antara sektor pariwisata dan sektor lingkungan budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata?
2. Bagaimana Pentingnya Pelestarian Kebudayaan dalam Pengembangan Yogyakarta?
3. Bagaimana solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya?


BAB II
PEMBAHASAN
I. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata
Pengembangan pariwisata meliputi berbagai bidang. Di antaranya adalah pengembangan wisata alam (pantai, gunung, gua) dan pengembangan wisata budaya (upacara tradisional, pakaian tradisional, tari). Kedua bidang tersebut sama-sama memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan. Namun, jika kita mau mencoba mencermati kecenderungan para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, bidang yang menjadi daya tarik utama adalah bidang kebudayaan. Pariwisata alam tampaknya hanya menjadi “tempat beristirahat” bagi para wisatawan .
Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Ketiga, banyaknya wisatawan yang tertarik mempelajari budaya khas seperti menari dan membatik. Keempat, banyaknya wisatawan yang tertarik dengan keramahtamahan kita dalam menanggapi mereka. Dalam jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional di negara-negara maju. Karena kelangkaan tersebut, banyak orang ingin mengetahui bentuk-bentuk budaya asli nenek moyang mereka.
Dalam hubungannya dengan kecenderungan pengembangan pariwisata budaya, Yogyakarta bisa dipandang sebagai kota yang kaya akan potensi pariwisata kebudayaan baik fisik maupun nonfisik. Yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan fisik adalah bangunan-bangunan yang menjadi simbol keluhuran budaya nenek moyang. Obyek pariwisata kebudayaan jenis ini misalnya Kraton, Water Castle, Prambanan, dan Pakaulaman. Sedangkan yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan nonfisik adalah berbagai jenis permainan, batik, jathilan, kerajinan tradisional, dan berbagai jenis tari tradisional.
Jika sektor pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam, lama kelamaan para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam bersifat statis dan sekali datang.
Namun demikian, jika pengembangan pariwisata budaya ini dikembangkan dengan sembarangan, pengembangan pariwisata ini bisa menjadi bumerang atas kebudayaan itu sendiri. Eksploitasi besar-besaran terhadap pariwisata budaya akan mengakibatkan budaya tersebut kehilangan kualitasnya. Akibatnya, kebudayaan hanya sekedar simbol-simbol mati, tanpa makna. Pembisnisan budaya yang berlebihan juga akan mengaburkan hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Pada akhirnya, kebudayaan tercabut dari asal-usulnya, yaitu masyarakat.
Pada sektor lain, pengembangan kebudayaan yang hanya diorientasikan pada pariwisata juga akan mengakibatkan para pelakunya terlalu “bisnis oriented”. Bisnis oriented dalam bidang budaya atau komersialisasi budaya sebenarnya merupakan efek samping terjadinya transformasi budaya dalam proses pembangunan suatu negara. Menurut Suyatno Kartodirdjo, ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial .
Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak berakar pada kedua hal tersebut akan menghasilkan budaya modern yang pada gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya (tradisional) yang mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa .
Dalam hubungannya dengan transformasi kebudayaan sebagai akibat pengembangan sektor pariwisata, ada baiknya disimak pendapat dari Sutan Takdir Alisahbana . Beliau mengatakan bahwa transformasi budaya yang disebabkan oleh penerapan teknologi maju yang terlepas dari perspektif budaya bangsa akan mengakibatkan manusia dikuasai teknologi, dan bukan sebaliknya.

II. Pentingnya Pelestarian Kebudayaan dalam Pengembangan Yogyakarta
Pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Yogyakarta membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Pengaruh tersebut langsung menyentuh pada identitas dasar masyarakat, yaitu sisi kebudayaan. Secara perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat terpengaruh oleh kebudayaan pendatang yang mereka anggap lebih maju. Kebudayaan pendatang tersebut bukan saja berasal dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan asing, melainkan juga dari dalam negeri yang dibawa oleh wisatawan dalam negeri maupun para pelajar dari berbagai daerah.
Menurut Soedjatmoko perkembangan modernisasi yang seperti itu membawa masalah tersendiri ketika masyarakat telah kehilangan nilai-nilai lama dan cara lama sementara nilai lama dan cara baru belum mencapai kristalisasinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas kepribadian dalam diri masyarakat .
Dalam kaitannya dengan perkembangan modernisasi di Yogyakarta, apabila tidak segera mendapat respon, dapat dimungkinkan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat terutama penduduk asli Yogyakarta yang selama bertahun-tahun memegang teguh nilai-nilai kebudayaan tradisional.. Derasnya pengaruh luar baik kebudayaan asing maupun kebudayaan daerah lain akan menimbulkan tranformasi budaya yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi-generasi yang multikultur. Menurut Suyatno Kartodirdjo (1992:145), ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya tersebut, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial .
Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Yogyakarta, masalah komersialisasi budaya akan menjadi masalah penting. Pemikiran-pemikiran berbagai pihak hanya difokuskan pada bagaimana memperoleh keuntungan finansial dari sektor kebudayaan. Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi memelihara dan melestarikan kebudayaan budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Menurut Kartodirjo transformasi yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa akan menghasilkan budaya modern yang cenderung akan menelan jenis budaya-budaya tradisional yang telah terbukti mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa.
Jika krisis sektor kebudayaan ini secara terus menerus dialami oleh masyarakat, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada lagi pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda. Kalaupun ada, kebudayaan yang diwariskan tersebut akan mengalami reduksi yang cukup hebat. Bisa jadi bentuk fisik kebudayaannya terwariskan tetapi roh-nya sudah hilang. Misalnya saja dari segi berpakaian. Mungkin saja generasi muda terlihat gagah ketika mengenakan pakaian adat Jawa. Namun perilaku dan unggah-ungguhnya tidak ada.
Upaya pelestarian kebudayaan ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wisatawan sangat tertarik dengan bidang budaya. Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan dan para pelajar yang melakukan studi wisata yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Sementara itu keinginan para pelajar untuk melakukan studi wisata di Yogyakarta sedikit banyak didasari oleh informasi dalam pembelajaran di mana Kraton Yogyakara merupakan bagian dari sejarah kerajaan yang sampai sekarang masih eksis keberadaannya.
Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Benda-benda khas yang mencerminkan kebudayaan Jawa seperti keris, kain batik, blangkon, kuda kepang sangat digemari oleh para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara. Ketertarikan untuk membeli ini kemungkinan besar dilandasi oleh keingintahuan lebih lanjut akan kebudayaan Jawa .
Dalam jangka panjang, jika masih tetap ingin eksis dalam berbagai bidang, sektor kebudayaan perlu mendapat perhatian lebih dalam pembangunan Yogyakarta. Sektor pendidikan juga akan ditentukan oleh kemampuan masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan keramahtamahan dan etika kehidupan bermasyarakat. Jika pada akhirnya masyarakat Yogyakarta hanya terjebak pada masalah keuntungan bisnis, tingkat kenyamanan dan keamanan para pelajar terusik. Dan pada akhirnya secara perlahan-lahan banyak orangtua yang akan berpikir panjang untuk menyekolahkan anaknya di Yogyakarta. Sektor pariwisata pada akhirnya sangat ditentukan oleh aset budaya yang dapat ditawarkan pada para wisatawan. Fasilitas yang lengkap, promosi yang gencar, dan pengalokasian dana untuk membangunan sarana fisik pariwisata akan terkesan sia-sia ketika Yogyakarta tidak lagi memiliki aset kebudayaan sebagai andalan utama obyek pariwisata.
Berhubung sektor kebudayaan merupakan sektor yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata di Yogyakarta, penyelamatan dan pelestarian budaya lokal perlu dilakukan. Jika penyelamatan dan pelestarian budaya lokal ini dapat dilakukan, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan pariwisata budaya seperti Bali, Korea, Cina, dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pembangunan sarana dan prasarana fisik, lama kelamaan para wisatawan akan bosan untuk berkunjung ke Yogyakarta .

III. Solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya
Salahsatu jalur untuk memperbaiki mentalitas generasi muda itu adalah melalui pendidikan. Slamet Sutrisna mengatakan bahwa perubahan kebudayaan, (termasuk di dalamnya adalah mentalitas manusia, tidak hanya melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif. Dalam hubungannya dengam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, budaya keilmuan harus dikembangkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pengembangan dan pelestarian budaya perlu dihubungkan dengan proses pendidikan bagi generasi penerusnya .
Cara yang paling efektif untuk pembinaan kebudayaan generasi muda dalam kerangka otonomi daerah adalah dengan memasukkan muatan pendidikan kebudayaan khas Yogyakarta dalam kurikulum pendidikan di Yogyakarta. Muatan lokal semacam ini akan menghasilkan efek berantai yang positif yang pada akhirnya akan menguntungkan sektor pariwisata dan sektor pelestarian kebudayaan. Para siswa yang berasal dari Yogyakarta akan memiliki sikap positif terhadap kebudayaannya sendiri. Sikap positif ini akan menghasilkan daya tahan untuk tidak begitu saja terpengaruh oleh budaya asing. Sedangkan para siswa yang berasal dari luar Yogyakarta akan memiliki pengetahuan tentang kebudayaan local dan dapat diyakini bahwa mereka akan mengkomunikasikannya pada teman-temannya di daerah asalnya. Maka dalam jangka panjang sektor pariwisata akan berkembang dan kebudayaan lokal akan terpelihara .


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Solusi yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara pariwisata dan budaya. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut serta melestarikan lingkungan budaya kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata.
















Daftar Pustaka

Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Kartodirdjo, Suyatno. 1992. “Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian Universal. Yogyakarta : Kanisius

Roem, Mohamad, dkk. 1982. Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Jakarta : PT. Gramedia.

Sutrisna, Slamet. 1992. “Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.

Suwarno, P.J. 1992. “Belajar dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.

Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan. Jakarta : LP3ES.

Tnunay, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.

Dampak Pembangunan Pariwisata

Model kebijakan pembangunan pariwisata, idealnya mengarah kepada kesejahteraan ekonomi rakyat, memberikan manfaat secara merata dan ber-kelanjutan bagi pelestarian budaya dan lingkungan. Namun kenyataannya kini, manfaat manfaat ekonomi yang di-peroleh dari sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah sosial-budaya dan lingkungan.


Dampak Ekonomi
Pariwisata dapat dipandang sebagai komoditi sehingga merupakan gejala ekonomi. Sebagai komoditi, pariwisata mencakup mata rantai kegiatan yang sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya, di samping menyerap tenaga kerja. Dampak sosial-ekonomi yang sering terjadi adalah masalah per-tanahan seperti praktik-praktik spekulasi pembelian tanah dan konsentrasi pemilikan tanah yang terpusat di tangan pemilik modal. Akibatnya, para petani yang menjual tanahnya tidak saja kehilangan lahan-lahan produktif, juga kehilangan pekerjaan sebagai petani, sekaligus me-maksa mereka mencari nafkah di luar sektor pertanian. Praktik jual-beli tanah dapat pula menimbul-kan konflik di kalangan masya-rakat berkaitan dengan pem-bebasan kawasan tertentu untuk suatu proyek pariwisata.

Dampak Sosial-Budaya
Pariwisata, selain dapat dipandang sebagai gejala ekonomi, juga sebagai gejala sosial-budaya karena merupakan fenomena interaksi lintas budaya — hubungan timbal-balik antar individu atau kelompok orang yang memiliki perbedaan identitas budaya, lingkungan sosial, sikap mental, dan susunan psikologis. Interaksi yang bersifat akumulatif dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat setempat dapat menimbulkan dampak atau perubahan sosial budaya yang bersifat positif ataupun negatif. Dengan kata lain, interaksi lintas budaya yang muncul dalam pariwisata dapat menjadi keberuntungan atau malapetaka, dan hal ini sangat tergantung pada kebijakan pengembangan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah setempat.
Dampak negatif pariwisata timbul jika terjadi perubahan-perubahan yang tidak diinginkan atau merugikan eksistensi kebudayaan masyarakat setempat. Sebaliknya dampak positif muncul jika mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat, revitalisasi dan konservasi bagi eksistensi kebudayaan masyarakat setempat, serta pelestarian lingkungan.
Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali telah lama mendapat sorotan dari berbagai pihak. Berkenaan dengan ini dijumpai adanya perbedaan pendapat antara pihak yang berpandangan pesimis dan optimis terhadap keberadaan Bali pada masa mendatang. Pihak yang pesimis menganggap kebudayaan Bali telah mengalami komoditisasi dan kemerosotan karena banyak unsur kebudayaan yang dialihfungsikan atau dikomersial-isasikan sebagai barang dagangan.
Selain itu ada pula yang melihat perkembangan pariwisata Bali telah membawa daerah ini menjadi Eropa kedua, atau mengarah kepada fenomena Waikikianization. Sementara di pihak lain, ada pula pandangan optimis yang beranggapan bahwa perkembangan pariwisata di Bali membawa dampak positif terhadap kebudayaan setempat, yakni memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat. Keinginan besar para wisatawan untuk menikmati kebudayaan Bali melahirkan apa yang disebut sebagai involusi kebudayaan, yaitu elaborasi yang semakin baik dalam bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, seperti apa yang tercermin dalam berbagai jenis kesenian tradisional yang kian sering dan meluas dipertunjukkan daripada beberapa tahun silam. Begitu pula pada masyarakat yang secara langsung terlibat dalam pariwisata mampu mengembang-kan lembaga-lembaga yang ada sejalan dengan tuntutan dunia pariwisata.

Dampak Ekologis
Pemanfaatan barang dan jasa baik yang disediakan oleh lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial-budaya dapat menimbulkan dampak biofisik, terutama berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada sistem lingkungan alamiah, baik karena rekayasa atau sebagai akibat ulah wisatawan. Perubahan ekosistem karena rekayasa merupakan tindakan yang disengaja dan secara sadar dimaksudkan untuk menambah daya tarik wisata, misalnya pembangunan berbagai fasilitas pariwisata sehingga kepuasan rekreasi yang didapat oleh wisatawan dinilai melebihi daripada sebelumnya. Namun di sisi lain perekayasaan itu dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan, seperti gangguan terhadap ekosistem setempat. Sedangkan dampak yang ditimbulkan oleh ulah wisatawan adalah perubahan atau gangguan yang terjadi sebagai akibat dari kelakuan wisatawan, baik disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, sehingga menimbulkan perubahan yang diinginkan atau tidak diinginkan terhadap ekosistem.
Dengan demikian, pengem-bangan kawasan sebagai obyek wisata dapat menimbulkan dampak biofisik, sosial-ekonomi, maupun sosial-budaya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Selanjutnya, apapun bentuk dampak tersebut akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti misalnya, kerusakan ekosistem sebagai akibat kebijakan pembangunan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan maupun karena vandalisme wisatawan dapat menurunkan daya tarik ekosistem, yang pada gilirannya dapat menurunkan jumlah kunjungan wisatawan. Akhirnya manfaat yang diterima oleh pihak pengelola atau pelaku pariwisata dengan sendirinya akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, dampak sosial-ekonomi yang memberikan kesuksesan secara otomatis akan memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan yang mereka harapkan.

Minggu, 19 Juni 2011

MOZAIK SEJARAH PEKALONGAN

Judul Mozaik Sejarah Pekalongan Dalam Buku Ini Memeberikan Penjelasan Tentang Sejarah Pekalongan Dalam Fase Kesejarahan Yang berkaitan dengan Kehidupan Masyarakat Pekalongan Sejak Periode Awal Masa Pra-Sejarah,Periode Masa Masuknya Agama Hindu-Budha Maupun Islam Hingga Masa Penjajahan Sampai Masa Kemerdekaan.

(ijinkanlah kami untuk ikut mensosialisasikan mozaik sejarah pekalongan ini dalam blog ini, semoga bermanfaat. karena demi menyingkat pemahaman kita akan sejarah peaklongan, maka akan kami muat secara berseri setiap bab)

PENYUSUN DAN PENULIS

1. DR. KUSNIN ASA
2. PROF. DR. HARIS SUKENDAR
3. DR. MACHI SUHADI
4. DR. SUHARTO

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN
II ASPEK GEOGRAFI SEJARAH KUNO DI PEKALONGAN
III MASA PRASEJARAH DI KABUPATEN PEKALONGAN
IV PERSEBARAN BANGUNAN MEGALITIK (PRASEJARAH)
V FUNGSI TINGGALAN PRASEJARAH DALAM MENATAP MASA DEPAN
VI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI
VII KONSEP PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN
DAFTAR PUSTAKA
VIII JAMAN HINDU BUDHA
IX KERAJAAN KERAJAAN KUNO DI LUAR JAWA TENGAH
X KERAJAAN KERAJAAN KUNO DI JAWA TENGAH
DAFTAR SINGKATAN
KEPUSTAKAAN
XI PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA
XII PENYEBARAN ISLAM DI JAWA ABAD XV
XIII PEKALONGAN DALAM PENGARUH MATARAM
XIV PENGARUH KESUSASTRAAN KEAGAMAAN DAN KEBUDAYAAN JAWA
XV PEKALONGAN MASA KOLONIAL 1800 - 1940
XVI MASA PENDUDUKAN JEPANG
XVII PERUBAHAN SOSIAL PASCA KEMERDEKAAN
XVIII SEBUAH MOZAIK SEJARAH DARI MASA KE MASA
DAFTAR KEPUSTAKAAN


BAB XVIII SEBUAH MOZAIK SEJARAH DARI MASA KE MASA

Seperti warna-warni corak batiknya, Pekalongan bagaikan sebuah Mozaik Lukisan yang terbingkai dalam fase-fase kesejarahan terjadi pada bentangan waktu yang sangat panjang. Pertama, dapat ditengarai adanya pemukiman awal yang ditandai dengan peninggalan pra Sejarah yang terdapat di wilayah Pegunungan seperti ditepi sungai Rogoselo kecamatan Doro. Peninggalan tersebut merupakan tinggalan bahwa di Rogoselo sudah ada suatu pemukiman. Kemudian peninggalan pra Sejarah yang terdapat di desa Karanggondang merupakan peninggalan masa megalitik yang menandai suatu kehidupan masyarakat yang menuju kepada masa Hinda-Budha.
Kemudian peninggalan yang terdapat di Linggoasri merupakan tinggalan masa peralihan dari masa pra Sejarah (megalitik) menuju Hindu-Budha yang disebut sebagai masa pra-Hindu. Peniggalan ttersebut menunjukkan adanya penduduk yang sudah berjalan ribuan tahun mendiami daerah muara sungai pada tepian pantai Purba Pekalongan yang lima ribu tahun lalu telah meninggalkan warisan budaya masa lalu.
Aktivitas budaya masyarakat Pekalongan pada masa awal dimulai dari tempat-tempat tersebut dan berkembang sejak masa pra-sejarah, kemudian berkembang ke masa Hindu Budha dan selanjutnya memasuki masa Islam bahkan sampai masa kolonial. Peninggalan arkeologi baik pra sejarah masa Hindu maupun Islam sebagai tinggalan budaya memiliki fungsi ganda yang mengandung sifat Multidimensi dan Multisektoral. Dari peninggala-peninggalan tersebut kegunaan masa kini merupakan bangunan Cagar budaya..
Pekalongan adalah sebuah nama yang tercatat sebagai suatu Pelabuhan Niaga di Jawa pada masa Kuno. Sebelumnya nama Pekalongan menjadi pembahasan para ahli dalam menetukan toponimi terhadap pelabuhan di Jawa pada masa abad XI seperti apa yang disebut oleh cina sebagai Poe-Chua-Lung.. Sumber Cina pada abad XII telah menyebut Poe-Chua-Lung adalah suatu pelabuhan di Che- Poe (Jawa). Para ahli sepakat bahwa Poe-Chua-Lung adalah Pekalongan. Dalam melukiskan Pekalongan sebagai pelabuhan kuno, oleh Chou-Ku-Fei (1235) ditandai dengan lima puncak gunung yang berada di pulau Jawa. Disamping sebagai pelabuhan dengan adanya peninggalan kuno Hindu-Budha memberikan petunjuk bahwa pada masa itu didesa-desa Pekalongan telah ada suatu kehidupan masyarakat yang teratur.
Dalam gambaran pemukiman pada abad XIV paling tidak telah mengalami perubahan, terutama pada masa perkembangan agama Hindu ke Islam dimana Pekalongan menjadi suatu pemukiman baru setelah terjadinya sedimentasi dari pantai purba ke pantai baru.
Sumber-sumber dari Cina abad XIV pada Dinasti Ming seperti pada ekspedisi Cheng-Ho ke Jawa pada tahun 1450 telah mencatat tentang Pekalongan ketika armaddanya singgah di Pekalongan. Dimana nama Pekalongan oleh mereka disebut sebagai Wu-Chueh. Catatan H Ma-Huan sekertaris Cheng-Ho didalam Yang-Yai-Sheng-Lan (pemandangan yang indah-indah) . Disebutkan bahwa Pekalongan dihuni oleh masyarakat Cina Pribumi dan Arab.
Datangnya agama Islam di pulau Jawa yang ditandai munculnya kota-kota pantai dan kerajaan Islam seperti Demak, Cirebon,Banten dan Mataram Yogyakarta. Pekalongan menduduki posisi sangat penting, sejajar dengan kota-kota lain di jawa bagian Utara sebagai pintu gerbang perdagangan antar pulau yang oleh kerajaan Mataram dijadikan salah satu Pangkalan Pertahanan Militer. Pada masa abad XVI kepentingan Mataram terhadap Pekalongan yang disebut sebagai wilayah “Pesisir Kilen”.
Pada tahun 1622 dan 1623 Sultan Agung menetapkan Adipati Manduroredjo dan Pangeran Upasanta ,menjadi penguasa Pekalongan. Sumber-sumber Mataram tak menyebutkan tempat kedudukannya dan kapan mereka berada di Pekalongan. Akan tetapi berita meninggalnya pada saat perang melawan Batavia diberitakan bahwa mereka gugur dalam pertempuran yang mana Adipati Manduroredjo di makamkan di Kendal, sedangkan Adipati Upasanta dimakamkan di Imogiri tempat pemakaman raja-raja Mataram.
Kedudukan Pekalongan yang merupakan bagian dari “Jobonegoro” pada kekuasaan Sultan Agung memberikan petunjuk bahwa Pekalongan menjadi kesatuan wilayah administrasi dibawah kekuasaan Adipati Manduroredjo dan Adipati Upasanta , yang berlangsung hanya sampai perang Batavia (1629). Dan selanjutnya Pekalongan masih dibawah Mataram adanya pengangkatan penguasa Pekalongan yang dilakukan oleh Amangkurat I terhadap Raden Ngabei Singawangsa menjadi Adipati Pekalongan yang kemudian wafat terbunuh pada tahun1677.
Kematian Adipati Ngabei Singowongso hamper tidak diketahui oleh catatan sejarah. Kematiannya apakah dibunuh lantaran “balelo” terhadap kerajaan karena adanya pembrontakan Trunodjoyo yang saat itu telah menguasai wilayah pantai Utara sampai Cirebon. Atau sebaliknya Adipati Pekalongan Ngabei Singowongso telah menjadi korban pembunuhan pasukan pembrontak Trunodjoyo.
Terjadinya perang suksessi dikalangan keturunan raja-raja Mataram. Sejak runtuhnya kekuasaan Amangkurat I oleh Trunodjoyo hingga meninggalnya di Tegalarum menjadikan untuk sementara kekuasaan di Pekalongan kosong. Namun ketika VOC mengangkat Sunan Pakubuwono I menjadi penguasa Mataram pada tahun (1703-1719) Sunan Pakubuwono I telah mengangkat Adipati Djayadiningrat menjadi penguasa di Pekalongan. Pada tahun 1743 daerah pesisir sepenuhnya diserahkan oleh Mataram kepada Belanda. Semula kekuasaan Belanda dipesisir utara hanya terbatas pada penguasaan tanah yang dijadikan lahan perkebunan dan pertanian. Namun ketika Pakubuwono I dijadikan raja Mataram oleh VOC hamper seluruh pelabuhan-pelabuhan pantai jawa dan wewenang pengangkatan para penguasa daerah sepenuhnya ditangan VOC.
Oleh karena itupada tahun 1741 VOC telah mengangkat Tan-Kwie-Djan menjadi penguasa Pekalongan. Pada tahun itu Gubernur Jendral VOC dijabat oleh Van-Imoff. Dan selanjutnya sampai masa pra kemerdekaan hampir penguasa-penguasa yang menjabat sebagai bupati Pekalongan telah diangkat oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Bupati-bupati yang diangkat setelah Tan-Kwie-Djan adalah Raden Tumenggung Wirio Adinegoro (1823) . Kemudian pada tahun1825 dua tahun setelah Wirio Adinegoro menjabat telah digantikan oleh Adipati Wirijo Adinegoro.. Ada suatu catatan mengenai prestasi Bupati Adipati Wirijo Adinegoro selama menjabat ia telah membangun masjid Jami’ (besar). Yang dimulai pada hari Selasa Kliwon tanggal 20 Desember tahun 1825. Kemudian pada tahun 1933 masjid tersebut telah mengalami pemugaran dengan mendirikan menara. Kemudian pada tanggal 16 Oktober tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda telah mengangkat Raden Tumenggung Arjo Wirjo Di Negoro. Untuk menjadi Bupati Pekalongan..Kemudian secara berturut-turut dari tahun 1856-1878 telah menurunkan penguasa-penguasa di Pekalongan. Setelah Raden Tumenggung Arjo Wirijo Di Negoro berturut-turut pada tahun 1856 telah dijabat oleh Tumenggung Ario Wirio Dhi Negoro, pada tanggal 20 Januari tahun 1872 telah digantikan oleh Raden Tumenggung Ario Atmodjo Negoro. Dan pada tanggal 25 Juni 1878 Raden Tumenggung Ario Atmodjo Negoro digantikan oleh Raden Adipati Notodirdjo (1879-1920).
Pada tanggal 31 Maret 1879 sampai 1 Maret 1880, Raden Adipati Notodirdjo telah membangun gedung Kabupaten Pekalongan yang ditandai pada lempengan batu marmer putih yang dipasang ditembok gedung. Menurut sumber lisan disebutkan bahwa pohon beringin di Alun-alun Pekalongan tiap-tiap pohonnya diberi nama Kawedanan yang mengirim bibitnya.

Perubahan Struktur Pemerintahan (1879-1920)

Pada kekuasaan Raden Tumenggung Ario Surjo yang diangkat menjadi penguasa Pekalongan menggantikan Raden Adipati Notodirdjo (tanggal 10 Maret 1924) Struktur administrasi pemerintah telah mengalami perubahan. Adapun wilayah kabupaten disebut Regentschap. Sedangkan untuk kawedanan disebut Gewest. Gewest di Jawa Tengah terbagi menjadi:
a. Semarang Gewest yang meliputi Regentschap (Kabupaten) Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati , Jepara Grobogan.
b. Rembang Gewest yang meliputi Regentschap Rembang, Bloro, Tuban dan Bojonegoro.
c. Banyumas Gewest yang meliputi Regentschap Banjarnegara dan Purbalingga.
d. Kedu Gewest yang meliputi Regentschap Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworedjo, Kudoardjo, Kebumen dan Karanganyar.
e. Pekalongan Gewest yang meliputi Regentscap Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.

Pada tahun 1934 diadakan penggabungan yang terdiri dari beberapa kabupaten yaitu:
a. Kabupaten Batang digabung dengan kabupaten Pekalongan.
b. Kabupaten Banyumas digabung dengan kabupaten Purwokerto.
c. Kabupaten Kutoardjo digabung dengan kabupaten Purworedjo
d. Kabupaten Karanganyar digabung dengan kabupaten Kebumen

Kemudian pada masa kemerdekaaan Kabupaten Pekalongan dijabat oleh Bupati M. Soerodjo (1950 – 1957).

NAMA-NAMA BUPATI PEKALONGAN PADA MASA KEMERDEKAAN – ORDE BARU – REFORMASI

NO. NAMA PEJABAT/ BUPATI MASA JABATAN
1. M. Soerodjo 1950 – 1957
2. Kisworo 1957 – 1962
3. R.M Desman 1962 – 1967
4. R. Soetardjo 1967 – 1972
5. R. M Raharjono Probodirdjo 1972 – 1975
6. Karsono 1975 – 1981
7. Soepardi 1981 – 1991
8. Khairul Aini 1991 – 1996
9. Harsono 1996 – 2001
10. A. Antono 2001 – 2006
11. Siti Qomariyah, MA 2006 – 2011
12. Drs. A Antono, M.Si 2011 - 2016



Pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Pekalongan Di Kajen

Pada masa kemerdekaan selain prioritas pembangunan oleh pemerintah kabupaten Pekalongan diarahkan pada pengembangan keagamaan, juga adanya pemindahan ibukota pemerintahan kabupaten ke Kajen. Pada tahun 1964, saat Batang bergabung dengan Pekalongan, dan pada tahun 1966 Batang kembali memisahkan diri dan Batang menjadi Kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Batang. Pada tahun 1988, waktu bupati Pekalongan dijabat oleh Bupati Soepardi, atas keputusan Menteri Dalam Negri, pusat pemerintahan Kabupaten yang sebelumnya berada di Pekalongan Kota, harus dipindahkan ke luar daerah/ kota. Untuk itu pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan telah menunjuk kecamatan Kajen sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten.
Pilihan Kajen sebagai pusat pemerintahan kabupaten berdasarkan hasil survey konsultan yang ditunjuk dan memilih Kajen sebagai lokasi yang tepat diantara kecamatan Wiradesa dan Kedungwuni. Pemindahan ibukota pemerintahan kabupaten dari kota Pekalongan ke Kajen merujuk surat keputusan Mendagri No. 48 tahun 1986, yang kemudian berdasarkan SK Presiden Tahun 1988, Pemerintahan Kabupaten Pekalongan harus dipindah ke Kajen. Untuk itu dalam memilih lokasi sebagai pelengkapan sarana pembangunan fisik telah dibentuk suatu tim pembebasan tanah yang dikepalai oleh H. Imam Suyudi dan wakilnya Saiman. Gubernur Jawa Tengah, yaitu Soepardjo Rustam yang pada waktu itu menjabat Menteri Dalam Negeri telah setuju menunjuk Kajen sebagai pusat/ ibukota pemerintahan Kabupaten Pekalongan yang baru. Di dalam pelaksanaan pembebasan tanah dengan menggunakan anggaran dari pusat sebesar Rp. 80.000.000,- telah melakukan pembelian tanah milik warga. Pada tahap pertama pembelian tanah milik Peho (Siswo Siswanto), yang dibeli kurang lebih 2000 m2 yang tanah tersebut diperuntukkan sebagai taman barat pendopo. Kemudian pembelian tanah milik Ny. Kastuti seluas ± 4380 m2 dan 2740 m2 dengan patok No. 421 – D 11, yang sebagian tanah tersebut digunakan untuk alun-alun. Pada lokasi untuk bangunan pendopo telah dibebaskan tanah milik Ny. Sarniah seluas 1670 m2 dengan No. C 82. Dari tanah seluas 37 hektar yang berhasil dibebaskan oleh tim sebagian berada di Karang Anyar. Menurut Bapak Saiman, selama pembebasan tanah masyarakat oleh pemda kabupaten Pekalongan yang akan digunakan sebagi pusat Pemerintahan tidak mendapatkan perosalan di dalam pelaksanaannya.






















Daftar Kepustakaan

A.H. Hall. Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS No. 33 Part 2 1960, h. 32-32.
Anwairi, Hikayat Al-Arab, Wisharoh Al-Tafaqoh wa Al-Irsyad, Cairo, 1955.
Art Sharif, Encyclopaedia of Islam, Aj. Wesink, (Eds) Vol. IV S-Z, Brittle Ltd.
Attas,
Muhammad Naquib, Ranairi and Wujudiyah of 17th Century, Aceh, Singapore, Monograph of the Malaysia Brans.
Aswentari, M. N Peristiwa Berdarah 3 Oktober 1945 Di Pekalongan, tidak dipublikasikan.
Becker Judith, Gamelan Stars, Tantris Islam, and Aesthetics in Central Java, Arizona University, 1993.
Brooki, Noah, The Story of Marcopolo, The Century Co. New York, 1920.
----------------- Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Kelestarian Pengembangan Budaya Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Yogyakarta, Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002.
De Graaf H.J., Awal Kebangkitan Mataram Seri Terjemahan Javanologi, Grafiti Press.
de Tom Pires Suma Oriental, en het tijdperk van godsdinastiovergang of java, BKI CVIII, 1952.
“Geschiedenis van Indonesie “, g.j. brill, 1949
Puncak Kekuasaan Mataram Sultan Agung, PT. Pustaka Grafiti Press, 1985
Groenveld WP, Notes of the Malay Archipelago and Malacca, Compiled Chinese Sources, UBG XXXIV, 1980.
----------------- Gema Kota Santri, Edisi No. 3, 2007

Karen, JHC,
Rosseri W.H., Siwa dan Buda, Jembatan, 1982.
Keon Damien, Dictionary of Buddhism, Oxford.
Lucas E. Anton Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Dalam Revolusi, Graffiti Press,1989
Tim Penyusun
Sejarah Wonosobo Laporan Penelitian Situs Makam Ketinggrin dan Candi Rejo. Oleh Tim Penyusun Sejarah Wonosobo.
------------------- Leran (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1975).
Mahyudin
Haji Yahya, Sejarah Orang Sayid, Pahang, Dewan Bahasa Kuala Lumpur.
Mulyana Slamet, Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi, Idayu, 1981.
Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University.
Sayid Alawi
Tahir Al-Hadad, Uqud Al-Almas, Op. Cel., pp, 82-87.
Sayid Muhammad
Salim Al-Atis Azis, Al-Mul wa Fath Al-Wisil, Malaysia Pres, Berkat, Singapura, 1974.
Sq. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Research Institute Ltd. Singapore, 1960, h. 94.
Schrieke, B Indonesian Sociology Study part II; Enrealm In Early Java Van Hove, 1959
Taruno Maryono, Babad Demak Syeik Meloyo Surakarta, 1980.
--------------------- Wawancara Dengan Para Tokoh, Pejuang dan Keagamaan oleh Tim Penulis Mozaik Sejarah Pekalongan
Zoetmulder,
PJ. (terjemahan Dick Hartoko),
Manunggaling Kawulo Gusti Phanteisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk, 1990.
-------------------- Babad Tanah Jawi, Salinan Meinsma Babad.
-------------------- Babad Banten, Salinan milik pak Gogo Sendjadiredjo Kaudjo – Serang thn 1206
-------------------- Babad Tjirebon; Uitgave Inhoudopgave en noten door wijlen, Dr J. L. A. Brandes met inleiding en Bij behorenden tekst Uit gegeven door Dr Rinkes V. B. G. 1914
-------------------- Serat Tjentini; Bataviaasch genootschapvan kunsten en wetwnschappen XXXIII 695 –I-II. Salinan.
-------------------- Babad Mataram Sultan Agung no. K.G.B.118 halaman, Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1969.
-------------------- Purwaka Tjaruban Nagari, salinan, naskah asli pada Pangeran Sulaiman Soelaningrat Kaprabonan Tjirebon 1720.
Purbatjaraka, Riwayat Indonesia I-II, Jakarta, 1962.
Pemerintah
Kabupaten
Pekalongan Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, 2001

Haan .F De, “de laaste der mardijkers B.K.I”, (afbeel-73 1917 pg 219-254).
Leur J.G Van, “Indonesian trade and society. Essays in Asia social and economie history”, The Hague – bandung 1955.
Sutarga
Moh. Amir, Prabu Siliwangi, Bandung 1965.
Atja, Tjerita Parahiangan, Yayasan Kebudayaan Nusalarang; Bandung 1968..
De Jonge
jhr mr. jkj, de opkomst van het nederlandssche in oost indie 1595-1610 eerst deu 1862 (MDCCL XII) gravenhage martinus nijhoff. Tweede deu MDCCLXX derde deel MDCCCLLXXII veierde deu MDCCLXIX.
---------------- Diponegoro, divisi 397.399.420.427.
---------------- Diponegoro Pangeran (putera Pakubuwono 134-8265)
Rijcloff
van goens, Ambassade naar den soesoehoenan mataram in 1651 tbg XVII 1927 af 1-2 pg 154-171.
---------------- Regering almanac van nederlandsch, India (1820-1850)



BAB XVII PERUBAHAN SOSIAL PASCA KEMERDEKAAN

Secara umum masyarakat Indonesia yang baru mengalami kemerdekaan masih merasa khawatir akan datangnya pendudukan Belanda kembali. Namun secara sosiologis nilai-nilai hidup masyarakat tidak dapat berubah. Bilamana ada perubahan tidak bisa berlangsung cepat. Ada perubahan sosial selama penjajahan baik Jepang maupun Belanda, yaitu orang yang tadinya dalam ketakutan setelah merdeka ketakutan itu menjadi lenyap.

Pelajaran semangat dan kesederhanaan yang diajarkan oleh jepang masih terasa pengaruhnya sampai tahun 1950. Sehingga masa itu masyarakat Indonesia masih hafal akan istilah-istilah Jepang yang berkaitan dengan alat-alat perjuangan semisal Gunden, peralatan telpon untuk lapangan, Kyoten yaitu alat untuk pertahanan terakhir dan kata-kata Jusaken dan Henkan.
Kemudian dalam penilaian status masalah kedudukan, jabatan maupun pangkat merupakan lambang-lambang yang masih menjadi kebanggaan dan kebesaran seseorang. Namun dalam perkembangan di bidang ekonomi kelas pemsaran yang selama ini dipandang asing terasa sekali pengaruhnya. Barang-barang teknologi yang dianggap baru dan datang dari luar telah mempengaruhi perubahan terhadap orientasi masyarakat yang sebelumnya masih bertahan kepada semangat kesederhanaan, dan bergeser kepada kebendaan yang oleh mereka dijadikan sebagai lambang kebesaran.
Masalah lambang status ynag mengacu pada penilaian kebendaan ini juga terjadi pada masyarakat di desa-desa. Yang mana status seseorang dapat diukur melalui luasnya kepemilikan sawah, bukan lagi terlihat mampu ataupun tidaknya seseorang. Sementara kedudukan kelas konsumen bukan lagi diukur dengan kemampuan membeli barang-barang tersebut. Sebab apabila tidak mampu membeli kebesaran semacam itu statusnya hanya sebagai penonton.
Perubahan ke arah kebendaan ini berkaitan dengan hubungan ekonomi dari negara mana yang paling besar memasukkan barang-barangnya hingga dapat mempengaruhi perubahan mentalitas yang mudah mendatangkan pengaruh budaya asing. Perubahan keadaan setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan adanya RIS, maka diadakan hubungan pusat dan daerah. Hubungan ini ada yang berjalan mulus tanpa masalah, ada juga yang sulit diatasi oleh pusat. Seperti yang terjadi di Karesidenan Pekalongan, berkaitan dengan Peristiwa Tiga Daerah. Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi pada tahun 1945 menimbulkan pro dan kontra antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Apa yang terjadi di daerah Karesidenan Pekalongan yang disebut Peritiwa Tiga Daerah adalah masalah politik daerah yang menimbulkan adanya revolusi sosial pada saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945.
Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah, yaitu Pemalang, Tegal dan Brebes di Karesidenan Pekalongan ini oleh Anton E. Lucas digambarkan sebagai peristiwa sosisal politik yang sangat mempengaruhi sikap pemerintah pusat. Karena berlangsung pada masa seluruh bangsa Indonesia sedang berevolusi mengusir penjajah dalam usaha memperoleh kemerdekaannya.
Apa yang menyebabkan peritiwa tersebut terjadi yaitu dengan memahami faktor penyebabnya yang telah diuraikan oleh Anton E. Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Dalam Revolusi.
Peristiwa Tiga Daerah terjadi di luar kota Pekalongan yaitu di daerah Comal, Pemalang, Tegal dan Brebes, yang merupakan sentra-sentra daerah pabrik gula maupun sandang yang dikuasai oleh Belanda. Daerah itu selama ini menjadi basis gerakan, dikarenakan adanya tekanan masalah ekonomi dan politik. Seperti kita sebutkan dalam buku ini terbentuknya kelas pemasaran pada masa kolonial, bahwa golongan Priayi, Pamong Praja, Kepala Desa maupun golongan elite Birokrat adalah perpanjangan tangan Pemerintah Belanda. Ketika sistem tanam paksa diterapkan, mereka dijadikan pejabat kapitalis yang bertugas mengurus sewa-menyewa tanah dan sebagai pemungut pajak kolonial (curvee).
Pergerakan yang terjadi di Karesidenan Pekalongan dimotori oleh kelompok kaum pergerakan dari veteran eks-Digulis, yaitu mantan pemberontak PKI yang pada tahun 1926 dibuang ke Digul. Dan pada bulan Agustus tahun 1945 bersama-sama kaum Nasionalis memainkan peranan besar memimpin kelompok lain untuk mengadakan Revolusi Sosial di Tiga Daerah.
Dalam perjuangan kemerdekaan, kelompok ini telah menyebarkan berita prokamasi yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka juga yang mengibarkan bendera merah putih di Tiga Daerah Karesidenan Pekalongan dan mengirimkan utusan ke Jakarta.
Dampak dari pendudukan Jepang dengan beban berat yang ditimpakan rakyat wajib setor padi, wajib kerja paksa (romusha) ditambah lagi sebelumnya, pada masa kolonial dengan tanam paksa melalui kaum Elite Birokrat, Kepala desa, Camat atau Pamong Praja serta kelas pemasaran Tionghoa, telah meninggalkan kesan kebencian yang mendalam.Sehingga pada saat terjadinya kerusuhan sosial yang disebut mereka sebagai (revolusi) menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat. Sasaran mereka adalah menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintah seperti Camat, Wedono, Kepala Desa, Bupati dan pemimpin tradisionil yang dianggap terlalu keras terhadap rakyat dan setia kepada Belanda maupun Jepang.
Dan yang lebih lagi dalam Revolusi di wilayah Pekalongan ini terjadi adanya kekerasan terhadap kelompok Tionghoa dan Indo-Belanda yang kebanyakan tinggal dan menguasai pabrik-pabrik gula Belanda. Oleh karena itu, ketika peristiwa berlangsung dengan caranya sendiri, orang-orang seperti Kepala Desa, Camat maupun Wedono telah dibunuh. Para Indo-Belanda disiksa sebelum dibunuh, sedangkan toko-toko Tionghoa dijarah dan hartanya dirampok.
Gerakan yang menimbulkan kerusuhan di Tiga Daerah itu sampai pada puncaknya, ketika Residen Pekalongan Suprapto diturunkan diganti oleh kaum pergerakan dengan mendudukkan Sarjio yang komunis. Pengangkatan Residen Komunis tersebut tidak berlangsung lama, setelah diketahui bahwa gerakan Revolusi Tiga daerah yang berhasil mengobarkan rakyat dengan kerusuhan sosial telah didalangi oleh kelompok gerakan bawah tanah PKI eks-Digulis. Gerakan itu akhirnya mendapat perlawanan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang sebelumnya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Dengan tindakan militer, TKR telah melucuti 50 pengawal Tiga Daerah dan menangkap Residen Komunis Sarjio, kemudian menyusul sampai 178 orang yang ditangkap dan dipenjarakan.Dalam melawan Gerakan Tiga Daerah yang dipelopori oleh kaum radikal revolusioner gerakan bawah tanah komunis, berakhir dengan dijatuhkannya hukuman melalui proses pengadilan yang cukup lama. Sejak itu daerah Karesidenan Pekalongan menjadi tenang. Sampai datangnya serangan Agresi Militer Belanda terhadap Republik Indonesia (pada aksi militer Belanda 21 Juli 1947), dimana serangan Belanda itu tidak sampai masuk Pekalongan, akan tetapi pengadilan pemimpin Tiga Daerah belum juga selesai.
Itulah sebabnya oleh Pemerintah Pusat memandang bahwa Peristiwa Tiga Daerah sebagai gerakan yang menentang Pemerintah. Dan Presiden soekarno menganggap Revolusi Tiga Daerah yang menimbulkan kerusuhan sosial di Talang, Tegal, Pemalang, Brebes dan Comal disebut sebagai “Negara Talang”.

Perjuangan melawan Belanda

Belum sampai luka dari pendudukan Jepang sembuh, pada bulan Juli 1947 telah terjadi aksi militer Belanda, yang menimbulkan pemerintahan Karesidenan Pekalongan diungsikan ke Selatan wilayah pedalaman. Sementara itu, para pemimpin peristiwa tiga daerah sedang dalam proses pengadilan. Dengan keadaan yang tidak menentu, Hakim Soeprapto yang bertugas mengadili pinmpinan tiga daerah, sambil membawa berkas pengadilan terpaksa bersama-sama pejabat karesidenan Pekalongan memindahkan pusat Pemerintahannya ke Lebak Barang.
Para pejabat karesidenan dari kabupaten Pekalongan ke Lebak Barang antara lain, Wali Al Fatah (Residen Pekalongan), Soedjono (Asisten residen Pekalongan), Agoes Miftah (Sekretaris Residen Pekalongan), M Soerodjo (Bupati Pekalongan), R. Soepeno (Patih Pekalongan), R. Kasim Brotodirdjo (Kepala Djawatan Penerangan Pekalongan), Soeprayitno (Patih Pekalongan), Moehidin (Sekretaris Bupati Pekalongan), Dr Moeljadi (Kepala Rumah Sakit Pekalongan), Tobing (Kepala LP Pekalongan), R. Tjokrowidagdo (Wedono Pekalongan), Mochtar (Wedono Comal) dan para Pejabat Militer antara lain: Major Brotosewoyo, Kapten Soegardjo, Kades Kaslan dan para staf pemerintahan serta masyarakat lainnya.
Pusat Pemerintahan Darurat berlangsung selama satu bulan. Selama itu pula para pejabat menggunaklan rumah penduiduk sebagai tempat tinggal dan menjadikan rumah milik seorang Belanda bernama Thomas, sebagai Kantor Residen dan Kantor Bupati. Akan tetapi semula tempat yang dianggap aman ternyata tidak lepas dari incaran penjajah Belanda. Pada saat itu terjadi penyerangan oleh tentara Belanda yang menyebabkan 2 orang pegawai staf pemerintahan Pekalongan, masing-masing Soekatyo dan Soekono gugur. Penyerangan tentara Belanda tersebut, mengakibatkan pos pemerintahan menjadi kacau, dan berpindah-pindah tempat. Akhirnya para pejabat dan pengungsi memutuskan untuk mencari tempat diwilayah Selatan yaitu Wonosobo dan Magelang.

Serangan Dari Beberapa Penjuru.

Ketika Belanda mulai menduduki kembali ke daerah Pekalongan hampir dikatakan sangat mengejutkan . Sebab tidak disangka-sangka Belanda yang diramalkan tidak akan masuk Pekalongan ternyata telah mengadakan bombardir dan penyerangan memasuki Pekalongan. Dengan adanya Belanda memasuki kota Pekalongan terpaksa rakyat dan pejabat pemerintahan harus mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman. Serangan Belanda terhadap kota Pekalongan dilakukan dari berbagai penjuru, baik dari udara, darat maupun laut. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang beberapa bulan setelah Proklamasi telah menghadapi Gerakan Tiga Daerah, pada tahun 1948 harus berhadapan dengan tentara Belanda.
Tentara Keamanan Rakyat yang terdiri dari Resimen 17 dibawah pimpinan Kapten Soemantoro pada awalnya telah berusaha membendung serangan Belanda. Dan pasukan tersebut masih bertahan didaerah pinggiran kota. Akan tetapi serangan Belanda dari arah barat dan utara telah mendesak pasukan tentara rakyat mundur kearah timur. Salah satu dari strutup yang dipimpin Kapten Soemantoro terjadi kontak senjata dan memaksa pasukan TKR terdesak mundur. “Pada waktu itu serangan Belanda sangat gencar. Belanda terus mengejar hingga memasuki wilayah Warungasem,Pandansari, Batang . Pasukan kami terus dikejar hingga memasuki daerah Krompeng, Talun terus ke kecamatan Doro. Saat beristirahat di Galang Pengampon, Wonopringgo,teman kami bernama Saefudin gugur ditembak Belanda. Pasukan terus bergerak kearah Dukuh Sewawar desa legok gunung dan berlanjut kedesa Pododadi dan Desa Lolong kecamatan Karanganyar.”.Demikian tutur bapak Tarmudji salah satu pelaku.(Catatan wawancara dengan bapak Tarmoedji salah seorang pelaku dari anggota Resimen 17 dengan Gema Kota Santri edisi no: 03 /Th XII/2007).

Kontak Senjata Di Lolong

Bapak Tarmoedji mengatakan bahwa di Lolong, komandan telah memerintahkan untuk bersiap diri melanjutkan perjalanan. Akan tetapi pasukan belum mulai bergerak, jam 8 pagi mendadak Belanda telah membrondong dengan senapan. Kapten Soemantoro berteriak lantang memerintahkan siap senjata dan terus bergerak mencari tempat yang aman. Dengan menyusuri sungai pasukan pejuang berusaha menghindar. Dibawah hujan peluru Belanda, pasukan berusaha menerobos Lolong terus naik keatas meninggalkan sungai memasuki hamparan sawah di Dukuh Jambe. Sementara itu pasukan Belanda sudah menghadang dengan tembakan-tembakan gencar. Dibawah hujan peluru Belanda, pertempuran hidup mati tak terhindar lagi. Para pejuang ada yang berhasil lolos, dan beberapa orang ada yang tertangkap hidup di pihak musuh. Diantaranya 2 orang yaitu Moelyono yang memegang senjata metraliur dan seorang pemegang Loop Mortir. Sedang sisa pasukan yang lain telah menyelamatkan diri kedesa Selong terus ke Mendolo, Lebak Barang. Kemudian pasukan perjuangan melanjutkan perjalanan sampai di Petung kriono. Didalam laporan kepala desa Lolong setelah terjadinya Clash II dikatakan pertempuran Lolong disamping pembakaran desa oleh Belanda, ke empat orang penduduk Lolong yaitu Sukiyo,Kasan, Warno, dan Surya telah ditangkap dan gugur ditembak Belanda.


BAB XVI MASA PENDUDUKAN JEPANG

Setelah Belanda mngalihkan Hindia-nya kepada Jepang, tanggal 8 Maret 1942 maka pada tanggal 17 Maret, Jepang tiba di Pekalongan. Pada saat wilayah tersebut pulih dari kekacauan dan huru hara, ketika jatuhnya pemerintahan Kolonial. Kehancuran Belanda telah meninggalkan pabrik-pabrik milik Belanda diantaranya: Pabrik Gula di Comal, di Tegal, pabrik Minyak/ BBM (Batavische Petroleum Mascapaiy) dan Pabrik Tekstil di Tegal. Dengan jatunya Belanda, para Pangreh Praja telah kehilangan tulang punggung kekuasaan. Cina-cina yang tadinya menjadi perpanjangan tangan Belanda, dalam distribusi ekonomi juga ikut menjadi sasaran utama kemarahan rakyat. Sampai Jepang mulai melakukan langkah-langkah politiknya, masa rakyat masih memburu para pamong dan melakukan penjarahan pada pusat penggilingan beras dan toko-toko Cina, seperti di Pemalang dan Comal.

Pemerintahan masih dikuasai oleh penjaga kota (Staadswacht) akan tetapi polisi tak mampu mengatasinya. Penduduk Cina banyak yang kabur, mencari perlindungan di kantor pemerintah. Kosongnya pengawalan Belanda, membuat narapidana menjebol penjara dan kabur bergabung dengan arus pemberontakan umum.

Penerapan Politik Jepang

Semboyan “Asia Timur Raya” adalah slogan Jepang dalam menerima tugas dari Tokyo untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Asia Timur di bawah pimpinan Dai Nippon. Jalan tercepatnya adalah dengan menguasai sumber daya alam dan manusia guna memenuhi kebutuhan tentara Jepang. Beberapa kebutuhan pokok di kawasan Asia, menyebabkan Jepang melakukan politik yang disebut “mencukupi kebutuhan sendiri” (Genji Jikatsu) di wilayah pendudukan.
Program politik di bidang ekonomi Genji Jikatsu ini dilakukan pada saat posisi Jepang dalam peperangan di Asia Tenggara mulai melemah. Kebijaksanaan inilah yang mendasari kewajiban paksa mengumpulkan semua hasil perkebunan oleh pemerintahan Jepang dengan pembagian dan penjatahan surplus produksi pertanian rakyat disamping perekrutan tenaga kerja paksa, untuk berbagai proyek di wilayah masing-masing.
Ketakutan akan serangan dari selatan, mendorong Jepang melakukan pengumpulan cadangan logistic, mesin dan bahan pangan. Selebihnya, di Pekalongan asisten Residen Baru Jepang yang bernama Toshio Ota, mengganti nama karesidenan Pekalongan menjadi Pekalongan Shu. Yang wilayah operasionalnya meliputi Pekalongan, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes.
Di dalam kebijaksanaan politik pengumpulan hasil pertanian rakyat, yang pertama adalah kewajiban paksa menyetor padi kepada penguasa Jepang. Kewajiban paksa pengumpulan padi tersebut, petani dipaksa harus meyetorkan langsung kepada penggilingan. Mereka tidak diizinkan membawanya ke rumah, kecuali untuk kepentingan benih dan makan saja. Selebihnya harus disetorkan ke Kepala Desa atau Carik. Dengan begitu pejabat desa terlibat langsung dengan paksaan. Laporan Jepang dari “Problem of Reis”, yang ditulis oleh Ben Anderson, 11 Oktober 1966, menggambarkan system distribusi dan pemasaran di wilayah Pekalongan sebagai berikut:
- harga padi di wilayah karesidenan Pekalongan, awal Januari 1944 adalah Rp.4 per Kg. Di pusat pengumpulan terjadi penyusutan, akhirnya petani hanya menerima Rp.1,88 sen, sementara itu para pemilik modal, memborong dan menjual di pasar gelap dengan harga Rp.40 per Kg.
Dengan sistem distribusi yang buruk, disamping ada yang dirugikan, terutama rakyat petani, para pengumpul seperti Lurah atau Carik dapat melakukan korupsi dan penyunatan dari jatah pengumpulan beras. Di lapangan, kepada Chou Sangai In menunjukkan bahwa distribusi beras secara teratur hanya dapat dinikmati terbatas pada pegawai negeri. Adanya ketimpangan pangan dan pengumpulan padi mengakibatkan keadaan rakyat Pekalongan maupun di Pekalongan sangat buruk.
Kondisi di desa-desa selama pendudukan Jepang, sedemikian buruk yang mendorong rakyat berpaling mencari bahan pangan pengganti antara lain singkong yang dijadikan Bolet, umbi Budur, yang mula-mula direndam dengan air garam karena getahnya beracun lalu dimasak untuk di makan. Bonggol pisang juga dimasak untuk dimakan, demikian pula daun kelapa muda yang disebut Bulung.
Organisasi wanita yang disponsori Jepang yaitu Fujinkai, telah mengajarkan masakan yang tak lazim, tetapi menurut Jepang memberikan gizi yang tinggi. Yaitu bagaimana memasak bekicot dan roti Asia yang merupakan adukan gula merah dan bekatul. Dan dari akibat politik pangan Jepang inilah telah menjadi gambaran sehari-hari adany orang mati karena kelaparan, penyakit kekurangan gizi, yang mengakibatkan badan menjadi tulang belulang dan penyakit pes muncul dimana-mana. Yang mana penyakit ini dahulu oleh Belanda berhasil ditumpas.

Kekurangan Sandang

Suatu saksi yang tercatat di dalam buku harian yang di tulis pada awal tahun 1940, adalah dari DR. Muryaman, yang disampaikan kepada DR. Anton Lucas mengenai masalah sandang pada masa Pemerintahan Jepang. Pembagian penyerahan tenaga, penyerahan bahan-bahan makanan yang semua dirasakan sedalam-dalamknya oleh penduduk. “Perasaan dendam ini ditujukan kepada Pangreh Praja yang sebenarnya menindakkan perintah dari atas, pembagian jatah sandang untuk penduduk dilakukan tidak semestinya…”(Peristiwa Tiga Daerah, hal. 53). Pada awal masa pendudukan pemerintahan Jepang, mengambil alih pabrik tekstil di Jawa termasuk perusahaan Belanda di Tegal. Bahan tersebut didistribusikan kepada orang sipil hanya bila ada kelebihan setelah kebutuhan tentara terpenuhi. Di karesidenan Pekalongan, penjatahan bahan sandang disesuaikan dengan setoran beras. Penjatahan sangat dibatasi bagi mereka yang tidak dapat menjual padi. Pada akhir pendudukan, penyerahan ini diberhentikan sama sekali. Dalam penjatahan sandang yang terbatas itu, hingga sampai rakyat didistribusikan sangat tidak adil. Penimbunan bahan sandang dan pangan dilakukan oleh para pejabat. Pengurus Koperasi yang mendistribusikan bahan sandang mengambil 20 %, dan keluarga Camat secara utuh mendapatkan jatah sandang. Sementara rakyat dibiarkan telanjang karena tiada pakaian untuk menutup tubuhnya, mereka terpaksa menggunakan bahan karung goni. Sementara keluarga Lurah memperoleh bahan pakaian secara berlebihan.

Proyek Kerja Paksa

Penguasa Jepang dan pangreh Praja dengan proyek Romushanya telah membuat karesidenan Pekalongan sebagai proyek kerja raksasa. Sejumlah 228.000 orang diperkejakan di luar daerah. Tetapi karena kesulitan sarana transportasi keberangkatan kapal yang tertunda, menjadikan proyek tersebut terhambat. Pengerahan kerja paksa (romusha) melibatkan pimpinan pergerakan dengan pangreh Praja beserta pemerintah Jepang ditunjuk menjadi pelaksana. Di Pekalongan, Kromolawi seorang Soekarnois angkatan lama selaku pimpinan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) merupakan pelaksana pengiriman romusha keluar karesidenan Pekalongan. Di dalam pengiriman romusha tersebut banyak yang tidak kembali. Namun bagi para pelaksananya yaitu tokoh-tokoh pergerakan merasa puas dengan proyek tersebut. Tan Malaka dalam kesaksiannya dari penjara ke penjara memberikan keterangan sangat berbeda mngenai kesejahteraan romusha yang diperkerjakan di Banten Selatan. “Sukarelawan dari Pekalongan dan Kedu adalah anggota Seinendan. Lebih dari 15.000 romusha yang bekerja di tambang itu dan di antara 400 sampai 500 orang setiap bulannya meninggal karena penyakit kurang gizi.

Perlawanan Dengan Kekerasan

Peristiwa yang menciptakan keresahan dan perlawanan terhadap para Pangreh Praja disebabkan oleh perlakuan para elit tradisionil yang tidak melindungi rakyat dari kesengsaraan. Oleh karena itu selama pendudukan Jepang di beberapa daerah terjadi perlawanan dengan disertai tindakan kekerasan dari aparat atas nama tangan-tangan Jepang. Perlawanan oleh para petani ini, yang menjadi dasar alasan adalah bahwa mereka tidak mampu lagi menyetor padi. Memasuki tahun 1944, dukungan semakin bertambah bagi setiap aksi melawan penguasa Jepang, kaum elit birokrat menjadi alat penindas bagi Jepang. Perlawanan politik yang terorganisir mulai nampak menjelang tahun 1945, beberapa pemimpin pergerakan dari Tiga Daerah dari Tiga Kelompok langsung terlibat dalam gerakan bawah tanah. Kelompok gerakan bawah tanah, dilakukan oleh kader-kader PKI. Selain mendapat bantuan dari gerakan komunis Internasional yang membawa garis Demitrov mengenai pembentukan Front Demokrat melawan Fasis, pemerintah Belanda juga membantu seorang anggota pergerakan bawah tanah Amir Syariffudin, yang kemudian diketahui oleh pihak Jepang melalui jaringan mata-mata. Kondisi buruk yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kebijakan ekonomi perang Jepang sangat mengurangi kemampuan para Pangreh Praja untuk memimpin rakyat. Pada masa pendudukan, para Pangreh Praja tidak lagi mendapatkan kepercayaan lagi dari rakyat, sebaliknya kaum pergerakan bawah tanah, seperti Negen Broeders, Kelompok Barisan Pelopor, dan Koperasi Rakyat Indonesia telah muncul hingga waktunya kejatuhan Jepang. Kelompok perlawanan yang lain kecuali komunis tidak pernah melakukan perlawanan terhadap fasis Jepang. Kepemimpinan Barisan Pelopor sangat menonjol karena salah satu masalah penting di dalamnya terdapat anggota dan pimpinan dari Nasionalis Kiri, yang semuanya eks-Digulis veteran, dan korban dari pemberontakan tahun 1926.

Saat Saat Menjelang Kemerdekaan

Tanggal 14 Agustus 1945 jam 9 malam, beberapa anggota Barisan Pelopor Tegal, melalui radio gelap baru mendengar siaran bahwa Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu, berita Jepang tersebut disiarkan melalui radio Saigon. Kemudian berita Australia menyebutkan bahwa Jepang telah menyerah. Meskipun siaran pernyataan menyerahnya Jepang oleh Kaisar sudah didengar Dunia, akan tetapi tidak diterima oleh pimpinan dan tokoh-tokoh Indonesia, sampai petang hari berikutnya tanggal 15 Agustus, pemuda di Jakarta bahwa Jepang menyerah tanpa syarat melalui siaran radio San Fransisco. Karena Jakarta – Semarang dapat ditempuh selama 8 jam, maka kereta api Jakarta – Semarang telah dipenuhi pamflet-pamflet yang berisi tulisan: “Merdeka atau Mati”. Pada tanggal 19 Agustus, Negenbroeders di Tegal segera mengirimkan anggotanya untuk mengikuti perkembangan di Jakarta. Akan tetapi ketika mereka sampai Jakarta, mereka tidak menemukan pemimpin dari asrama Menteng 31, karena mereka berada di Rengasdengklok. Tanggal 20 Agustus, kurir dari Tegal kembali dengan membawa plakat-plakat yang berisi teks Proklamasi yang tercetak di atas kertas.
Di tengah-tengah suasana Proklamasi, sebaliknya para Pangreh Praja masih dingin-dingin saja karena tidak memiliki sumber informasi, kecuali menunggu berita resmi dari pemerintah. Diketahui bahwa perjanjian antara sekutu di Potsdam dekat Berlin yang dicapai pada tanggal 16 Agustus 1945 antara lain menyebutkan akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Ini mendorong Pemerintah Jepang berjanji akan cepat memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Soekarno-Hatta.
Keputusan yang diambil di Potsdam sangat berpengaruh banyak pada keterlambatan kemerdekaan. Lebih-lebih komandan Jepang pada tanggal 18 Agustus menyetujui keputusan Potsdam. Sementara para Pangreh Praja masih tetap optimis sesuai dengan keputusan Potsdam bahwa Indonesia akan dikembalikan kepada Belanda. Mereka hanya menunjukkan sikap “tunggu dan lihat”, karena masih berharap tentara sekutu akan segera tiba. Yang menjadi keresahan rakyat, meskipun Jepang dinyatakan sudah menyerah akan tetapi mereka masih berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan kekuatan senjata. Karena sampai tanggal 18 Agustus tidak ada kepastian Proklamasi untuk mengibarkan bendera merah putih, kaum pergerakan di Pekalongan dan Pekalongan masih bimbang untuk memasang bendera merah putih. Para elit birokrat tetap melarang pemasangan bendera merah putih sehingga segera diperintahkan ” turunkan itu”, mereka juga takut akan reaksi Jepang apabila gerakan revolusioner melnjutkan kampanyenya menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan bendera merah putih. Faktor lain yang menyebabkan hubungan dengan kaum perjuangan itu memburuk, adanya kecurigaan gerakan subversive yang menyambut baik kembalinya penguasa Belanda di kalangan Para pangreh Praja. Menurut informasi dari gerakan perjuangan hal ini ada kaitannya dengan gerakan untuk kemenangan “VVV” (Vak Voor Viktorie) yang dulu dipimpin oleh asisten residen Belanda ArtCoert pada tahun 1940 sesudah Jerman menduduki Belanda. Di Pekalongan tersiar desas-desus tentang terbentuknya komite rahasia pejabat-pejabat tinggi Pangreh Praja menyambut kedatangan Belanda (Comitee Van Oonsvangt) dan konon Bupati Pekalongan R.A.A Suryo yang menjadi bupati sejak tahun 1924 juga terlibat.




Peristiwa Berdarah 3 Oktober 1945

Baru pada tanggal 22 Agustus 1945, di kantor Shu Choo (residen) oleh Jepang diumumkan bahwa sekutu akan datang tanpa menyinggung proklamasi Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apalgi membicarakan penyerahan senjata dan kewenangan pemerintahan kepada bangsa Indonesia. Sementara pada tanggal 19 September 1945, di Jakarta belangsung rapat raksasa di lapangan Ikada. Atas undangan Sukarni, dua pemuda dari Pekalongan, yaitu A. Kadir Bakri dan Sutarto ikut hadir. Di Pekalongan telah disepakati untuk mengadakan perundingan dengan pihak Jepang mengenai pelaksanaan pemindahan kekuasaan, sebagaimana ditetapkan dalam dictum Proklamasi. Tiga orang yang terdiri dari: “Mr.Besar”, DR. Sumbaji dan DR. Maas, telah mengahadap Shu Cho Kan, guna menentukan kapan perundingan bias diadakan. Setelah terjadi pembicaraan, perundingan ditetapkan tanggal 3 Oktober 1945 jam 10 pagi bertempat di markas Kem-Petai. Tuntutan dari pihak Indonesia terdiri dari 3 pasal yaitu: a. pemindahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada Indonesia dilaksanakan dengan damai dan secepatnya. B. semua senjata yang ada di tangan Jepang baik yang ada di Kem-petai, Kai Bitai maupun yang ada di tangan Jepang Sakura harus diserahkan kepada pihak Indonesia. Pihak Indonesia memberikan jaminan kepada Jepang bahwa mereka akan dilindungi dan diperlakukan dengan baik dikumpulkan menjdi satu di markas Kai Bitai.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, pada perundingan itu, sejak pagi rakyat Pekalongan dan sekitarnya dalam kelompok besar maupun kecil berduyun-duyun membanjiri jalan besar di markas Kem Petai. Di dalam suatu gerombolan itu barisan eks-Heiho dan mantan pasukan PETA menyatu dengan rakyat. Sampai pada jam 9 pagi di tempat itu sudah penuh menjadi lautan manusia, mereka berpakaian siap tempur dengan lencana merah putih sambil membawa bambu runcing, parang, pentungan, potongan besi dan lain-lain. Juga ada yang membawa minyak tanah untuk membakar markas Kem Petai jika dipandang perlu. Di antara rakyat ini juga ada dari kepolisian dengan pakaian preman antara lain: Suwarno, Sunaryo, Utarman dan teman-temannya. Pada peristiwa itu juga hadir seorang tokoh ulama Kyai H. Safii, yang ikut serta mengerahkan dan memimpin massa rakyat. Pada saat yang sama di tengah perundingan di Gedung Kem Petai, telah terjadi penyandraan oleh orang-orang Jepang dari kelompok Pemerintahan dan kelompok Sakura yang disekap oleh Massa di salah satu ruangan kantor Shu Choo. Mereka didudukkan dengan dijaga ketat oleh pasukan pemuda yang jumlahnya ratusan yang masing-masing membawa senjata tajam. Para sandera ini akan dibunuh jika perundingan sampai gagal. Beberapa saat kemudian terjadi tembakan metraliyur Jepang, banyak rakyat yang menjadi korban dan mereka bertumbangan akibat penembakan. Kerumunan massa tersebut banyak yang meninggal seketika diamping ada juga yang luka parah yang oleh beberapa relawan telah dibawa ke Rumah Sakit Keraton, selama peristiwa tersebut ada 37 orang yang gugur disamping 12 orang yang menjadi cacat.
Yang cukup mendebarkan hati dalam keadaan yang sanagt kritis, tiga orang pemuda yang pemberani naik ke atas genting dengan maksud mengibarkan bendera merah putih, belum sempat bendera itu berkibar, tiga pemuda itu yaitu: Rahayu, Mumpuni dan Bismo telah tertermbak oleh Jepang. Tidak dapat dipastika berapa yang meninggal, karena yang mati dan luka-luka sempat dilarikan. Namun ruangan itu sendiri yang ditandai oleh genangan-genangan darah cukup menjadi saksi, banyaknya korban di pihak Jepang. Di dalam suasana yang gawat tersebut, sekeliling markas sunyi sepi. Kelompok delegasi dan pemuda berusaha mengatasi keadaan, mereka mencoba meminta bantuan dari Semarang, sebab di khawatirkan pada malam harinya, Jepang akan mengadakan pembalasan serta penangkapan-penangkapan. Dalam pembicaraan interlokal dengan B. Suprapto diperoleh jawaban bahwa Semarang tidak dapat membantu karena situasinya sedang menghadapi pertempuran di Ambarawa. Pada akhirnya, dengan perantara telpon, eks Dai Danchoo Iskandar Idris telah mengadakan pembicaraan dengan eks-Dai Danchoo Sudirman di Purwokerto untuk segera menghubungi Bu Tai Choo yang membawahi bala tentara Jepang seluruh Karesidenan Banyumas dan Pekalongan supaya menarik seluruh tentara Jepang keluar dari Pekalongan.

Krisis Sandang, Lahirnya Organisasi Hokokai, dan Batik Djawa Hokokai

Perang Dunia II telah mengakibatkan situasi perdagangan mengalami ke-kacauan dan terhenti, baik ekspor maupun impor. Adanya situasi yang sedemikian rupa itu, menyebabkan Jepang juga menerapkan sistem penjatahan bahan sandang selain pengaturan tentang pangan, romusha dan sebagainya, sebagai bagian dari politik swasembada di wilayah pendudukan. Jepang mengetahui bahwa selama masa kolonial rakyat di daerah pendudukan tidak sempat lagi memikirkan pakaian, sehingga sebagian besar rakyat hanya memakai penutup badan seadanya untuk sekedar menutupi badan daripada telanjang.
Sejak awal pendudukan, sepuluh pabrik tekstil di Jawa telah diambil alih oleh Jepang termasuk pabrik tekstil terbesar milik Belanda yang ada di Tegal. Pabrik tekstil di Tegal itu telah menghasilkan bahan kain seharga 15 juta rupiah setiap tahunnya dan mempekerjakan tidak kurang dari 12000 buruh pribumi. Tekstil hasil pabrik di Tegal itu sebagian didistribusikan oleh Jepang kepada rakyat di Karesidenan Pekalongan melalui para pamong yang diserahi tugas mebagikan jatah sandang. Namun karena jatah untuk rakyat banyak yang dikorupsi oleh petugas pamong, maka pembagiannya tidak merata, sehingga banyak rakyat yang tidak menerima jatah tersebut. Oleh karena itu, mereka terpaksa menggunakan karung goni untuk menutupi badan. Dalam pembagian jatah sandang di Karesidenan Pekalongan, cadangan kain sebanyak 50 juta yard yang dibagikan kepada rakyat secara bertahap ternyata tidak mencukupi lagi44.
Namun demikian, guna membangkitkan semangat rakyat di bidang pembatikan, maka beberapa jenis tekstil berkualitas disediakan untuk para pengrajin batik agar mereka dapat memproduksi batik kembali. Jepang sangat menaruh perhatian terhadap industri batik Pekalongan karena secara kebetulan ragam hias Batik Pekalongan memiliki kesamaan ragam hias seperti beberapa ragam hias yang diterapkan pada kimono Jepang.
Kromolawi diangkat oleh Jepang menjadi kepala seksi perdagangan organisasi Hokokai merangkap ketua Barisan Pelopor. Selain itu, Kromolawi juga merupakan pemimpin Perhimpunan Kebaktian Rakyat Hokokai yang pada tahun 1943 menggantikan PUTERA. Melalui organisasi Hokokai tersebut, pengusaha batik di Pekalongan digerakkan untuk membuat batik bergaya Jepang dengan semangat Bushido. Seorang pengusaha batik bernama H. Djajuli telah mendapatkan pesanan dari organisasi Hokokai untuk mengumpulkan dan mengadakan pembelian batik dari rakyat dan para pengusaha untuk disetorkan ke Pemerintah Jepang. Hal inilah yang memacu berkembangnya jenis batik yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jepang.
Gerakan produksi batik yang dipacu oleh program ekonomi Jepang di wilayah pendudukan lewat organisasi Hokokai merupakan awal dimulainya Batik Pekalongan yang dibuat dan berkembang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) yaitu Batik Djawa Hokokai.
Batik tersebut dinamakan Batik Djawa Hokokai karena setiap orang yang membuat batik untuk organisasi Hokokai bersemangat dengan meneriakkan yel-yel “Hokokai!”. Ragam-ragam hias berupa kupu-kupu, bunga sakura, serta warna-warna bernuansa selera Jepang hampir selalu terlihat pada Batik Djawa Hokokai.
Pada kenyataannya, batik yang disemangati oleh semboyan Hokokai itu tidak saja diproduksi oleh rakyat dan pengusaha pribumi tetapi oleh pengusaha Tionghoa juga. Para pengusaha Tionghoa itu sebelumnya memang sudah menjadi pengusaha menengah di bidang pembatikan dan lebih unggul, baik dalam kualitas ataupun membuat corak batiknya. Mereka diharuskan oleh Jepang untuk memasarkan produknya melalui badan ekonomi yang dibentuk oleh Jepang.
Setiap penjajah selalu memanfaatkan unsur-unsur sumber daya manusia yang ada pada semua lapisan masyarakat yang dijajahnya. Dalam hal ini, Jepang mempunyai sistem khusus dalam menghadapi msayarakat di Jawa. Pada zaman penjajahan Belanda, kaum priyayi dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial, sedangkan Jepang menggunakan pemimpin pergerakan yang relatif ber-pendidikan untuk menunjang program politiknya.
Demikian pula halnya dalam membentuk kelompok pemasaran. Jika sebelumnya pengusaha menengah Tionghoa merupakan kelompok perantara bagi Belanda pada masa kolonial, maka mereka tidak digunakan lagi pada masa penjajahan Jepang. Badan-badan ekonomi yang dibentuk oleh Jepang seperti halnya Nogio Kumiai (koperasi) dan tenaga pengumpul padi (Noji) merupakan kelompok-kelompok yang melaksanakan pemasaran.
Meskipun di satu sisi pihak kaum pergerakan memandang pemerintah pendudukan Jepang penuh dengan kekejaman dan kekerasan, namun ada keuntungan yang dapat diambil oleh mereka. Jepang telah memberikan sumbangan pendidikan dalam ketentaraan, keterampilan teknologi, disiplin, maupun semangat bela negara dengan semboyan Bushido. Buah dari hasil pendidikan Jepang itulah yang menjadi modal dasar bagi kaum pergerakan dalam memberikan semangat kepada rakyat untuk berjuang guna merebut kemerdekaan.
Namun demikian, kemelaratan akibat tekanan sosial ekonomi dan kekejaman yang dilakukan oleh Jepang telah membuat rakyat sengsara, sehingga kekurangan sandang pangan. Kurangnya bahan sandang menyebabkan bahan baku batik juga berkurang. Akhirnya, para pengusaha batik di Pekalongan berupaya untuk memproduksi batik yang di-sesuaikan dengan kondisi serba kekurangan tersebut. Dengan adanya kekurangan bahan tekstil dalam pembuatan batik ini, maka pengusaha Tionghoa membuat suatu pola khusus yaitu menampilkan dua macam pola batik pada selembar kain dengan maksud bahwa satu kain batik dapat dipakai dua kali dengan dua pola yang berbeda. Batik-batik yang memiliki format semacam itu dinamakan Batik Pagi Sore dan mulai berkembang sejak periode penjajahan Jepang.
Batik Pagi Sore itu satu bagian polanya bisa dipakai untuk waktu pagi dan bagian lainnya dipakai untuk sore hari. Dengan demikian, Batik Pagi Sore juga menggambarkan sulitnya memperoleh bahan tekstil pada masa pendudukan Jepang.
Meskipun dalam hal pembuatan polanya halus dan indah, namun tidak terasa bahwa Batik Pagi Sore yang lahir hampir bersamaan dengan Batik Kolonial, sesungguhnya mengandung makna sindiran tentang keadaan yang kacau balau dan penuh penderitaan


BAB XV PEKALONGAN MASA KOLONIAL 1800 - 1940

Masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebutkan baik dari sumber asing Belanda maupun Portugis. Sumber–sumber asing dalam kota-kota pantai di Jawa pada abad XVI, adalah Cirebon, Tegal, Kendal, Demak, Jepara, Semarang, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.


Sumber-sumber Mataram seperti Babad Tanah Jawi hanya menyebut Pekalongan ketika Sultan Agung mengangkat Pangeran Manduro Rejo dan Pangeran Upasanta pada tahun 1622 – 1623 menjadi Adipati (Bupati) Pekalongan termasuk Pekalongan tidak disebutkan. Nama Pekalongan disebut oleh dokumen Mataram oleh Amangkurat I pengganti Sultan Agung yang saat itu masih berstatus putra mahkota yang telah mengawini putri dari Pekalongan. Status tanah Pekalongan pada saat itu merupakan tanah gaduhan dari kerajaan Cirebon. (de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram)
Pekalongan sebagai wilayah kesatuan dengan daerah terdekatnya adalah Pekalongan awal abad XVI merupakan daerah di bawah pemerintahan kerajaan Mataram. Pekalongan dan Pekalongan sebagai wilayah kerajaan Mataram yang terletak di pesisir kilen oleh Mataram disebut “Mancanegara”. Sehingga waktu VOC mengambil alih daerah ini struktur pemerintahan yang dilakukannya banyak melanjutkan sistem pemerintahan lokal yang sebelumnya telah berlaku.
Pentingnya perairan laut di wilayah ini telah menyebabkan daerah pesisir utara bagian barat sebagai wilayah mancanegara, yang oleh Sultan Agung tahun 1613 – 1645 Tegal dijadikan salah satu pelabuhan atau pintu gerbang Mataram yang strategis dalam menghadapi VOC. Sebelumnya ketika di wilayah Mataram, berdiri pemerintahan kadipaten seperti Tegal, Pemalang, Pekalongan, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu sampai Jepara sebagai daerah persinggahan kapal-kapal VOC (Dag Register, 1623 – 1779 dan Plakaat Boek).
Pada masa kolonial, wilayah tanah jajahan terbagi atas pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat Hindia Belanda (Nederlandsche Indie) berpusat di Batavia (Jakarta) dan dikepalai oleh seorang Gubernur Jendral (Governoor Generaal) yang berfungsi sebagai wakil raja ratu kerajaan Belanda. Secara hirarki pemerintahan daerah (binenland bestur) terbagi atas wilayah propinsi karesidenan (residentil) dan kabupaten (regentschap). Sedangkan kawedanan (district) kecamatan (onder district) dan desa yang masing-masing dipimpin oleh gubernur, residen (resident), bupati (regent), wedono, asisten wedono atau camat, dan lurah atau kepala desa.
Wilayah administrasi yang disebut afdeeiling dan onderafdeeling masing-masing dipimpin oleh seorang administrasi asisten residen dan kontrol (controleuer). Jabatan residen, asisten residen dan kontrol umumnya dijabat oleh orang Belanda. Sementara bupati ke bawah dijabat oleh orang pribumi.
Bentuk pemerintahan karesidenan diteruskan pada pemerintahan Raffles (1811 – 1816) dan pada masa kemudian diteruskan oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1816. Sebelumnya gubernur jenderal Daendels (1808 – 1811) memperkenalkan bentu pemerintahan yang disebut prefectur. Pembentukan pemerintahan propinsi dilakukan pada periode yang lebih kemudian yang dimulai pada tahun 1920. Bentuk kesatuan administrasi pemerintahan kabupaten, kawedanan, kecamatan dan desa pada hakekatnya merupakan adaptasi dari bentuk pemerintahan daerah pada masa Mataram.
Pekalongan terletak di pesisir utara dan daerahnya hampir menyatu dengan Pekalongan. Dalam kesatuan karesidenan yang terdiri dari daerah kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Pekalongan. Pada masa awalnya daerah tersebut terbagi dalam dua wilayah yaitu karesidenan Tegal dan karesidenan Pekalongan. Karesidenan Tegal membawahi kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang. Sementara karesidenan Pekalongan membawahi kabupaten Pekalongan dan Pekalongan. Pada akhir abad XIX kedua wilayah karesidenan digabung menjadi satu karesidenan hingga berlangsung sampai masa karesidenan dihapus pada tahun 1950. Dan pada masa setelah kemerdekaan, status karesidenan sampai sekarang diganti dengan nama Badan Koordinasi Lintas Wilayah (Bakorlin).
Perubahan struktur wilayah administrasi pada masa republik, mengacu pada Undang –Undang No. I th 1957, yang membagi wilayah pemerintahan daerah atas 3 tingakatan, yaitu tingkat I disebut wilayah provinsi, tingkat II kabupaten, dan daerah tingkat III kecamatan/ desa atau praja. Sekalipun pemerintahannya dihapus, jabatan residen dan wedana pada dasarnya masih dipertahankan dengan ketentuan tugas dan fungsi masing –masing sebagai pejabat pembantu bupati dan pembantu gubernur. Dan berdasarkan PERDA (Peraturan Daerah) Jateng No. 19 th 2001, pejabat pembantu gubernur dan bupati diganti dengan nama Bakorlin ( Badan Koordinator Lintas Wilayah).

Nama-Nama Pejabat BAKORLIN Wilayah III Pekalongan
No. Nama Pejabat Masa Menjabat
1. Soedjono 1948 - 1954
2. R. Soejoto Sastrowardojo 1954 – 1957
3. Mochtar 1957 – 1958
4. M. Handojo Sastrohandojo 1958 – 1961
5. R. Sapoetro Brotodiharjo 1961 – 1968
6. R. Soemartojo 1968 – 1970
7. Drs. Soedarmo 1970 – 1977
8. Drs. Soemartedjo 1977 – 1982
9. Drs. Abdussalam Ronowidjojo 1982 – 1987
10. Drs. Karsono Kromodirejo 1987 – 1989
11. Drs. Hartono 1989 – 1994
12. Drs. Firman Soemarno 1994 – 1999
13. Drs. Soemardi 1999 – 2001
Bakorlin Wilayah III Pekalongan
1. Drs. Soemardi
2. Mahfud SH
3. Drs. Tjipto hartono


Pada tahun 1808 hubungan Jawa dan Eropa boleh dikatakan memasuki jaman baru. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis pada tahun 1808. Louis Napoleon sebagai penguasa negeri Belanda telah mengirim Marsekal Herman Williem Daendels ke Batavia untuk menduduki jabatan Gubernur Jendral. Berbeda dengan gubernur jenderal sebelumnya untuk memperkuat pertahanan di Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia, ia melakukan tindakan yang revolusioner. Demi alasan efisiensi ia berusaha memberantas penyelewengan dan korupsi. Kepada raja-raja Jawa dipaksa harus tunduk terhadap Batavia yang olehnya dianggap raja-raja taklukan.
Pada bulan Januari Daendels melakukan perjanjian baru terhadap raja-raja Jawa untuk penggabungan daerah ke dalam wilayah pemerintaham Belanda. Dengan demikian pemasukan uang sewa terhadap daerah pesisir utara yang telah dibayarkan oleh Batavia sejak tahun 1746 mulai Januari 1811 dihapuskan. Sementara Daendels juga menghapuskan pemberian insentif untuk istana-istana Jawa, yang diberikan oleh orang Eropa atas daerah pesisir. Dalam arti lain segala yang diterima dari pesisir ke istana dihapuskan.
Daendels memperkenalkan bentuk pemerintahannya disebut perfectur. Semua raja-raja Jawa sangat kecewa terhadap pemerintahan Daendels. Akan tetapi ada satu hal yang sangat populer di tengah kesulitan dan penindasan rakyat Jawa sehubungan pembuatan jalur perhubungan darat yang disebut dengan jalan Daendels. Perencanaan pembuatan jalan tersebut telah diperhitungkan masak-masak dari segi ekologis maupun geografi yang mana di pesisir utara dipandang sangat vital sebagai jaringan lalu lintas yang menghubungkan antara Jakarta dan Cirebon di Jawa Barat dan Semarang di Jawa Tengah. Jaringan lalu lintas dari pesisir barat tersebut menghubungkan beberapa kabupaten sejak dari Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Pekalongan dan Kendal.
Sementara jalan Daendels selesai telah disusul pembangunan jalur kereta api (spoorweg). Pembuatan jalan yang dilakukan Daendels sebetulnya mengikuti jalur lama yang sejak abad ke XV dan XVI pada masa Demak sudah dibuat untuk jaringan lalu lintas para mubaligh Islam yang menyebarkan agama ke daerah pedalaman. Pemerintahan Belanda di bawah Daendels tidak terlalu lama akan tetapi telah memakan korban rakyat Jawa terlalu banyak. Karena tahun 1810 Inggris telah menguasai Batavia dan menggantikan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada Inggris tahun 1811 – 1816. Stanford Raffles diangkat menjadi gubernur jenderal di Jawa Pada pemerintahann Raffles, cita-citanya yang akan merubah sistim pemerintahan menurut politik inggris belum terlaksana. Pemikiran bahwa kesejahteraan rakyat Indonesia, hanyalah merupakan teori zaman Raffles, karena pada tahun 1816 Raffless harus mengembalikan pos-pos di Indonesia yang baru kepada pihak belanda. Raffles harus meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris. Akan tetapi ada yang dapat di kenang jasanya terhadap raffles adalah sebagai pendiri singapura.
Sesaat Raffles sudah meninggalkan Jawa, belanda kembali menyusun secara menyeluruh urusa-urusan eropa termasuk wilayah jajahan di Hindia Belanda. Dari tahun 1812 hingga tahun 1825 Belanda kembali mencampuri urusan-urusan kerajaan jawa yang sedang mengalami pertikaian. Di istana di samping terjadi persekongkolan2 dan korupsi yang melanda orang-orang istana, di wilayah pesisir kalangan Eropa dan Cina telah memperluas proyek-proyek perkebunan gula dank opi dengan melakukan sewa tanah milik rakyat dengan harga murah.
Pada tahun 1823 Pemerintah Belanda telah mengangkat Raden Tumenggung Wryo Adinegoro menjadi Bupati Pekalongan. Jabatan Bupati ini hanya berlangsung 2 tahun, sebab pada thn 1825 Bupati Tumenggung Wirio Adinegoro wafat dan pada tahun itu pula (1825) telah digantikan puteranya yaitu Raden Adipati Wirijo Adi Negoro (1825/1848) menduduki jabatan sebagai Bupati Pekalongan.Selama jabatan Bupati dipegang oleh Raden Adipati Wirijo Adi Negoro telah berjasa membangun Masjid Jami’(besar) yang dimulai pada hari Selasa Kliwon tanggal 20 Desember 1825.

Timbulnya Perang Jawa (Perang Diponegoro)

Pada tahun 1812 – 1825 adalah merupakan penjajahan yang sesungguhnya dari orang-orang Eropa yang telah ikut terlalu banyak campur tangan terhadap pengangkatan para ningrat raja-raja di Yogyakarta maupun Surakarta. Di pesisir utara orang-orang Eropa dan Cina telah menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan tebu, kebun kopi maupun lada. Rakyat tidak dihargai martabatnya dan penarik pajak melakukan pemerasan semau-maunya. Penderitaan rakyat Jawa menimbulkan dislokasi sosial ditambah lagi timbulnya perampokan-perampokan yang merajalela.
Di Istana Yogyakarta dalam keadaan yang kacau telah muncul seorang tokoh yang sangat termashur bernama Pangeran Diponegoro, sebagai putra tertua Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil sampai dewasa Pangeran Diponegoro tinggal di desa Tegalrejo sejauh 30 km dari keraton. Pangeran Diponegoro tinggal bersama neneknya yang bernama Nyi Ageng wafat pada tahun 1830. Di Tegalrejo Pangeran Diponegoro telah melakukan semedi mempelajari kitab-kitab agama Islam dan memasuki lingkungan pesantren berhubungan dengan ulama, para kyai, syekh yang terdiri dari kaum sufi.
Selama hidupnya ia tidak mau memasuki istana yang penuh kemerosotan akhlak dan pelanggaran susila. Hubungan-hubungannya dengan komunitas masyarakat di Jawa sebagai pangeran senior para bangsawan sangat menghargainya. Selain itu hampir para ningrat dan tokoh agama silih berganti mengunjungi pesantrennya di desa Tegalrejo.
Secara supernatural akan terjadi perang Diponegoro, olehnya sudah ada tanda-tanda yang menurut kepercayaan Jawa pasti terjadi. Gejala-gejala tersebut telah mempengaruhi semangat Diponegoro untuk mengobarkan perang, yang disebut untuk melawan kebathilan dari perilaku bangsa Belanda yang menjajah Jawa. Sekitar tahun 1805 Diponegoro menjalani peristiwa mistis bahwa ia ditunjuk menjadi calon raja Jawa yang ditunjuk oleh kekuatan supernatural dengan melakukan ziarah ke makam leluhur Mataram. Ia juga mengalami suatu rangkaian mimpi bahwa Roro Kidul telah menemuinya sebuah suara memberitahukan bahwa ia harus memasuki jaman kekacauan yang akan mensucikan negaranya.
Selama hampir 20 tahun Diponegoro menantikan saat yang tepat untuk mengadakan perang. Tahun 1821 telah terjadi pemberontakan kecil. Kemudian pada tahun 1822 Hamengkubuwono IV wafat. Pada akhir tahun 1825 dimulailah perang Diponegoro. Perang tersebut dimulai dari Tegalrejo di pedalaman selatan Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juli Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Di Tegalrejo desanya direbut dan dibakar. Akan tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri dan mengibarkan janji perang terhadap VOC. Peperangan Diponegoro telah menyebar dengan cepat di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pusatnya berada di Yogyakarta. Lima belas dari dua puluh sembilan pangeran bergabung dengan Diponegoro, dan empat puluh satu dari delapan puluh delapan bupati memihak Diponegoro, selebihnya masih bersikap menunggu.
Di utara Jawa Tengah bupati-bupati yang pada dasarnya terdiri dari para ningrat pesisir secara tidak langsung ikut mengobarkan semangat perang untuk melawan Belanda. Kedu dan Wonosobo merupakan basis pertahanan pejuang Pangeran Diponegoro di pedalaman. Wilayah Kedu merupakan basis pejuang Diponegoro sementara di sepanjang pantai utara gerakan komunitas agama yang berpusat di pesantren-pesantren bergerak ke arah selatan dan ke arah timur.
Di Pekalongan perang Diponegoro dikobarkan para murid-murid Kyai Rifa’i dan Syekh Tolabuddin. Sementara para ahlul bait yang berada di Pekalongan ikut bergerak melalui sungai Kupang di Warungasem menuju ke selatan dan melewati Bandar, Bawang dan Batur. Di Batur dan Karangkobar pejuang-pejuang perang Diponegoro dari Pekalongan dan Pekalongan bergabung dengan pasukan Imam Musbah dan Diponegoro Anom. Dua pemimpin perjuangan Diponegoro tersebut merupakan tokoh utama yang mengobarkan semangat pertempuran melawan Belanda.
Pasukan Belanda yang menghadang pejuang Diponegoro dari utara dipimpin oleh Clereen yang mencoba dengan berbagai tindakan menghalang-halangi perjalanan pasukan Diponegoro ke basis-basis pasukannya di daerah Dieng. Salah satu tokoh penting yang mendukung perjuang Pangeran Diponegoro di daerah Pekalongan selain para ulama adalah Raden Ngabehi Soeryodirdjo alias Pangeran Aryo Suryodiningrat II bupati Pekalongan (1812 – 1836).
Laporan Peter Carey mengenai pemimpin perang Diponegoro yang terdiri dari kaum ulama dari utara tersebut tidak menyebutkan Tolabuddin dari mana karena enam puluh tahun sebelumnya (1763) ketika Syekh Abdullah Qutbuddin yang oleh kalangan Belanda bernama Abdul Kadir, banyak murid-muridnya yang menyatakan diri dan menyebut sebagai muridnya . Makam Syekh Tolabuddin terdapat di beberapa tempat di antaranya di Warungasem Pekalongan dan di Ambarawa Ungaran, Jawa Tengah. Nama Tolabuddin memberikan arti sebagai murid dari Syekh Qutbuddin. Riklefs dalam “A History of Modern Indonesia” menyatakan bahwa pada tahun 1763 seorang pemberontak bernama Abdul Kadir dari Semarang barat dengan dua putranya serta murid-muridnya telah mengadakan pemberontakan terhadap Pakubuwono III. Pemberontakan Qutbuddin alias Abdul Kadir telah dibantu oleh Hamengkubuwono I dan hampir berhasil. Akan tetapi putra-putranya terbunuh oleh prajurit Pakubuwono III. Abdul Kadir (dalam catatan naskah Hangabehi adalah Syekh Abdullah Qutbuddin) yang pada pemberontakan melawan Pakubuwono III telah menghilang dan menyingkir ke Wonosobo (dataran tinggi Dieng) dan meninggal pada tahun 1765.
Pada bulan April 1829 Kyai Maja ditangkap. Beberapa bulan kemudian Pangeran Mangkubumi dan Panglima utamanya Sentot, kedua-duanya menyerah. Dan bulan Maret 1830 Diponegoro menandatangani perundingan-perundingan di Magelang yang kemudian ditangkap dan dibuang ke Manado.
Sejak terjadinya perang Jawa (perang Diponegoro) pemerintah jajahan Belanda telah mengalami perubahan di bawah “liberalisme” di dalam memasuki kebijaksanaan baru pemerintah Hindia Baru telah melaksanakan apa yang disebut Cultur Stelsel. Perekonomian karesidenan Pekalongan dibagi atas pertanian, perindustrian, dan perikanan. Perekonomian pertanian merupakan basis perekonomian yang telah berkembang paling awal yaitu sejak masa Mataram. Pada masa itu VOC daerah memiliki kewajiban menyerahkan beras kepada kompeni dalam jumlah tertentu (kontingenten). Akan tetapi selain beras, sebenarnya daerah tersebut telah menjadi penghasil gula (gula tebu) yang dikelola oleh orang Cina seperti yang terjadi di daerah Ulujami dan Pekalongan. Cultur Stelsel dilaksanakan pada tahun 1883 – 1870 kemudian dilanjutkan berdasar sistem undang-undang perkebunan swasta (ondernemingen) tahun 1870 – 1942. Tidak kurang dari 17 pabrik gula berdiri di sepanjang daerah pesisir seperti Pekalongan, Brebes, Sragi, Tegal hingga Cirebon. Di Pekalongan pabrik gula berdiri di desa Kalimati. Pada masa itu penduduk pedesaan memperoleh sumber penghidupan dari penghasilan penyewaan tanah dan sejak masa itu pula melahirkan golongan buruh perkebunan.



Munculnya Gerakan Pembaharuan Sebelum Perang
Tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi persatuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan yang baru dari penjajahan. Masalah-masalah mengenai masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan. Dan ini meliputi hampir di seluruh Indonesia. Masalah yang melibatkan perubahan masyarakat Indonesia pada awal abad XIX meliputi politik budaya dan agama.
Pada akhir abad XIX, Karesidenan Pekalongan membawahi kabupaten Pekalongan dan kabupaten Pekalongan. Kemudian wilayah tersebut digabung menjadi satu, yaitu Karesidenan Pekalongan yang berlangsung sampai masa karesidenan dihapuskan tahu 1950.
Karesidenan ini terdiri dari kabupaten Pekalongan, dengan kota Pekalongan sebagai ibukota. Menyusur ke barat terdiri dari kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes. Adapun Pekalongan masuk kabupaten Pekalongan dan kedudukannya menjadi wilayah Kawedanan.
Pada tahun 1930, penduduk Pekalongan berjumlah dua setengah juta jiwa. Alasan penggabungan daerah ini karena penduduk Pekalongan terhitung jumlahnya sangat rendah. Akan tetapi dilihat dari segi penghasilan, tahun 1920-an, Pekalongan menjadi penghasil utama tanaman niaga Karesidenan, seperti gula, teh, kopi, kina, dan karet 30 % dari seluruh produksi di Jawa dihasilkan dari daerah ini.
Pada masa awal abad XX, meskipun penduduk Pekalongan relatif rendah karena memiliki sarana hubungan antar daerah yang relatif mudah dengan kota-kota terdekatnya seperti Pekalongan, Comal, Pemalang maupun Tegal, perkembangan dari kota-kota tersebut hampir sama.
Keadaan Sosial Penduduk
Di wilayah pedalaman selatan, tanahnya keras dan cocok untuk hutan jati dan luas kepadatan penduduk di wilayah selatan dan timur, tergolong rendah di wilayah pedalaman terdapat pusat kegiatan agama berupa pesantren yang mencerminkan kuatnya pengaruh islam ortodok.
Peranan penting dalam perdagangan yang menjadi sumber pendapatan terutama ditangani oleh minoritas asing Cina dan Arab baik ditingkat kabupaten sampai tingkat kecamatan.
Suatu gambaran yang kontras antara keadaan perekonomian dan geografis telah menempatkan pembagian kelompok sosial penduduk. Di lapisan atas terdapat kelas birokrat yang merupakan tangan dari pemerintah kolonial Belanda, golongan tersebut dari Bupati, Wedono sampai Camat dan Kepala Desa dijabat oleh golongan priyayi.sementara para pemilik pabrik penggilingan beras dan para pedagang serta pabrik gula di pegang para penduduk asing Cina dan Indo-Eropa. Pemilik pabrik ini (Cina dan Indo-Eropa) telah menyita tratusan hektar tanah rakyat yang di monopoli penyewaannya oleh pengusaha Indo-Eropa dan Cina.
Kalangan Islam yang merupakan bagian dari penduduk terbanyak dibagi dalam tiga unsur. Pertama adalah dari mereka yang pernah ikut aktif pada organisasi Islam kiri seperti Sarikat Islam atau SI yang pernah memberontak pada tahun 1926. Kedua golongan Islam ortodok (apa yang disebut wong muslim), mereka terdiri dari para santri murid sekolah agana yang dapat di bedakan dalam golongan ini yaitu kaum muslimin pedesaan yang mengelompok dan hidup dengan guru agama Islam (Kyai) dan sekolah agama mereka (pesantren) yang pada umumnya merupakan anggota Nahdlatul Ulama (NU), di lain pihak terdapat kelompok muslimin perkotaan yang sering kali melibatkan diri di bidang perdagangan.
Pada awal abad XX, kaum muslimin perkotaan di Jawa merasakan kegiatan perdagangan mereka telah terancam persaingan dari orang-orang cina. Sehingga mereka perlu mendirikan organisasi dagang serperti adanya Serikat Dagang Islam (SDI), Serikat Dagang Islam semula dipelopori oleh seorang lulusan OSVIA bernama Tirto Adi Surjo di Jakarta. Kemudian di Surakarta pada tahun 1868-1956, Haji Saman Hudi telah mendirikan SDI suatu Koperasi Dagang Batik untuk menyaingi Cina di kota tersebut. Di Surabaya Hos Tjokro Aminoto diserahi untuk memimpin organisasi Serikat Dagang Islam. Organisasi dagang Islam tersebut memiliki cabang-cabang hampir di seluruh di pelosok daerah, termasuk karesidenan Pekalongan seperti Pekalongan, Pekalongan, Pemalang Tegal dan Brebes.
Masih ada kelompok Islam yang disebut sebagai kelompok abangan (makna harfiah dari golongan coklat atau merah, atau suatu istilah bahasa Jawa untuk menyebut orang-orang muslim yang anutannya kepada Islam tidak lebih sekedar komitmen formal dan pada tingkatan nominal. Kaum abangan merupakan matoritas penduduk Jawa. Pemikiran mereka cenderung bersifat mistik relatif tidak memperdulikan tuntutan kewajiban-kewajiban upacara agama Islam (sembahyang yang lima waktu , puasa ,zakat dll). Secara budaya terikat pada bentuk seni jawa seperti wayang yang pada dasarnya berasal dari sumber-sumber pra-Islam, dari segi sosial ekonomi kemudian pemisahan antara kota dan desa, beberapa kota kawedanan seperti Comal dan Pekalongan terletak di jalan timur & barat kedua kota, kawedanan antara Pekalongan dan Comal sejak abad lalu telah berdiri pabrik gula dan mempunyai perkampungan Pecinan dan komplek pemukiman yang kebanyakan orang asing. Dan disini tentu fasilitas utama seperti air ledeng, jalan beraspal, serta sekolah berbahasa Belanda, paling sedikit, telah mengenyam pendidikan Belanda. Permasalahan sosio-ekonomi di daerah tersebut, merupakan dasar dalam perkembangan pemerintahan Kolonial. Yang mana pada abad ke-18 VOC telah berhasil mengumpulkan uang dengan mempergunakan kekuasaan politik dan sosial Elit Jawa. Selama Bupati yang disebut rakyat menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda, VOC akan mengakui kekuasaannya.

Penindasan Yang Tak Berkesudahan

Politik Etis tahun 1901 tidak membawa kemajuan bagi para petani, tiga daerah malah menyebabkan merosotnya hubungan antara petani dan pangaruh Praja. Pelaksanaan sistem tanam paksa ( kultuur stelsel) yang dimulai pada thn 1830 untuk memenuhi permintaan Eropa, yang memberi banyak keuntungan, ditangani elite Jawa dengan nama Belanda. Para Bupati disamping sebagai penguasa juga bertindak sebagai pengusaha. Mereka telah menguasai ratusan hektar tanah dan mempekerjakan petani-petani dengan memberikan pinjaman kepada petani agar tidak berpindah tangan.
Didalam memberi porsi kekuasaan terhadap Bupati tersebut, Raffles telah menghadiahkan puluhan hektar tanah yang dikelola secara turun temurun (particulier landerriejn). Sehingga bupati Brebes misalnya, telah menjadi kaya karena seluas 2.440 Ha yang sebagian besar ditanami tebu telah memberi keuntungan 38.000 gulden untuk sang Bupati. Tanah-tanah bengkok, yang diberikan kepala desa, lambat laun menjadi milik sang kepala desa. Para kepala desa telah menyewakan tanah untuk perkebunan tebu. Dengan kekuasaan para pangaruh praja di beberapa daerah di Pekalongan ,Comal, Pemalang, dan Brebes dikatakan petani hamper tak bertanah. Selama beberapa tahun sejak 1907 – 1927 jumlah desa berkurang 25%. Sejumlah 1,6% kepala desa menguasai hampir 25% tanah desa yang disewakan pada pabrik gula.
Dan menurut laporan (JW Meijer Ranneft didalam Faderzolk der Belestingdruk of de Inlandische Bevolking (Welter vreden, 1926 hal. 122,128), penghasilan pokok 40% dari kepala desa di Karesidenan Pekalongan sekitar 600 – 1200 Gulden setiap tahun. Sementara pendapatan penduduk rata-rata perkapita hanya 25,79 Gulden setiap tahun..
Ketimpangan pendapatan semacam itu mengakibatkan kepala desa tersisih dari rakyatnya. Dan kepala desa tidak lebih sebagai tangan pertama bagi pedagang Belanda untuk alat penggencet rakyatnya..Akan tetapi beberapa pangaruh Praja seperti Wedono dan Camat, hampir tak memperoleh penghasilan apa-apa karena tak memiliki tanah-tanah bengkok. Akan tetapi pada saat itu gaji seorang Wedono atau Camat mendapatkan gaji sangat tinggi sekitar 800 Gulden setiap tahun.
Didalam Pemerintahan Kolonial menurut James C. Scott tidak ada yang lebih menjengkelkan petani miskin dari pungutan pajak. Sering akibat besarnya pajak yang dipungut oleh petugas pamong pengumpul pajak, tidak memadai ketimbang hebatnya akibat penderitaan. Pajak penghasilan tanah dipandang sebagai penindasan yang nyata dilakukan oleh dan ditentukan oleh Kepala Desa.
Eksploitasi tentang pajak petani tentang kepemilikan tanah bertambah parah ,sampai tahun 1930-an kemerosotan industri gula, yang merupakan depresi ekonomi. Proses pemiskinan terjadi 3 sampai 4 generasi akibat dari pajak-pajak colonial dan pabrik gula yang didukung oleh birokrat.
Peranan pangreh Praja sebagai pengurus dan pengumpul dari hasil panen bagi Belanda. Di beberapa kota seperti Pemalang, pada tahun 1939 sejumlah 1436 orang terkena busung lapar, sedangkan Rumah sakit hanya dapat menampung 200 pasien termasuk 53 orang anak-anak. Di Jawa sejak abad XVII-XVIII kaum priyayi harus bekerjasama dengan VOC demi kestabilan ekonominya dan kepentingan finansiil Belanda. Para Bupati benar-benar dimanjakan oleh Belanda, sehingga seorang Bupati selain diberikan fasilitas dan pengahasilan yang tinggi, juga diberikan hadiah sampai 12 keturunan untuk memerintah, hal ini terjadi pada bupati Tegal Reksonegoro, yang memerintah di Jawa sejak 1678.
Keluarga Bupati tersebut menganggap keturunan langsung dari Sultan Demak. Konon karena priyayi Tegal menghindari adanya perkawinan dengan priyayi Pekalongan, karena dianggap sebagi keturunan kolaborator pertama dengan Belanda di Semarang.
Bupati Reksonegoro X mengawini Kardinah, saudara perempuan R.A Kartini. Kardianh mendirikan Rumah Sakit, sekolah untuk anak perempuan dan rumah anak yatim piatu di Tegal. Karena tidak mempunyai anak, maka ketiga anak suaminya dari istri kedua (selir) diambil dan dijadikan anak sendiri. Salah satu dari mereka Soesmono yang menjadi Reksonegoro XI, Pada tahun 1936 diancam akan dipecat dari kedudukannya karena hubungannya dengan seorang wanita Belanda, pegawai administratur Pabrik Gula Pangkah. Sedangkan istrinya, putri Bupati Pekalongan telah menuntut cerai. Reksonegoro XI dianggap menghina norma-norma Kolonial Belanda.
Keresahan Politik Dan Kaum Pergerakan

Gagalnya panen padi di Jawa pada tahun 1918, telah terjadi pergerakan masa yang dilakukan oleh kelompok sayap kiri radikal dari Sarikat Islam. Di beberapa tempat di Karesidenan Pekalongan khususnya kota-kota sepanjang pantai timbul kerusuhan di perkebunan dan pemogokan buruh pabrik Gula. Sarikat Islam telah menyampaikan keluhan pada Gubernur Jenderal akan tetapi sebaliknya, pemimpin Serikat Buruh diintimidasi, dituduh menyampaikan laporan palsu.
Pada tahun 1923, SI pecah menjelma menjadi Sarekat Rakyat. Suatu oraganisasi yang didirikan PKI untuk para petani yang sealiran dan dengan cepat mendapatkan anggota pengikut yang sangat besar. Pada tahun 1923, terjadi pemogokan buruh Kereta Api dan Trem. Sejak itu situasi politik menempatkan golongan komunis di wilayah Pekalongan bergolak. Di dalam mengantispasi pengawasan dari Belanda, kelompok Sarekat rakyat ini telah bergerak di bawah tanah sambil mengatur jaringan organisasi.
Pada bulan Agustus dan September tahun 1926, beberapa daerah di sepanjang kota daerah utara disebut sebagai daerah Revolusioner. Di Tegal, Sugono Rekso Putro, yang selalu menekankan kepada anggotanya bahwa ajaran Alqur’an sama dengan Marxisme, meninggal di dalam penjara dan menurut Belanda ia mati bunuh diri. Pada tahun 1926, PKI pecah sebelum waktunya dan gagal di dalam mengadakan pemberontakan. Akan tetapi, PKI dianggap sebagai kelompok revolusioner melawan pajak-pajak kerja paksa.
Pada tahun 1929, pengikut Soekarno yang menyebut PNI Baru dan Nasionalis-Islam, telah mengadakan kegiatan politik di bawah pimpinan seorang anggota Angkatan Laut Belanda bernama Kromolawi. Kromolawi di Pekalongan dan Pekalongan, berhasil menghimpun 500 anggota. Berkaitan dengan kegiatannya, Kromolawi telah ditahan dan bulan Mei 1930, ia dibebaskan dari tahanan. Tetapi pada bulan April 1931, PNI kemudian dibubarkan.
Sosialisasi Ekonomi Kolonial

Sisi perkembangan Kota Pekalongan pada paruh abad ke-19 baru tampak setelah dua abad sejak terjadinya pembagian kekuasaan pada tahun 1755 antara Pangeran Mangkubumi dan Belanda dalam Perjanjian Giyanti. Hal yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut antara lain adalah daerah pesisir Jawa ditetapkan sebagai daerah kekuasaan Belanda, sedangkan daerah Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Keraton kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pemerintahan Pekalongan mengikuti struktur administrasi Belanda yang disebut Pemerintahan Nederlandsch Indie dan terbagi menjadi pemerintahan pusat dan daerah.
Dalam hal pembangunan kota, terlihat adanya pengembangan permukiman yang sekaligus menciptakan jaringan ekonomi yang lebih luas dan beragam. Namun sebaliknya, kesejahteraan rakyat dari hasil pertanian (beras) mengalami kemerosotan di desa-desa dalam wilayah Karesidenan Pekalongan yang sejak awal penguasaan Mataram menetapkan adanya setoran wajib kepada pihak Kompeni.
Terlebih lagi pada tahun 1870-1883 yaitu setelah Belanda memberlakukan sistem wajib kerja paksa dalam politik “Kultur Stelsel” atau tanam paksa, rakyat semakin tidak berdaya mempertahankan tanahnya sebagai lahan pertanian. Politk ekonomi Belanda dalam memperbesar usaha perkebunan telah memaksa rakyat untuk bekerja diperkebunan Belanda. Pelaksanaan sistem tanam paksa itu berlanjut dengan pelaksanaan sistem usaha perkebunan swasta (ondernemingen) dan Karesidenan Pekalongan sudah menjadi wilayah industri tebu yang cukup luas pada tahun 1870-1942 (Prof. Dr. Djoko Suryo dalam makalah yang berjudul “Karesidenan Pekalongan Tempo Dulu”).
Sejak timbulnya kelompok pemasaran secara penuh di Pekalongan, maka batik berfungsi sebagai barang-barang komoditi yang bersifat ekonomis. Kelompok pemasaran yang dibentuk berdasarkan prinsip etika tradisional tersebut berlangsung sampai masa kemerdekaan. Pembangunan pabrik untuk industri gula telah mendorong terciptanya tenaga kerja pabrik (buruh perkebunan). Adapun dinamika perkembangan kota yang berkembang dari industri batik dan kerajinan lokal, mulai menyebar ke daerah-daerah baru di sekitar kota Kabupaten Pekalongan seperti Kedung Wuni, Wirodeso, Tirto, dan Warung Asem, sedangkan perkembangan ke arah timur sampai ke Setono dan Batang. Munculnya industri baru itu telah melahirkan kelompok-kelompok baru yang berperan dalam bidang perindustrian dan perdagangan yaitu golongan wiraswastawan pribumi, buruh, dan pedagang. Hal itu disebabkan karena perindustrian dan perdagangan secara kebetulan tumbuh dari pengusaha menengah. Komitmen Islam kaum santri selain bergerak dalam bidang keagamaan, sekaligus merupakan kaum kapitalis muslim (Prof. Dr. Djoko Suryo dalam makalah yang berjudul “Karesidenan Pekalongan Tempo Dulu”).
Timbulnya kelompok pengusaha pribumi dari pengusaha muslim telah mengubah sistem perdagangan lokal yang sebelumnya dikuasai oleh pengusaha menengah (pedagang Tionghoa) yang dahulu menempatkan kaum pribumi hanya sebagai buruh. Setelah membangun usaha sendiri, akhirnya pengusaha muslim berhasil menempatkan kelompok mereka pada kedudukan yang sama dengan pengusaha Tionghoa. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar golongan pengusaha Tionghoa merupakan pengusaha yang termasuk dalam kelompok perantara bagi pengusaha Belanda. Persaingan pun seringkali terjadi di antara kedua golongan tersebut karena mereka melakukan kegiatan usaha yang sama yaitu usaha pembatikan.

Timbulnya Industri Batik Oleh Pengusaha Muslim Pribumi

Adanya perkembangan baru dalam cara berpakaian bagi keluarga asing yaitu menggunakan sarung batik dan kebaya sebagai ganti gaun Eropa, menjadikan produksi batik mengalami kemajuan. Mereka lebih menyukai sarung dan kebaya karena sesuai dengan kondisi iklim di tanah Jawa. Keluarga Tionghoa peranakan juga mengenakan kain batik berupa sarung untuk melengkapi baju kebaya encim (kebaya berenda/sulaman) yang mereka pakai. Pemakaian sarung batik dan kebaya yang berenda tersebut antara lain disebabkan karena adanya pengaruh dari masyarakat Melayu dan India serta ditunjang dengan datangnya mesin jahit di Indonesia.
Munculnya pengusaha baru pribumi dan pengusaha kelompok menengah Tionghoa menyebabkan industri batik di Pekalongan menunjukkan perkembangan yang sangat pesat pada pertengahan abad XIX. Demikian pula halnya keadaan di kota pedalaman (keraton) seperti Solo dan Yogyakarta. Perusahaan batik pribumi yang merupakan kelompok pengusaha baru telah mendapatkan pasarnya di kalangan masyarakat pribumi. Sistem yang digunakan adalah mengikuti pola lama yang sebelumnya dilakukan oleh para pedagang muslim pada abad XVI-XVII Masehi. Pada masa yang sama didirikan Serikat Dagang Islam yang dipelopori pengusaha batik dari Solo, yaitu H. Samanhudi.
Para pengusaha Tionghoa yang merangkap sebagai pengusaha industri batik dan juga pemasok bahan baku batik, telah menguasai pasar yang lebih luas. Mereka tidak saja menguasai pasar luar daerah, namun juga menjadi pemasok utama perdagangan batik yang dilakukan penduduk asing (Belanda). Pada tahun 1830 telah berdiri industri batik yang diusahakan oleh seorang Indo-Belanda di Semarang. Industri batik tersebut didirikan oleh Wincel Hegen yaitu istri seorang pelukis yang bernama Raden Saleh. Perusahaan itu juga menampung batik yang diproduksi di Pekalongan oleh para pengusaha pribumi.Pada saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang yang menggemari pola-pola buketan (Belanda), para pengusaha Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh budaya Eropa (Belanda) setelah tahun 1910 .


Batik Indo-Belanda

Langkah para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca situasi pasar itu, memang cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Carolina Josephine van Franquemont dan Catherina Carolina van Oosterom, berada dalam puncak pemasarannya.
Pola buketan tersebut pertama kali diproduksi oleh Christina van Zuylen yaitu salah seorang pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan. Pada tahun 1880, Christina van Zuylen telah mengubah tradisi karya batik yang semula sebagai karya anonim (tanpa diketahui identitas pembuatnya) dan bersifat massal, menjadi karya individual. Identitas nama Christina van Zuylen dituliskan di sudut bagian dalam kain dalam bentuk tanda tangan yang berbunyi “T. van Zuylen” (kependekan dari Tina van Zuylen), pada setiap batik karyanya. Batik buketan yang terkenal adalah karya van Zuylen bersaudara yaitu Christina van Zuylen dan Lies van Zuylen. Batik tersebut sangat laku sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana diuraikan di muka. Para pengusaha tersebut antara lain Hock-Tjan dari Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedung Wuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format “pagi-sore”. Selain itu, di Kampung Kwijan (tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan Tan-Kwi-Jan) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari golongan Tionghoa yang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-Bing-Liat.
Bangkitnya para pengusaha kelas menengah Tionghoa di Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai seni yang tinggi bahkan bisa disejajarkan dengan karya lukisan seperti yang terjadi pada karya para pelukis di Eropa (Belanda), terutama batik yang memiliki pola dengan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami perubahan karena batik hanya dianggap sebagai barang kerajinan atau dagangan saja. Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya saja karena dipandang sebagai milik pasar.
Hal itulah yang membedakan kedua golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industri batik. Adanya persaingan antara pengusaha pribumi dan pengusaha kelas menengah Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.